Mohon tunggu...
Nobuhiro Komatsuda
Nobuhiro Komatsuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kolese Kanisius

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dunia yang Berbeda: Sekolah Katolik Menyantri

18 November 2024   22:19 Diperbarui: 18 November 2024   22:59 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

What's next? 

Dalam sejarah kehidupan manusia, toleransi beragama bukanlah sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. Kita bisa belajar dari negara-kota di Mesopotamia kuno yang mampu hidup berdampingan meskipun setiap negara-kota memiliki dewa-dewi yang berbeda. Bahkan, negara-kota tersebut semakin terintegrasi dengan adanya interaksi antaragama. Jika mereka berhasil menjadi kuat dengan mewujudkan toleransi beragama beberapa milenia yang lalu, Indonesia di abad ke-21 dapat melakukan hal yang sama.

Kita memang berbeda--itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Dengan segala kebiasaan yang dijalani oleh para santri Al-Ittifaq, saya belum tentu mampu mengikuti ritme kehidupan mereka setiap hari karena belum terbiasa. Ketika saya mencoba untuk hidup seperti para santri, saya memasuki dunia yang sangat berbeda dari dunia saya.

She dwells with Beauty—Beauty that must die;
And Joy, whose hand is ever at his lips
Bidding adieu; and aching Pleasure nigh,
Turning to poison while the bee-mouth sips:
Ay, in the very temple of Delight
Veiled Melancholy has her sovran shrine,
Though seen of none save him whose strenuous tongue
Can burst Joy’s grape against his palate fine;
His soul shall taste the sadness of her might,
And be among her cloudy trophies hung.

(Ode on Melancholy, John Keats)

Apakah saya ingin hidup di dalam dunia lain itu? Jawaban saya adalah tidak. Karena pada akhirnya, saya memiliki dunia dan cara hidup sendiri yang memberi saya kenyamanan dan kecocokan.  Namun, saya juga sadar bahwa cara hidup saya belum tentu dapat diterima oleh orang lain--dan itu tidak menjadi masalah. Jika suatu cara hidup sudah cocok bagi seseorang, mengapa kita harus memaksakan kebiasaan kita kepada orang lain?  If it works for them, why not? 

Pemikiran saya di atas merupakan esensi daripada toleransi. Di dunia ini, kita bisa memiliki berbagai pendapat tentang dunia orang lain. Meskipun dunia orang lain tampak "terlalu berbeda", kita masih dapat hidup berdampingan jika kita bersedia menerima perbedaan tersebut. Di dalam puisi Keats, "sukacita" dan "kesedihan", dua emosi yang tampak bertentangan, dapat hadir secara bersamaan. Kehadiran kedua emosi itu justru menciptakan kekayaan emosi dan harmoni yang lebih besar. Begitu pula dengan perbedaan "dunia" yang ada di antara kita.

 

Pada akhirnya, sesuai dengan perkataan Gus Dur dan Om Dandan, keberagamaan adalah fitrah sekaligus anugerah yang menguatkan peradaban manusia. Keberagaman dapat diibaratkan sebagai taman yang penuh dengan berbagai jenis tanaman. Setiap tanaman mungkin memiliki kebutuhan atau "dunia" yang berbeda. Namun, jika setiap tanaman bertumbuh dengan baik, mereka akan menciptakan taman yang indah. Sama halnya dengan tanaman, manusia juga hidup di dunianya masing-masing. Akan tetapi, dengan berkembang di dunia kita masing-masing, kita bisa menciptakan masyarakat yang harmonis dan indah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun