Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wilayahnya sangat luas merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 15.000 pulau, dengan penduduk yang terdiri atas berbagai suku dan bahasa daerah tentunya berlatar belakang budaya yang bermacam-macam. Dengan keanekaragaman ini bukan tidak mungkin akan mengalami masalah besar dalam melangsungkan kehidupannya.Â
Perbedaan bukan tidak mungkin dapat memecah belah bangsa tersebut. Wilayah NKRI berbatasan dengan negara-negara lain, yaitu dengan Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Filipina, dan Timor Leste. Latar belakang budaya yang tidak sama di wilayah perbatasan tersebut dapat mengancam kedaulatan negara dan ketahanan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan walaupun belum maksimal dan efektif.Â
Upaya yang telah dilakukan adalah melalui kekuatan militer dan diplomatik. Selain itu, upaya lain pun harus dicari agar berbagai upaya tadi secara simultan dapat menciptakan keutuhan dan ketahanan nasional
Ketidakstabilan politik, ekonomi dan sosial, ketidakpastian hukum dan masalah korupsi yang telah membudaya, juga problem ketidakmerataan pembangunan di daerah yang menimbulkan kecemburuan dari banyak masyarakat di daerah atas keterlambatan pembangunan di wilayah masingmasing juga telah memicu berbagai permasalahan baru yang sangat serius. Reaksi atas kondisi ini pun disikapi secara beragam di daerah yang berbeda. Mulai dari tuntutan agar pimpinan daerah yang bersangkutan segera mengundurkan diri, hingga munculnya gerakan separatis bersenjata.
Meskipun menggunakan metode yang berbeda, namun tujuan utamanya tetap sama, yakni demi tercapainya kesejahteraan yang lebih baik di bawah pemerintahan baru. Harus diakui adanya kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa selama pemerintahan Orde Baru sejumlah daerah yang umumnya berada di seberang pulau Jawa mengalami ketertinggalan dalam hal pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur.Â
Bahkan di era reformasi pun kondisi ini tidak dengan serta merta berubah. Berbagai tahapan reformasi hukum di bidang pengaturan perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah perlu dilakukan terlebih dahulu. Mulai dari perubahan konstitusi yang menambah kekuasaan bagi pemerintah daerah melalui krisis multidimensi di Indonesia memang memiliki karekteristik yang unik.Â
Barangkali tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki wilayah yang secara geografis terdiri dari sepuluh ribu pulau lebih, selain Indonesia. Bahkan dalam satu pulau yang sama sekalipun terdapat beberapa sistem hukum adat yang berbeda. Dengan demikian, latar belakang kultural masyarakat di tanah air ini juga sangat kompleks.Â
Di bawah suatu pemerintahan yang berjalan baik dan normal saja, kondisi negeri dengan karakteristik yang istimewa ini sudah akan memberikan pekerjaan yang luar biasa berat bagi pemerintah. Terlebih dengan problematika tersendiri yang dimiliki oleh setiap manajemen pemerintahan sejak zaman Orde Lama hingga kini, dapat dikatakan bahwa memang tidak mudah mengelola pembangunan di Indonesia.
Budaya dan Proses Sosial -- Akomodasi -- Asimilasi
Dari sudut kekayaan budayanya, Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya multietnis, dengan lebih dari 100 etnis atau subetnis. Tercatat juga 583 bahasa dan dialek lokal di seluruh Indonesia, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Indonesia juga merupakan negara multireligius di mana terdapat berbagai agama, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal-hal tersebut adalah realitas-realitas obyektif atau kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural. Besar karena, wilayahnya yang amat luas dan jumlah penduduknya yang demikian banyak. Plural, karena kenekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama), yang secara filosofis terungkap dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).
Bangsa hadir, bukan dikarenakan ada kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas, agama dan pertimbangan-pertimbangan primordial lain, tetapi lebih pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas bangsa. Dalam konteks ini maka bangsa adalah sebuah komunitas pasca-primordial yang di dalamnya realitas pluralisme atau kenyataan kemajemukan bangsa bukan lagi dipandang sebagai masalah, tetapi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, dan justru merupakan modal utama bangsa itu.
Gillin dalam Soekanto (2002:71-104) menjelaskan ada dua golongan proses sosial sebagai akibat interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disasosiatif.
Proses asosiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling mengerti dan kerja sama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya. Proses asosiatif tersebut antara lain, kerja sama dan akomodasi. Beberapa bentuk kerja sama adalah gotong- royong dan kerja bakti, bargaining, co-optation, coalition, joint-venture. Adapun akomodasi menurut Bungin (2006:60) adalah proses sosial yang memiliki dua makna, yaitu :
(a) proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan yang seimbang (equilibrium) dalam interaksi sosial antara individu dan antarkelompok dalam masyarakat, terutama yang menyangkut norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut;
(b) menuju pada suatu proses yang sedang berlangsung, misalnya meredakan pertentangan yang terjadi di masyarakat. Bentuk-bentuk akomodasi adalah coercion, compromise, mediation, conciliation, toleration, stalemate, dan adjudication.
Proses akomodasi berlanjut pada proses asimilasi, yaitu proses pencampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, yang kemudian menghasilkan budaya sendiri yang berbeda dengan budaya asalnya. Proses asimilasi ini penting dalam kehidupan masyarakat yang individunya berbeda secara kultural.
Bungin (2006:62) menjelaskan proses asimilasi terjadi apabila ada :
1. Kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaannya,
2. Individu sebagai warga kelompok bergaul secara intensif untuk waktu yang relatif lama,
3. Kebudayaan dari masing-masing kelompok saling menyesuaikan terakomodasi satu dengan lainnya,
4. Menghasilkan budaya baru yang berbeda dengan budaya induknya.
Proses sosial disasosiatif merupakan proses perlawanan yang dilakukan individu-individu dan kelompok dalam proses sosial di antara mereka pada suatu masyarakat. Bentuk-bentuk proses ini adalah persaingan, kontroversi, dan konflik. Persaingan adalah proses sosial individu atau kelompok berjuang dan bersaing mencari keuntungan pada bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik namun tanpa ancaman dan kekerasan. Kontrovesi adalah fenomena yang menggambarkan persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Konflik adalah proses sosial individu atau kelompok yang menyadari memiliki perbedaan, misalnya ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, atau kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.
Budaya nasional yang supraetnis, berdasarkan hakikat unsur dan proses pembentuknya, harus mempunyai daya cakup yang luas sehingga meliputi seluruh rakyat dan wilayah Indonesia. Dalam lingkungan budaya nasional yang supraetnis demikian, setiap orang Indonesia tidak mendapat perlakuan diskriminatif. Budaya demikian diharapkan dapat memberikan rasa kesatuan dan persatuan bagi setiap WNI, yang merupakan perekat yang sangat diperlukan, terutama akhir-akhir ini, ketika marak terdengar keinginan kelompok-kelompok tertentu di tanah air untuk memisahkan diri dalam negara-negara bagian.
Bahasa Sebagai Alat Pemersatu Bangsa
Bahasa merupakan gejala sosial dan gejala kebudayaan, karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Hudson (1980) the study of language in relation to society. Di Indonesia, Nababan (1984) mengatakan bahwa sebagai anggota masyarakat terikat oleh nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika anggota masyarakat menggunakan bahasa.
Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi paling penting dalam dunia pendidikan, perhubungan tingkat nasional, pembangunan budaya, dan pemanfaatan iptek modern. Hal itu telah mengakibatkan bahasa Indonesia harus terus ditata dan dikembangkan agar tetap berperan sebagai alat komunikasi yang mantap dalam berbagai ranah pemakaiannya, seperti ranah sosial, politik, hukum, ekonomi, keuangan, perdagangan, dan industri. Melalui perjalanan sejarah yang panjang, bahasa Indonesia telah mencapai perkembangan yang luar biasa, baik dari segi jumlah penggunanya, maupun dari segi sistem tata bahasa dan kosakata serta maknanya. Sekarang bahasa Indonesia telah menjadi bahasa besar yang digunakan dan dipelajari tidak hanya di seluruh Indonesia, tetapi juga di manca negara. Untuk itu, warga Indonesia perlu disadarkan akan kenyataan ini, ditingkatkan kebanggaannya terhadap bahasa nasional, ditingkatkan kesadarannya akan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, serta fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa lingua franka yang berpotensi untuk mempersatukan seluruh bangsa.
Indonesia bukan hanya nama sebuah negara, tetapi juga sebuah bangsa yang memiliki sebuah realitas objektif baik dari segi geografisnya, budayanya, keragaman penduduknya, adat-istiadat dan agamanya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk (plural). Keanekaragaman merupakan perbedaan yang cukup kompleks dan tantangan ini bukan tidak mungkin menjadi bumerang sehingga dapat memecah belah bangsa ini. Dengan adanya bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional oleh semua suku bangsa yang ada, perpecahan itu dapat dihindari karena suku-suku bangsa merasa satu. Kalau tidak ada sebuah bahasa seperti Bahasa Indonesia yang bisa menyatukan etnis-etnis bangsa yang berbeda, tentunya akan banyak terjadi pertikaian karena kesalahpahaman dalam mnginterpretasi makna dari bahasa daerah yang beraneka ragam. Hal ini akan membuat perselisihan dan kekacauan yang menimbulkan perpecahan bangsa.
Negara yang memiliki keanekaragaman bahasa mempunyai masalah lebih banyak dibanding dengan negara eka bahasa. Pada tataran praktis, kesulitan komunikasi dalam suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan ekonomi dan industri serta gangguan sosial. Beberapa ahli meneliti masalah tersebut dengan menganalisis beberapa negara atas dasar jumlah bahasa dan pendapatan domestik bruto (GDP), yaitu Pool (1972); dan Fishman (1968). Negara yang secara linguistik homogen biasanya secara ekonomi berkembang (maju) dan keseragaman bahasa dan keadaan ekonomi dapat saling mendorong.
Apa peran bahasa dalam mempersatukan bangsa? Hal ini diawali dengan mengaitkan bahasa dengan nasionisme dan nasionalisme. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahasa yang dapat memegang peran dalam upaya mempersatukan bangsa adalah bahasa Indonesia sebab bahasa Indonesia bersama Pancasila dan kesamaan sejarah merupakan komponen nasional Indonesia. Argumentasi lain (Gunarwan, 2000:51) adalah bahwa bahasa asing, terutama bahasa Inggris mempunyai potensi melemahkan rasa nasionalisme Indonesia. Alasannya adalah bahwa ada anggapan bahasa Inggris lebih bergengsi daripada bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dapat mempengaruhi keterkaitan sentimental orang Indonesia pada bahasa Indonesia.
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang dirundung ancaman perpecahan karena bahasa-bahasa di Indonesia dapat dibedakan menurut status masing-masing, menjadi bahasa nasional (bahasa Indonesia), bahasa daerah, dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Apa peran masing-masing dalam mempersatukan bangsa ini? Atas dasar pemikiran bahwa bahasa Indonesia bersama Pancasila dan sejarah bangsa adalah perekat sosial bangsa ini, apa yang perlu kita lakukan agar bahasa Indonesia dapat berperan secara optimal sebagai pemersatu bangsa Indonesia?
Fishman (1972), dalam Fasold (1984:2-7) memakai dua istilah untuk menjelaskan peran bahasa dalam satuan politico-teritorial yang disebut nasion. Kedua istilah itu adalah nasionisme dan nasionalisme. Nasionisme berkaitan dengan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dalam arti luas. Nasionalisme yakni satuan sosiokultural yang terdiri atas orang-orang sebagai anggota suatu satuan sosial yang berbeda dengan kelompok-kelompok lain. Peran bahasa dalam nasionisme berbeda dari peran bahasa dalam nasionalisme. Menurut Fishman, bahasa memegang peran penting seperti kebudayaan, agama, dan sejarah 'language serves a link with 'the glorious post' and with authencity (Fasold, 1984:3), sedangkan Garvin dan Mathiot (1956) peran bahasa dalam kaitannya dengan nasionalisme adalah fungsi pemersatu (unifying) dan pemisah (separatist). Fungsi pemersatu mengacu pada perasaan para anggota suatu nasionalitas bahwa mereka disatupadukan serta diidentifikasikan dengan orang-orang lain yang menggunakan bahasa yang sama. Fungsi yang kedua merujuk ke perasaan para anggota nasionalitas bahwa mereka berbeda dan terpisah dari orang-orang yang berbahasa lain.
Dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia, tampaknya fungsi yang pertama itulah yang perlu dibina agar semua warga yang berbahasa Indonesia, merasa anggota satu bangsa yang sama.
Komunikasi dan Interaksi Sosial Masyarakat
Dalam memasuki era globalisasi, bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini harus mempersiapkan diri demi kelangsungan hidupnya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diketahui antara lain, gambaran kehidupan di era globalisasi, tuntutan dan peluang apa saja yang ada di dalamnya dan bagaimana meresponsnya. Untuk itu, perlu diadakan tinjauan budaya untuk mengetahui apakah budaya Indonesia yang ada sekarang ini sudah siap mengahadapi era globalisasi. Budaya yang dapat menghadapi tuntutan seperti itu adalah budaya yang tangguh, sehingga ia dapat menghimpun potensi dari seluruh rakyat yang majemuk untuk menghadapi tantangan dari luar. Semua potensi yang terdapat dalam masyarakat Indonesia hendaknya dapat ditampung dalam wadah yang disebut budaya nasional Indonesia, yaitu budaya yang mengakui kebinekaan yang terdiri atas budaya-budaya etnis.
Kemajuan di bidang komunikasi dan transportasi membuat dunia makin terbuka dan batas-batas atau sekat-sekat yang memisahkan satu bangsa dari bangsa lain makin memudar, memaksa masyarakat Indonesia untuk bergaul dengan masyarakat negara lain. Agar manusia Indonesia dapat bergaul dan berfungsi sebagai warga negara secara efektif dalam masyarakat Indonesia modern, ia perlu memperhatikan dan mengindahkan nilai-nilai yang diyakini dan dianut oleh pemikiran modern dewasa ini, antara lain, nilai-nilai yang terdapat dalam konsep demokrasi. Terjadinya konflik nilai dalam kelompok masyarakat budaya Indonesia dewasa ini dapat diamati dan sudah dapat diramalkan. Konflik itu dapat terbuka dan dapat pula terpendam. Di satu sisi dipaksa untuk mengikuti nilai-nilai atau norma-norma yang baru, dan di sisi lain masih terikat dengan nilai-nilai atau norma-norma tradisional.
Interaksi dan Pembauran Sosio--Kultural Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan bersifat dinamis. Budaya-budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sangatlah beragam. Keragamannya dapat dilihat dari adanya beberapa golongan, yaitu golongan Eropa, golongan orang Asing Timur dan golongan penduduk pribumi. Golongan Eropa adalah golongan orang-orang asing seperti Belanda. Golongan orang Asing Timur adalah golongan orang-orang asing seperti Cina, Arab, India. Di antara tiga golongan orang Asing Timur, Cina adalah yang terbesar. Sedangkan golongan penduduk pribumi juga dapat dikatakan sebagai golongan mayoritas. Ketiga golongan ini sesuai dengan pemisahan yang dilakukan berdasarkan garis warna. Golongan Eropa menempati tempat tinggal di pusat kota atau di bagian utama suatu daerah. Mereka menduduki yang paling atas, seperti pegawai pemerintah, pengusaha, pedagang besar, dan penguasa militer. Golongan orang Asing Timur tinggal di lokasi yang secara spasial terpisah dengan lokasi pemukiman penduduk pribumi. Golongan ini kebanyakan menduduki sektor kehidupan ekonomi tingkat menengah, yaitu sebagai perantara bagi orang Barat dengan orang pribumi. Golongan Cina umumnya bergerak pada sektor perdagangan dan perusahaan seperti sebagai distributor atau agen usaha-usaha impor, pengusaha perkebunan, pedagang perantara antara kota, pertokoan.
Dalam struktur perekonomian golongan ini dikenal sebagai penguasa sektor perdagangan. Kedudukannya sebagai golongan minoritas yang berkuasa dalam sektor perdagangan dan sektor perekonomian di tanah jajahan menimbulkan situasi konflik.
Sekalipun ada keterbatasan-keterbatasan hubungan antar golongan, tetapi tidak berarti tidak ada proses pembauran. Dalam batas-batas tertentu pembauran juga terjadi. Dapat ditunjukkan misalnya adanya proses asimilasi antara sejumlah orang Eropa dengan wanita pribumi yang kemudian melahirkan golongan Indo, sebagai hasil perkawinan mereka. Selain lahirnya golongan Indo sebagai hasil hubungan perkawinan antara pemuda Eropa dengan wanita pribumi, terjadi pula akulturasi kebudayaan baru yang dikenal sebagai kebudayaan metizo, yang oleh Milone disebut kebudayaan Indis atau Indish Culture.
Pembauran ini juga sekaligus diikuti dengan proses adaptasi sosio-kultural dari mereka yang melahirkan tradisi kebudayaan baru, seperti tercemin dari kelahiran jenis kesenian keroncong bagi golongan Maraykers (pembauran Portugis dan pribumi), dan gaya hidup dalam berbahasa, makan, berpakaian, dan gaya kerumahan bagi golongan Indo atau peranakan orang Eropa dan Indonesia.
Proses akulturasi budaya juga terjadi di lingkungan kehidupan, keluarga orang Eropa. Penyesuaian mereka terhadap jenis makanan Indonesia, kebiasaan sehari-hari, masuknya istilah atau bahasa setempat ke dalam bahasa mereka. Hal-hal tersebut merupakan adaptasi baru yang diperoleh dari proses pembauran dengan lingkungan sosio-kultural di wilayah itu.
Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa dalam batas-batas tertentu interaksi sosial terdapat segi-segi yang mendorong terjadinya pembauran. Kontak-kontak-kontak sosial budaya antar golongan etnik di lingkungan perkotaan di Indonesia telah melahirkan sintesa--sintesa baru, terutama dalam konfigurasi tradisi sosi kultural baru yang dibutuhkan oleh golongan penduduknya.
Integrasi Dalam Kebudayaan Nasional
Pembangunan dewasa ini memang telah banyak membuat perubahan dan pembaharuan disegala bidang penghidupan, berarti mendorong gerak maju kebudayaan dengan warisan pengetahuan yang berorientasi nasional. Makin dirasakan identitas setiap warga terhadap azaz tunggal pencasila. Dalam era globalisasi sekarang, maka yang menjadi penting interpretasi dan reintrepetasi nilai-nilai serta simbol-simbol yang akan digunakan menghadapi tantangan dan kebutuhan masa datang.
Pengertian integrasi dalam kebudayaan adalah proses penyesuaian antar unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga mencapai suatu keserasian fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Integrasi nasional dari bangsa atau nasional indonesia, dilihat dari aspek budaya merupakan proses pembentukan kesatuan solidaritas kebangsaan. Kesatuan itu beranggotakan antara lain nasion-nasion lama (suku bangsa) yang berbeda budaya, yang mencapai keserasian dalam kehidupan masyarakat, dengan sejumlah peranan dan kedudukan Indonesia. Anggota masyarakat itu tidak harus terlepas dari keanggotaan nasion lama itu (Bachtiar, 1985 : 1994).
Walaupun di satu pihak kita bangga akan sifat aneka warna itu, di lain pihak kita juga prihatin mengingat akan aneka warna masalah yang mungkin dapat timbul karena sifat itu. Bangsa yang mempunyai sifat aneka warna, juga mempunyai aneka warna kemauan dan karena itu satu tujuan dan sukar untuk mempersatukan potensinya guna tercapainya hasil optimal dalam pembangunan.
Masalah integrasi yang mencakup aneka warna kebudayaan suku bangsa di Indonesia adalah masalah merubah berlainan, yang dalam persaingan mengerjar kesempatan bekerja serta pendidikan yang terbatas dapat menimbulkan sifat tegang dan bermusuhan. Sikap semacam itu tentu hanya timbul apabila sejumlah warga dari suku bangsa berlainan tadi tinggal bersama di satu lokasi dana terpaksa bergaul secara intensif di tempat itu, seperti d kota-kota, di daerah-daerah transmigrasi dan di tempat-tempat pembangunan proyek industri yang baru.
Usaha membina persatuan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa yang menyangkut masalah bangsa adalah usaha mengatasi masalah pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Masalah tersebut bukan hanya suatu masalah cita-cita saja, melalui perkembangannya suatu kebudayaan kesatuan yang kita bayangkan untuk kelak di kemudian hari, melainkan menurut hemat suatu masalah yang sangat nyata, mempengaruhi kehidupan kita sebagai suatu nasion atau bangsa yang bernegara. Hal itu dikarenakan masalah kebudayaan nasional Indonesia menyangkut masalah kepribadian nasional, yang tidak hanya langsung mengenai identitas mita sebagai bangsa tetapi juga menyangkut masalah motivasi untuk bersusah payah bersama mengorbankan banyak harta dan tenaga untuk membangun. Hemat kebudayaan nasional dari suatu nasion agar dapat dihayati oleh sebagian warga suatu negara maka sebagai syarat mutlak harus merupkan gagasan, suatu aktivitas sosial, atau hasil karya yang bermutu tinggi dari warga nasion itu sendiri yakni agar dapat menjadi kebanggaan bagi sebagian besar warga negara yang membutuhkannya. Syarat mutlak lain yang merupakan ciri suatu kebudayaan nasional adalah sifat khas dan istimewa dari gagasan aktifitas sosial atau hasil karya itu tanpa ada persamaannya dengan kebudayaan lain di dunia. Hal ini sangat diperlukan karena suatu kebudayaan nasional harus mampu mempertinggi identitas nasion dengan memberi sikap keistimewaan khusus kepadanya.
Hubungan Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, dan Pembangunan Nasional
Pengertian wawasan nusantara menurut TAP MPR Nomor I I/MPR 1993 tentang GBHN adalah : Wawasan nusantara yang merupakan wawasan nasional yang bersumber pada pancasila dan berdasarkan UUD 1945, yaitu cara pandang dan sikap bangsa indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggara kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan menurut buku "Wawasaan Nusantara" disusun oleh Lemhamnas tahun 1995 : Wawasan nusantara adalah cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensi yang serba terhubung dan pengembangannya ditengah-tengah bangsa lain berdasarkan falsafah nasionalnya. Pengertian yang lain : Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang serba Nusantara dalam dunia yang serba berubah, berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan sejarah dan budaya serta dengan memanfaatkan kondisi dan konsistensi geografi, dalam upaya mewujudkan aspirasi bangsa dan mencapai tujuan nasional dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional.
Ketahanan nasional adalah konsep kemampuan atau kekuatan nasional yang bersifat dinamis dan merupakan integritas semua aspek yang memungkinkan suatu bangsa menghadapi dan mengatasi segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang datang dari luar atau dari dalam tubuh bangsa itu sendiri, yang secara langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan pencapaian tujuan nasional dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.
Pembangunan nasional adalah pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat yang dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosbud, dan aspek hankam dengan senantiasa harus merupakan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional, yang diselenggarakan dengan membangun bidang pembangunan yang diselaraskan dengan sasaran jangka panjang yang ingin diwujudkan. Pembangunan diselenggarakan melalui pendekatan ketahanan nasional yang mencerminkan keterpaduan antara segala aspek kehidupan bangsa secara utuh dan menyeluruh.
Ketahanan nasional merupakan integritas dari kondisi dinamis tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya, ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan. Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahahanan nasional. Selanjutnya ketahanan nasional yang tangguh, akan lebih mendorong pembangunan nasional.
Untuk tetap memungkinkan pembangunan nasional yang selalu harus menuju kepada tujuan yang ingin kita capai dan agar dapat secara efktif dielakkan hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan yang timbul, baik dari luarmaupun dari dalam, perlu dipupuk terus menerus pertahanan nasional yang meliputi segala aspek kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian kaitan atau hubungan antara wawasan nusantara dan ketahanan nasional dapat diimplementasikan sebagai pedoman dan orientasi pembangunan nasional.
Pengembangan Manusia Indonesia Seutuhnya -- Membentuk Manusia Indonesia Berpendidikan dan Berbudaya
Manusia berpendidikan banyak diartikan sebagai manusia yang telah berkembang kemampuan intelektualnya karena pendidikan (sekolah). Penegrtian yang cenderung populer ini juga disebabkan oleh adanya budaya pendidikan yang intelektualistis. Sedangkan seseorang yang disebut berbudaya adalah seorang yang menguasai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etis dan moral yang hidup di dalam kebudayaan tersebut. Seseorang dapat saja berpendidikan luas dan tinggi tetapi mungkin saja hidupnya tidak bermoral. Dalam hal ini berarti orang tersebut berpendidikan tetapi tidak berbudaya.
Sebagaimana sulitnya kita mengembangkan mengenai bentuk rupa kebudayaan nasional Indonesia, maka begitu pula sulitnya kita merumuskan konsep manusia Indonesia yang jelas dan dapat disepakati oleh semua orang. Kesulitan tersebut bukan saja disebabkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia yang bhinneka, tetapi juga karena manusia itu sendiri bersifat multidimensional.
Para pakar memang tidak sepakat mengenai apakah sebenarnya manusia itu. Bahkan E-bloth mengatakan bahwa manusia belum mengetahui siapakah dirinya itu. Artinya bahwa kita tidak mempunyai pengetahuan lokal tentang manusia. Ada yang mengatakan bahwa manusia itu adalah sejarah yang mempunyai masa lalu, masa kini, dan cita-citanya di masa depan. Oleh sebab itu, manusia bukanlah suatu diktum atau suatu titik yang telah menjadi dan telah sempurna tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi. Karena itu pula dapat dimengerti mengapa dikatakan bahwa manusia belum mengetahui siapakah sebenarnya dirinya itu. Hakekat manusia dapat dilihat dari berbagai dimensi yang masing-masing memberikan gambaran sesuai dengan dimensi penglihatan masing-masing. Manusia dapat dilihat dari dimensi religiusnya, sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Selanjutnya manusia dapat dilihat dari dimensi simbolis yaitu makhluk yang mengenal nilai-nilai estetika, etika, iptek dan sebagainya. Selain daripada itu manusia juga dapat dilihat dari dimensi kesejarahannya karena hanya manusialah yang makhluk yang menyejarah. Oleh sebab itu manusia akan terus-menerus berkembang selama keberadaaanya di dunia ini.
Dengan demikian untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenain konsep manusia Indonesia yang utuh dan menyeluruh, maka perlu diteliti dari berbagi dimensinya. Dalam sejarah hidup bermasyarakat kita selama ini, ada suatu kecendurangan, untuk mencari konsep manusia Indonesia yang multi dimensional seperti misalnya konsep manusia Indonesia seutuhnya.
Harus diakui bahwa manusia mempunyai keunikannya masing-masing sehingga pendidikan untuk pengembangan manusia seutuhnya belum lengkap apabila manusia itu tidak dikembangkan kemampuan istimewanya secara optimal. Inilah bidang spesialisasi oleh masing-masing manusia yang perlu mendapat perhatian. Pendidikan yang baik bukanlah pendidikan yang menyamaratakan manusia, tetapi yang pertama-tama memberikan kesempatan kepada perkembangan manusia itu yang utuh yang kemudian dilengkapi dengan pengembangan kemampuan khsusnya. Pendidikan umum (general education) atau bisa juga berbentuk wajib belajar bagi semua warga negara, barulah merupakan dasar pertama dan utama bagi pengembangan seorang manusia yang utuh.
Mewujudkan Masyarakat Madani dalam Pembangunan NKRI
Hakekat manusia mempunyai kesamaan yaitu karena kemanusiaannya itu. Di dalam kesamaan manusia itu dimungkinkan lahirnya kebudayaan. Dari situlah masyarakat dapat hidup mempertahankan eksistensinya dan bahkan berkembang membangun kehidupannya melalui kerjasama dengan sesama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan sangat berperan dalam membentuk dan mengembangkan kebudayaan. Pendidikan memperkenalkan nilai-nilai inti dari kebudayaan. Dengan pengenalan serta penghayatan terhadap nilai-nilai inti ini maka masyarakat akan dapat menagadakan perubahan pada pranata-pranata sosialnya sebagai pendukung nilai-nilai dan kebijakan. Untuk dapat berperan demikian maka masyarakat harus mempunyai pengetahuan yang sama (common knowledge). Di sinilah interaksi antar universal dan alternatif harus di jalin sedemikian rupa agar suatu kebudayaan dapat eksisten berkembang. Di sini pula terletak pentingnya pengembangan identitas seseorang di dalam lingkungan kebudayaannya. Seorang yang kehilangan identitasnya tidak mungkin dapat mengembangkan kemampuannya untuk memperkaya kebudayaannya. Dalam pembangunan masyarakat madani kita lihat ada dua komponen yang berperan itu individu sebagai pelaku di dalam masyarakat dan pranata-pranata sosial yang menampung nilai-nilai budaya yang akan mengatur tercapainya tujuan bersama. Pentingnya masyarakat madani dalam kelangsungan hidup negara telah menjadi pokok pemikiran yang akan di kaji dalam ilmu politik demi pembangunan nasional bangsa Indonesia.
Era reformasi bertujuan untuk membina suatu masyarakat Indonesia baru untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis. Masyarakat Indonesia yang demokratis adalah masyarakat madani yang melakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni negara dan menekankan pada kebebasan individu yang bertanggung jawab. Itulah manusia Indonesia yang mandiri, bermoral tinggi, dan nasionalis sejati yang mempunyai kepribadian bercirikan kebudayaan Indonesia.
Penutup
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat yang bhinneka bukan hanya karena keadaan geografisnya tapi juga karena sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Oleh sebab itu bangsa Indonesia bukan hanya terjadi dari berbagai suku tetapi juga dengan berbagai kebudayaan sesuai dengan pengaruh-pengaruh kebudayaan dunia yang telah emmasuki Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Dengan demikian kebudayaan Indonesia terjadi dari lapisan-lapisan budaya dengan ciri yang khas yang telah emasuki dan berintegrasi dalam budaya lokal. Dengan itu kita dapat mengenal lapisan-lapisan budaya Hindu-Budha, budaya Islam, budaya Kristen, dan pada akhir-akhir ini, kebudayaan global. Pengaruh-pengaruh kebudayaan ini telah membentuk suatu mozaik kebudayaan yang sangat kaya dan bervariasi dari kebudayaan Indonesia, sama dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh tumpah darah Indonesia.
Masyarakat madani Indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat persemaina yang sempurna di dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia. Sudah tentu praktek pelaksanaan asas-asas demokrasi di dalam masyarakat madani tidak akan berhenti di dalam pengembangan kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut juga dikembangkan rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia yang telah dicetuskan di dalam kebangkitan nasional 1908 hingga saat ini. Antara pengembangan kebhinekaan dan persatuan Indonesia, perlu ada keseimbangan yang dinamis. Keseimbangan yang dinamis tidak mungkin tercapai apabila hegemoni negara sangat kuat dan menekan inisiatif pribadi. Kehidupan demokrasi di dalam bidang politik berarti mewujudkan kembali keadulatan rakyat di dalam partisipasi rakyat untuk menata dan mengatur kehidupan bersama. Di dalam kehidupan ekonomi berarti, masyarakat akan hidup di dalam pasar bebas, dunia yang terbuka yang ditunjang oleh kemajuan teknologi komunikasi. Dengan demikian, masyarakat perlu diberdayakan di dalam kemampuan berekonominya agar tidak terlindas dan tetap survive serta dapat berpartisipasi di dalam perdagangan bebas. Di bidang hukum, dilaksanakan pula kehidupan bersama dimana hak dan kewajiban individu sama di mata hukum. Nilai-nilai politik, ekonomi, hukum, budaya, seperti yang dinyatakan di atas, seluruhnya membentuk pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dan tanggung jawab setiap manusia untuk membangun dirinya sendiri dan untuk bersama.
Dengan demikian, masyarakat madani Indonesia yang kita cita-citakan adalah masyarakat yang mengakui akan human dignity yang tidak lain berarti pengakuan pada setiap orang untuk berkembang, mengatur dirinya sendiri, baik secara perorangan maupun di dalam hidup bersama, sehingga diharapkan bahwa masyarakat yang berpendidikan serta berbudaya dengan semua etnis bangsa dan segala kebhinekaannya diharapkan dapat berwawasan nusantara serta berperan serta aktif dalam kegiatan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ReferensiÂ
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Predana Media Group.
Cruse, Alan. 2000. Meaning in Language. Newyork : Oxford University Press.
Depdikbud, 1989. Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta : Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Depdikbud. 1996. Integrasi Nasional Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa Dan Sistem Nilai Budaya Nasional. Ujung Pandang : CV. Maju Jaya
Depdiknas. 2002. Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Proyek Peningkatan Tenaga Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Fasold, Ralph. 1984. The Sosiolinguistics of Society. Oxford : Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1993. "Reversing Language Shift : Successes, Failures, Doubt, and Dillemas". Dalam E. H. Jahr. (ed). Language Conflict and Language Planning. Berlin : Mouton De Gruyter.
Mulyana, Deddy. dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tilaar. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H