Industri perfilman global telah mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu. Berkat perkembangan teknologi, industri film semakin gencar untuk menghasilkan film dengan berbagai genre serta efek visual yang atraktif. Tidak hanya itu, film juga semakin mudah untuk diakses melalui berbagai platform berbayar seperti Netflix, Disney +, Amazon Prime, VIU, dan sebagainya.
Meskipun sudah banyak platform layanan menonton film yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja, masyarakat tetap antusias untuk menonton film di bioskop. Bahkan, saat ini masyarakat tidak perlu mengantri lama untuk membeli tiket bioskop berkat adanya digitalisasi.
Tidak heran jika film menjadi salah satu sarana hiburan yang sangat diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Film tidak hanya bisa menjadi media hiburan masyarakat, tetapi juga menjadi media yang efektif bagi negara untuk melakukan diplomasi terhadap negara lain. Seiring dengan berkembangnya zaman, strategi negara dalam mewujudkan kepentingannya di kancah internasional lebih banyak mengandalkan soft power daripada hard power.
Soft power sendiri merupakan kemampuan suatu negara untuk mewujudkan kepentingannya melalui hal - hal yang dapat menarik perhatian tanpa adanya paksaan.
Salah satu sumber soft power suatu negara adalah budaya. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan negara Korea Selatan dalam memasarkan budaya Korea atau yang lebih sering dikenal sebagai Hallyu ataupun Korean Wave. Produk budaya Korean Wave yang saat ini tidak asing lagi seperti musik, drama, film, fashion, beauty product, dan sebagainya, rupanya memberikan kontribusi besar bagi perekonomian negara Korea Selatan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh The Korean Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE), mereka menemukan bahwa ekspor komoditas seni dan budaya Korean Wave pada tahun 2017 setara dengan 3.8 Juta USD, yang mana meningkat 18,7% dari tahun 2016.
Selain negara Korea Selatan, adapun negara Selandia Baru yang berhasil memanfaatkan produk budaya seperti film untuk meningkatkan pendapatan negara di bidang pariwisata.
Melalui film trilogi The Lord of The Rings dan The Hobbit yang sebagian besar berlatar pada pemandangan alam di negara tersebut, film tersebut sukses dalam memikat penggemar film di seluruh dunia dan membantu negara itu menuai peningkatan 50% dalam kedatangan turis di negara itu sejak rilis film pertama pada tahun 2001.
Dengan demikian, film sebagai hasil dari budaya dapat menjadi instrumen untuk mendukung negara menjamin kepentingan nasionalnya di kancah internasional.
Industri perfilman di Indonesia juga saat ini berkembang pesat dan mulai menunjukkan taringnya di kancah global. Banyak dari film - film produksi Indonesia bahkan mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat baik lokal maupun internasional dan memenangkan penghargaan bergengsi di ajang festival film internasional.
Salah satu film tersebut berjudul Sekala Niskala. Film yang diproduksi Fourcolours Films bersama Treewater Productions tersebut disutradarai sekaligus ditulis skenarionya oleh Kamila Andini. Terdapat nama-nama bintang terkenal yang ikut bermain dalam film tersebut seperti Ayu Laksmi yang memerankan tokoh Ibu dan Happy Salma yang memerankan tokoh Suster Ida.
Uniknya, selain nama-nama bintang diatas, sebagian tokoh utama dalam film Sekala Niskala dimainkan oleh orang yang belum pernah memiliki pengalaman bermain film. Bahkan, terdapat dua aktor cilik yang ikut memerankan tokoh utama dalam film tersebut. Namun, performa dari setiap aktor di film tersebut tidak dapat diremehkan begitu saja.
Film bergenre drama yang banyak diperbincangkan ini dirilis secara serentak di Indonesia pada Maret tahun 2018. Namun sebelumnya, film dengan judul internasional “The Seen and The Unseen” telah ditayangkan di beberapa festival film, diantaranya Busan International Film Festival, Toronto International Film Festival, serta Jogja - NETPAC Asian Film Festival (JAFF).
Film ini sarat akan kebudayaan masyarakat Bali tentang Sekala yang berarti terlihat dan Niskala yang berarti tidak terlihat. Film berdurasi delapan puluh satu menit ini mengisahkan dua anak kembar perempuan dan laki-laki yaitu Tantra Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena).
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, kembar beda kelamin atau disebut kembar buncing ini diyakini sebagai sebuah keseimbangan, namun ada pula yang meyakini bahwa fenomena tersebut dapat membawa petaka. Petaka tersebut kemudian disimbolkan dalam film Sekala Niskala ketika Tantra, sang Adik harus meregang nyawa akibat sakit keras yang perlahan merenggut kemampuan inderanya satu persatu.
Tantri, sang Kakak yang tidak ingin menerima kepergian adiknya, Ia membangun dunia imajinasi dimana ia dan adiknya dapat bertemu.
Setiap malam, Tantra menyelinap ke ruang inap saudara kembarnya. Dalam dunianya, Tantri seolah-olah tidak pernah mengalami sakit yang menimpanya dan dapat bersenang-senang seperti dahulu kala.
Kemudian saat fajar menyingsing, saudara kembar tersebut harus kembali ke kenyataan dimana sang Adik yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dan sang Kakak yang terjebak dalam kekosongan tanpa kehadiran sosok sang Adik.
Penggambaran antara dunia imajinasi Tantra dengan realita dalam film tersebut disajikan dengan apik dan sangat tidak kentara batasannya sehingga mendorong penonton untuk menebak-nebak momen - momen bersama saudara kembar berlangsung di dunia yang sama atau tidak.
Selain itu, film ini juga sukses dalam menyajikan secara simbolis keseimbangan dalam kehidupan. Keseimbangan tersebut divisualisasikan melalui tokoh anak kembar yang saling melengkapi dan dunia paralel antara yang kasat mata dan tidak kasat mata. Tim produksi film tersebut juga dengan piawai mengangkat budaya dan adat tradisional Bali.
Dalam adegan perjumpaan sepasang saudara kembar tersebut, kedua aktor cilik memainkan gerak tari kontemporer namun tidak menghilangkan unsur tradisionalnya. Dalam film tersebut, dialog yang digunakan juga menggunakan bahasa Bali.
Alur cerita film Sekala Niskala yang apik dan dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari yang sebagian besar meyakini akan adanya dunia paralel antara yang kasat mata dan tidak kasat mata serta visualisasi yang menarik, tidak heran jika film ini sukses mengantongi berbagai penghargaan bergengsi di ajang festival film internasional.
Sederet penghargaan yang diterima film tersebut diantaranya, Grand Prize di Tokyo FILMeX International Film Festival tahun 2017, Best Youth Feature Film di Asia Pacific Screen Awards tahun 2017, Golden Hanuman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival tahun 2017 dan yang terakhir adalah Generation KPlus International Jury dalam Berlinale Film Festival tahun 2018.
Prestasi yang berhasil diraih film tersebut dalam ajang festival film internasional yang bergengsi tentunya dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Tidak hanya itu, film Sekala Niskala yang banyak mengangkat nilai budaya tradisional Indonesia terutama budaya tradisional Bali juga dapat menjadi sarana bagi Indonesia untuk mempromosikan budayanya dan mengangkat citra Indonesia di mata dunia sebagai negara yang kaya akan budaya. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan dari diplomasi.
Seiring dengan berkembangnya zaman, diplomasi tidak melulu harus dilakukan melalui pertemuan formal government to government. Diplomasi dapat dilakukan menggunakan media film dengan aktor pelaksanaanya yang bukan dari pemerintah. Film yang pada hakikatnya media komunikasi dapat menyampaikan pesan yang secara luas dan mudah dicerna oleh masyarakat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa film Sekala Niskala merupakan media efektif bagi Indonesia dalam melaksanakan diplomasi hiburan demi meningkatkan citra negaranya di mata dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H