Dear sang
Di tempat bahagiamu
Apakah kau memahami kekinian, bebisikan bayu menjelma riuh. Ada genta yang berdentang sepengatahuanku tetapi tak diwartakan oleh bibir metsua. Tetapi derak pepohonan dan tarian rintik menjelaskannya padaku. Alam inilah kawanku nan sejati, sesaat ketika ku lepaskan ikatan antara aku dan jiwa-jiwa, pintaku pada jiwa bumi yang ramah hanya satu, mewartakan tentang jiwa-jiwa yang ku urai itu. Seperti pintaku pada Roh Agung mengenai kebenaran dari setiap ikatan. Ikatanku dan mereka, seperti simpul yang sayangnya tak mati, getaran-getaran terkadang sampai secepat bibir yang tadinya kelu, secepat bayu yang berlari, yang ada dan menghilang. Ah, dengan menutup mata aku melihat senyum serenade nan mempesona itu, dan secercah cahaya kecil disisinya. Sebuah jiwa cantik yang bersinar kuat dan mengalir, bukan air seperti milikku, lebih mirip tanah yang mantap. Ya, wangi tanah yang manis, semoga pohon berbunga itu menyenandungkan melodi lebih indah dari yang pernah ku dengar dan melahirkan tunas-tunas baru. Sang, apakah kau merasakan juga, debaran yang jauh, melintasi waktu esok yang rapuh, tempat sosok jiwa akan hidup, darahnya yang hidup didalam aku. Suatu waktu nanti, hujan tak hanya menghadirkan badai tetapi juga pelangi.
Btzg,311211
Salam hangat,
Serenity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H