Mohon tunggu...
Nur LailatulRohmah
Nur LailatulRohmah Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswi Psikologi

Just trying to be better

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

LGBT Sebuah Penyimpangan atau Kebebasan?

28 Juli 2023   11:22 Diperbarui: 28 Juli 2023   11:31 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/ Isak Lopez

KOMPAS.com – Belakangan ini topik mengenai LGBT santer diperbincangkan dalam berbagai media sosial. Isu LGBT Kembali menjadi pembicaraan yang mendatangkan pro dan kontra setelah adanya isu pergelaran ASEAN Queer  Advocacy Week yang direncanakan akan diadakan di Jakarta. Namun demikian, karena ancaman keamanan maka acara ini pun batal diadakan di Jakarta.

Menurut American Psyciatric Association (APA) LGBT adalah kependekan dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender. LGB dalam istilah ini merujuk pada orientasi seksual yang merupakan ketertarikan emosi, romantis dan seksual antara perempuan terhadap perempuan (lesbian) atau laki-laki terhadap laki-laki (gay), atau antara laki-laki atau perempuan terhadap kedua jenis kelamin (biseksual). Sedangkan T dalam LGBT mengacu pada transgender yaitu istilah untuk individu identitas gender/ekspresi gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.

Pada pihak yang menolak stigma dan keberadaan LGBT cenderung menganggap LGBT sebagai identitas yang bersinggungan dengan identitas pribadi, etnis, budaya, dan sosial lainnya. Sedangkan pihak yang mendukung LGBT menerima keberadaan mereka sebagai bentuk dari kebebasan manusia yang patut dihargai. Bila kita menengok kebelakang pada sejarah penerimaan sosial LGBT, pada tahun 1977 43% orang dewasa AS setuju untuk ‘melegalkan’ hubungan gay atau lesbian, kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 66% pada tahun 2013. Sedangkan Indonesia berada pada posisi ke 5 dari jumlah populasi LGBT terbear di dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika (Survey CIA, 2015) atau setidaknya 3% dari total penduduk Indonesia adalah LGBT.

Atas perhatian besar yang didapatnya ini, untuk pertama kalinya  Dewan HAM PBB mengeluarkan resolusi pertama tentang pengakuan hak-hak atas LGBT, yang pada akhirnya Komisi HAM PBB mendesak semua negara untuk memberlakukan hukum melindungi hak-hak LGBT. Kemudian Belanda menjadi Negara pertama yang mengakui pernikahan pada pasangan yang sesama jenis. Dilansir dari pewresearch.org (2023) lebih dari 30 negara lain telah memberlakukan undang-undangyang mengizinkan pasangan sesam jenis (gay dan lesbian) untuk menikah, dimana hal ini kebanyakan terjadi di eropa dan Amerika.

 Fenomena ini menjadikan komunitas LGB sebagai entitas minoritas yang mulai mengglobal ke seluruh penjuru dunia. Tahukah kalian bagaimana laju perkembangan LGBT sangat cepat ? (Brechwald & Prinstein 2011 , Steinberg & Monahan 2007 ), ( Mulvey & Killen 2015 , Pasco 2011 ), ( Birkett et al. 2009 , Poteat & Espelage 2007 , Russell et al. 2014 ), dan banyak penelitian lain menunjukkan perkembangan pada masa remaja berperan penting terhadap terbentuknya kecenderungan dalam pola pemikiran LGBT. Kaum muda LGBT biasanya muncul selama periode perkembangan remaja, dimana dalam masa ini remaja rentan terhadap perilaku dan sikap pengucilan sosial serta pengaruh yang kuat dari teman sebaya. Dapat dikatakan bahwa masa remaja menjadi masa krisis pembentukan identitas individu, apabila seseorang mendapatkan pengalaman remaja yang menyimpang diikuti dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat maka individu cenderung akan memilih identitas yang menyimpang.

Lantas, bagaimana pandangan psikologi dalam LGBT ?

Pada awalnya Diagnostic and Statistic Manual (DSM) menyatakan kaum “homoseksual” sebagai “gangguan sociopat” kemudian pada 1968 beralih menjadi “penyimpangan seksual” dan pada tahun 1973 berubah menjadi “penyakit mental”. Namun terjadi banyak protes dari aktivis gay yang membuat APA memutuskan homoseksual adalah “normal” (bukan penyakit kejiwaan). Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, Charles W. Socarides MD berpendapat bahwa gay bukanlah bawaan sejak lahir atau sebuah hal yang bersifat genetic. Lantas bagaimana individu dapat terpengaruh menjadi LGBT ? Jawabannya seperti pada paragraph sebelumnya bahwa factor psikososial atau masa perkembangan sejak individu lahir yang mampu mempengaruhi individu menjadi LGBT. Socarides menyebutkan bahwa LGBT telah berkembang menjadi gaya hidup alternatif bagi masyarakat. Artinya seseorang dapat menjadi LGBT dengan adanya informasi dan wawasan yang membuat pola pikir seseorang berubah dan secara tidak langsung dapat merubah orientasi seksualnya juga. Dengan demikian, LGBT dapat ditangani dengan terapi untuk merubah pola pikir mereka.

Sampai disini, rupanya penulis masih perlu melakukan banyak Research untuk menggali lebih banyak pemahaman mengenai komunitas LGBT. Terlepas dari semua ilmu pengetahuan yang berkembang selama ini untuk meneliti mengenai LGBT persepsi mengenai apakah LGBT sebagai bentuk penyimpangan ataupun bentuk dari bagian kebebasan manusia merupakan pendapat yang bersifat subjektif. Sampai jumpa pada artikel penulis berikutnya dengan konteks yang serupa.

Sumber Referensi :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/

https://www.apa.org/

https://www.pewresearch.org/religion/fact-sheet/gay-marriage-around-the-world/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun