Para penggemar film di Arab Saudi patut bergembira. Pasalnya, per 18 April 2018 kemarin mereka dapat menonton di bioskop lagi untuk pertama kalinya setelah harus bersabar selama 35 tahun. Film "Black Panther" menandai tonggak sejarah karena menjadi film pertama yang diputar (setelah 35 tahun terakhir) di sana.
Keputusan ini pertama kali diumumkan pada 11 Desember 2017. Putera Mahkota Mohammed bin Salman yang didukung oleh Raja Salman menjadi pelopor dari kebijakan tersebut. Langkah reformasi itu dilakukan untuk mewujudkan visi 2030. Dua poin di antaranya adalah untuk mendorong konsumsi dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja.Â
Dengan kebijakan tersebut, Arab Saudi diproyeksikan akan mereguk pemasukan hingga 90 miliar riyal ($24 miliar) dan membuka 30.000 lapangan pekerjaan hingga 2030.
Rentang waktu 3.5 dekade bukanlah waktu yang sebentar. Faktanya, sebelum Putera Mahkota Mohammed bin Salman menetapkan langkah reformasi, Arab Saudi telah mengalami jalan terjal dalam dunia bioskop dan perfilman.
Pada 1980 Arab Saudi memiliki ruang teater atau bioskop. Dengan jumlah mayoritas berada di Jeddah dan Mekkah, ruang teater tersebut menayangkan film-film Mesir, India dan Turki. Namun bioskop-bioskop di Arab Saudi saat itu berjalan tanpa adanya pengawasan dari pemerintah.
Seharusnya perkembangan bioskop mendapatkan dukungan dari pemerintah. Namun tidak demikian dengan yang terjadi di Arab Saudi. Hadirnya bioskop di Arab Saudi mendapatkan berbagai protes dan kritikan.
Banyak ulama dan pemikir konservatif beranggapan bahwa film-film barat bahkan Arab sendiri sebagai suatu dosa. Kerasnya protes yang mencuat saat itu akhirnya membuat keputusan besar di Arab Saudi: bioskop itu dilarang!
Akibatnya, para pecinta film di Arab Saudi harus pergi ke negara tetangga seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab untuk sekadar menonton bioskop atau mengaksesnya lewat internet atau TV satelit.
Syeikh Dr. Yousuf Al-Ahmad adalah salah satu ulama Arab Saudi yang mendukung kebijakan ini. Ia beranggapan bioskop adalah upaya kaum munafik dalam menyebarkan budaya barat alias westernisasi, merusak dan bahkan menjauhkan masyarakat dari Allah. Oleh karena itu begitu pelarangan bioskop diterapkan, ia menyambutnya dengan baik.
Walau bioskop adalah hal tabu di Arab Saudi, tidak berarti perkembangan film di sana nihil. Memang tidak sepesat film-film dari negara lain seperti Persia, Turki, apalagi Amerika namun nasibnya setidaknya lebih baik daripada keberadaan bioskop itu sendiri.Â
Dalam beberapa tahun belakangan, para sineas Arab Saudi bahkan mendapatkan dukungan dalam membuat film dari pemerintah. Beberapa momen bersejarah mencatat perkembangannya.
Pada 2006 Arab Saudi menyelenggarakan festival film Arab Saudi untuk pertama kalinya. Festival tersebut bahkan diadakan pula pada 2007 dan 2008 dengan menampilkan 16 film, 8 film Arab Saudi, dan 8 film asing. Di samping itu Organisasi Budaya dan Seni Arab Saudi juga telah mengadakan kompetisi film Arab Saudi dengan pendanaan dari pemerintah pada 2008.
Sejarah perfilman Arab Saudi kemudian berlanjut pada Juni 2009. Sebagai bentuk protes terhadap pelarangan bioskop, para pemuda dan sineas film Arab Saudi kala itu melakukan kampanye lewat film "Menahi". Dalam kampanye tersebut mereka mengajak masyarakat untuk hadir dalam pemutaran film dan mendukung pencabutan larangan bioskop di Arab Saudi.
Penonton film hanya dibatasi bagi pria dan anak-anak (laki-laki dan perempuan) dengan usia maksimal 10 tahun. Adapun bagi wanita dilarang menonton agar menghindari bercampurnya antara penonton pria dan wanita dalam ruangan.
Meski menjadi awal yang baik dalam sejarah film di Arab Saudi, tidak secara otomatis semua orang telah membuka diri. Sebagian besar justru kontra akan pemutaran film tersebut karena menganggap tindakan itu melanggar syariat. Salah satunya adalah Kepala Kepolisian Syariah Arab Saudi, Ibrahim Al-Ghaith.
Ia menganggap bahwa bioskop itu bersifat "jahat dan merusak". Ia juga memprotes akan pemutaran "Menahi" karena film itu adalah film pertama di Arab Saudi yang diputar tanpa adanya konsultasi dari pihak kepolisian syariah (religious police). Film di Arab Saudi harus mendapatkan persetujuan dari kepolisian syariah namun "Menahi" justru melanggarnya.
Penentangan film "Menahi"juga dilakukan oleh 40 orang pemuda. Mereka berusaha masuk ke tempat pemutaran dan bahkan mencegah orang-orang untuk menonton. Sementara itu dari Jeddah, warga melayangkan petisi kepada Raja Abdallah dan Menteri Dalam Negeri Pangeran Naif untuk menghentikan pemutaran film "Menahi".
Perkembangan film di Arab Saudi beberapa kali berada di titik terendah. Namun beruntung, itu tidak membuat para sineas di sana kapok. Pada 2013 insan perfilman Arab Saudi bahkan berhasil membuat gebrakan dengan mengirimkan film "Wadjda" sebagai perwakilan Academy Awards atau Oscar.Â
"Wadjda"Â bukan satu-satunya film Arab Saudi yang bersuara. Film "Barakah Meets Barakah" yang disutradarai oleh Mahmoud Sabbagh juga menjadi film Arab Saudi lainnya yang mengukir prestasi. Film tersebut berhasil tayang di Festival Film Internasional Berlin pada Februari 2017. Uniknya, film ini adalah film romantis pertama Arab Saudi yang bercerita tentang seorang pengabdi negara (PNS) yang jatuh cinta dengan seorang gadis lewat postingan-postingan di Instagram.
Perkembangan bioskop dan perfilman Arab Saudi kemudian mengalami kebangkitan pada Desember 2017 ketika jaringan bioskop AMC mendapatkan izin operasi dari Kementerian Kebudayaan Arab Saudi. Ini adalah izin pertama yang diberikan setelah 35 tahun lamanya Arab Saudi melarang bioskop di negaranya.
Bioskop pertama dibuka di Riyadh. Namun dalam lima tahun ke depan AMC juga berencana akan membuka 40 bioskop di 14 kota dan ditargetkan Arab Saudi akan memiliki sekitar 350 bioskop menjelang 2030. Jika itu semua terwujud, dapat dipastikan bahwa negeri bermatauangkan riyal tersebut akan meraih penjualan tiket sebesar $1 miliar per tahunnya.
Selain "Black Panther" yang rilis di bioskop Arab Saudi selama lima hari sejak 18 April, publik Arab Saudi pun bersiap untuk menyambut "Avengers: Infinity Wars"Â yang akan tayang pada 26 April 2018.
Melihat keadaan bioskop dan kondisi perfilman di Arab Saudi membuat saya berpikir bahwa betapa beruntungnya kita sebagai para pecinta film Indonesia. Selain harus bangga karena perkembangan film Indonesia telah mengalami kemajuan dan bahkan telah meraih berbagai prestasi internasional, kita juga harus bersyukur karena tidak perlu "menunggu" selama 35 tahun untuk dapat menonton di bioskop.
***
Referensi:
- "Black Panther" to Break Saudi Arabia's 35-Year Cinema Ban. Ditulis oleh Alex Ritman untuk Hollywood Reporter pada 5 April 2018.
- Black Panther will be the first movie to screen in Saudi Arabia's new public movie theaters. Ditulis oleh Megan Farokhmanes untuk The Verge pada 5 April 2018.
- Revival of Cinema Sparks Debate in Saudi. Ditulis oleh Y. Admon untuk MEMRI (The Middle East Media Research Institute) pada 11 Maret 2010.
- Â Saudi Arabia to Allow Cinemas to Open in Kingdom for First Time in 35 Years. Ditulis oleh Abduallah Al-Shihri dan Aya Batrawy untuk The Independent pada 11 Desember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H