Apa jadinya jika seseorang yang sudah meninggal dunia hidup kembali namun hanya terbatas dalam waktu 24 jam?
Itulah yang dialami oleh Ethan Hawke saat memerankan seorang mantan tentara Amerika Serikat, Travis Conrad dalam film "24 Hours to Live". Film besutan Brian Smrz ini bercerita tentang Travis yang ditugaskan untuk membunuh Keith Zera (Tyrone Keogh) dan Lin Besseth (Xu Qing) oleh kelompok Red Mountain.Â
Zera sendiri adalah mantan anggota Red Mountain yang memegang informasi penting sementara Lin adalah seorang polisi internasional. Mulanya ia tidak mau terlibat. Namun karena bujukan Jim (Paul Anderson), salah seorang sahabatnya yang terjebak di Red Mountain dan atas iming-iming uang sebesar USD 2 juta, ia pun mengiyakan tawaran tersebut.
Setelah mendapatkan informasi tentang keberadaan Lin yang sedang berada di Afrika Selatan, segeralah ia menemuinya. Pada awalnya ia berniat membunuh Lin. Namun pemikiran itu seketika berubah sejak bayang-bayang istri dan anaknya yang telah meninggal karena dibunuh terus terngiang-ngiang di otaknya.Â
Sadar bahwa kehilangan anak dan istri itu menyakitkan, maka ia pun membatalkan niatnya untuk menuntaskan tugas dari Red Mountain. Sayangnya, niat baiknya justru membuat nyawanya terancam. Lin yang terlanjur tahu bahwa Travis adalah anggota Red Mountain menyerangnya dengan pistol. Travis pun dinyatakan meregang nyawa.
Travis pun mendapatkan kesempatan hidup untuk kedua kalinya. Namun, ia hanya punya waktu sebanyak 24 jam sebelum ia akhirnya mati kembali. Di tengah kebingungannya akan apa yang terjadi, Travis mendapatkan fakta bahwa Red Mountain akan berupaya untuk membunuh Lin dan Zera, bahkan anaknya Lin pun menjadi korban. Akankah Travis memanfaatkan waktu selama 24 jam yang tersisa untuk menyelamatkan Lin? Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Film bergenre actiondengan durasi 1 jam 33 menit ini akan menjawabnya.
Saat menonton film ini bersama Komik, saya memiliki ekspektasi tinggi, terlebih setelah tahu bahwa pemeran utamanya adalah Ethan Hawke yang sudah tak diragukan lagi kapabilitasnya di dunia seni peran. 24 Hours to Live dibuka dengan adegan yang sangat menjanjikan. Adegan kejar-kejaran mobil di salah satu negara Afrika dan adegan tembak-tembakan antara polisi dengan geng Red Mountain membuat adrenalin para penonton terpacu. Saya bahkan serasa berada di sana saat aksi kekerasan itu ditampilkan dan penasaran akan apa yang terjadi selanjutnya. Namun sayang, itu hanya berlangsung sebentar. Dengan kata lain, porsi ketegangan yang diciptakan terbilang tanggung dan entah kenapa saya merasa kurang puas.
Hal itu terungkap pada penemuan 70 buah mayat yang ditemukan oleh Zera di Afrika Selatan dan di dada mereka terdapat tanda semacam bekas jahitan. Namun sebatas itu saja. Saya sendiri juga jadi penasaran. Jadi Red Mountain ini cabangnya ada dimana-mana? Sebab selain ditampilkan berada di Afrika Selatan dan Amerika, Red Mountain digambarkan juga berada di Hong Kong, Tiongkok. Apa Red Mountain ini semacam organisasi teroris ya? Entahlah.
Kejanggalan lainnya juga tampak pada adegan saat Travis bercumbu dengan Lin dan bahkan ia sempat berada di kamar hotel saat Lin sedang mandi. Saya bingung. Lin tidak mengenal Travis. Jadi bagaimana bisa seorang wanita mau 'ciuman' dengan pria asing? Tidak dijelaskan apa kandungan dan bagaimana efek dari suntikan yang mampu 'menghidupkan' orang mati selama 24 jam oleh kelompok Red Mountain juga menjadi pertanyaan lainnya.