Mengunjungi Cirebon tak lengkap jika hanya mengunjungi Kasepuhan. Keraton Kanoman juga wajib dikunjungi.
Jangan harap kita bisa mencapai Kanoman dengan berjalan kaki. Jauh! Kita bisa capek jika melakukannya. Beruntung Cirebon masih melestarikan becak sehingga kami merasa terbantu untuk mencapai ke sana. Ups, jangan lupa tawar-menawar ya agar terjadi win-win solution antara kita dengan si abang tukang becak.
Sudah lama saya tidak menggunakan becak, akhirnya terwujud pula di Cirebon. Kebetulan saat itu saya sebangku dengan Mas Detha, salah satu kompasianer yang ikut dalam trip. Sembari menikmati semilir angin yang berhembus, perjalanan dengan menggunakan becak dari Kasepuhan menuju Kanoman saya manfaatkan dengan baik. Tak lupa saya memotret dan membuat vlog dengan smartphonedan gopro yang dipinjamkan untuk keperluan dokumentasi.
Ternyata Kanoman tidak hanya nama keraton saja, melainkan juga merupakan nama pasar. Nah, Keraton Kanoman yang berluas 6 hektar ini terletak di daerah Pasar Kanoman. Setelah sempat terhambat karena padatnya pengunjung pasar dan mengalami insiden kecil berupa ban becak yang mengenai sebuah mobil, alhamdulillah akhirnya becak yang saya dan Mas Detha tumpangi tiba juga dengan selamat di Keraton Kanoman. Ini dia keraton kebanggaan warga Cirebon yang telah ada sejak 1678 M!
Setibanya di sana, kami disambut dengan ramah oleh petugas yang berjaga. Petugas tersebut kemudian mempersilakan kami untuk masuk ke dalam sebuah ruangan bernama jinemyang biasa digunakan untuk menyambut tamu. Nuansa megah tampak terasa dengan sofa dan meja-meja penyambut tamu yang terjejer rapi di tengah-tengah dan backgroundbatu karang yang tampak pada dinding. Pemilihan batu karang pada dinding-dinding keraton merupakan identitas Cirebon sebagai daerah pesisir sekaligus menjadi simbol kekuatan.
Setelah bercerita sejenak soal sejarah Kanoman yang sempat dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya, sang petugas kemudian menemani kami untuk menemui titik nol Cirebon berupa sebuah batu yang terdapat di sana. Konon, bagi siapa saja yang dapat mengukur titik nol tersebut dengan jengkal jari dan ternyata jengkal jarinya pas, dia memiliki amal yang baik. Sejumlah sobat kompasiana mencoba melakukannya, tak terkecuali dengan saya.
Setelah menemui titik nol, kami lalu beranjak ke sumur-sumur  "tak biasa" yang ada di dekatnya. Disebut tak biasa karena sumur-sumur di sini memiliki nilai sejarah dan fungsi tertentu dari masa lampau. Salah satu yang mengundang banyak perhatian adalah Sumur Witana.
Kenapa? Sebab Sumur ini diyakini oleh warga setempat untuk sebagai sumur "antijomblo", berkhasiat mempermudah dalam mendapatkan jodoh dengan cara meminum air yang terdapat di dalamnya. Wah, sebagai seorang jomblo, saya merasa terpanggil nih. Maka bergegaslah saya menghampiri sumur tersebut. Namun berhubung saat itu bulan puasa, saya tidak bisa meminumnya. Saya hanya membasuh wajah saya sebanyak dua kali dari air. Saya belum punya niat untuk menikah dalam waktu dekat sih, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Saya sih tidak percaya sepenuhnya akan sumur itu, namun bagi saya tak ada salahnya juga berikhtiar di Kanoman. Takdir tuhan siapa tahu?
Inspirasi di Taman Sari Gua Sunyaragi
Ada yang menarik dari perjalanan kami dari Keraton Kanoman menuju Gua Sunyaragi, yakni kami pergi ke sana dengan naik angkutan umum! Tidak hanya para kompasianernya saja, tetapi juga kami melakukan perjalanan bersama pihak kompasiana. Seumur-umur naik angkot, baru kali ini sih kuotanya overloaded. But, I like it!