Juli 2016. Kami harap-harap cemas. Kakak saya telah memasuki masa kehamilan selama 9 bulan. Sebentar lagi ia akan melahirkan anaknya yang ketiga. Di saat ini ada dua hal yang kami pikirkan; keselamatan si ibu dan si bayi serta biaya persalinan. Bisakah si ibu dan si bayi selamat? Bisakah kami membayar biaya persalinannya? Pikiran berkecamuk.
Keselamatan adalah prioritas utama, namun bagaimana pun kami juga harus memikirkan biaya persalinan. Terlebih, kakak saya divonis harus melakukan operasi caesarkarena kondisi si jabang bayi yang tidak memungkinkan untuk dilahirkan secara normal. Itu artinya, kami butuh biaya yang lebih banyak ketimbang melahirkan dengan normal.
Seiring berjalannya waktu, tibalah 25 Juli 2016. Itulah hari dimana kakak saya akan mengalami operasi caesardi sebuah RS di Jakarta. Agar berjalan dengan lancar, kakak saya dan suaminya telah ada di RS sejak pagi. Ibu saya juga datang turut menemani. Dalam dimensi ruang yang berbeda, kami sekeluarga tak henti-hentinya mengirimkan doa.
Kebaikan tangan Tuhan pun terbukti. Setelah menunggu waktu selama berjam-jam, akhirnya pihak RS mengabarkan bahwa kakak saya dapat melahirkan anak ketiganya dengan selamat setelah melalui proses operasi caesaryang penuh perjuangan. Bayi perempuan. Kami pun bersyukur dapat hadiah berupa anggota keluarga baru.
Satu kecemasan telah terjawab. Si bayi telah lahir dengan selamat. Kondisi si ibu pun dalam keadaan baik. Kini tinggal satu kecemasan lagi. Bagaimana kami bisa membiayai persalinan caesar yang tentu tidak murah? Haruskah kami meminjam uang dari tetangga?
Kami sempat khawatir. Namun beruntung kekhawatiran itu berkurang setelah tahu bahwa kakak saya telah terdaftar sebagai peserta BPJS. Ternyata keikutsertaan kakak saya sebagai peserta BPJS memberikan berkah tersendiri. Berkat BPJS, kami dibebaskan 100% dari segala biaya adminsitrasi dan persalinan caesar di RS sama sekali. Kami tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk operasi tersebut, Semuanya gratis, tis, tis!
Bisa bayangin enggak berapa nominal uang yang harus dibayar jika kakak saya tak punya BPJS? 15 juta rupiah!
Iya, 15 juta! Saya tidak tahu berapa ratus gelas es cendol yang bisa dibeli dari uang 15 juta. Atau berapa ratus mangkok bakso yang dapat dibeli dari uang sebanyak itu. Yang pasti uang 15 juta bukan jumlah yang sedikit!
Jika memang harus membayarnya, kami bingung. Bagaimana kami bisa membayarnya? Kami tidak memegang uang sebanyak itu. Namun berkat BPJS, kami merasa amat terbantu. BPJS tak ubahnya malaikat tak bersayap yang bersedia membantu siapa saja yang membutuhkan. Di titik ini kami merasakan betapa berharganya ikut BPJS.
![Saya bersama keponakan saya yang lahir dengan gratis berkat BPJS (dok.pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/19/20160730-145616-57e018d4b17a61bc5327923e.jpg?t=o&v=770)
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, kenapa kakak saya bisa dibebaskan 100% dari biaya operasi caesar? Memang darimana BPJS mendapatkan uang sebanyak itu? Jawabannya sederhana; gotong royong.
Pemerintah tahu benar bahwa sehat itu mahal. Sebagai bentuk kepedulian akan kesehatan, pemerintah pun mengadakan program pelayanan kesehatan yang berwujud BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dengan menggunakan sistem asuransi. Hal ini selaras dengan yang tercantum dalam UU. Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat” sementara Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 berkata, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”. Nah, dalam BPJS ada 9 prinsip yang dipegang dan satu di antaranya ‘gotong royong’. Sebagaimana peribahasa berat sama dijinjing, ringan sama dipikul, maka siapapun itu baik dari warga biasa maupun stakeholderseperti tenaga medis, Rumah Sakit dan pengelola klinik bisa bahu-membahu dan saling melengkapi dalam mewujudkan Indonesia sehat. Caranya? Dengan subsidi silang!
Orang yang menjadi peserta BPJS tidak selamanya sakit. Pasti lebih sering sehatnya kan? Nah, di saat mereka sehat, iuran yang mereka bayarkan secara berkala sebenarnya tidak sia-sia begitu saja. Melainkan digunakan untuk membiayai peserta yang sakit melalui sistem subsidi silang.
Perbandingannya pun bukan main. 1 pasien DBD dibiayai oleh 80 peserta sehat, 1 pasien Sectio Caesaria dibiayai oleh 135 peserta sehat dan bahkan 1 pasien kanker dibiayai oleh 1.253 peserta sehat! Itu artinya, semakin banyak orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS, maka akan semakin banyak pula manfaat yang akan dirasakan. Pengalaman kakak saya dalam melahirkan caesardi atas juga menjadi bukti bahwa betapa berharganya iuran dari 135 peserta sehat yang telah membiayai kakak saya yang hendak caesar!
Sebaliknya, di saat kita sakit, maka saatnya peserta yang sehat yang membiayai kesehatan kita. Bisa dibilang gentian. Dengan kata lain, BPJS tak hanya merupakan antisipasi dan investasi kesehatan untuk diri sendiri, namun juga ‘kesempatan emas’ untuk berbuat kebaikan dengan sistem gotong royong. Saat sehat kita membantu si sakit, saat sakit kita terbantu oleh si sehat! Kece banget, kan?
Sebagai Penyempurna
Cita-cita menuju Indonesia sehat tidak dimulai dari waktu dekat, namun telah mengalami perjalanan panjang sejak 1968. BPDPK alias Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan yang digawangi oleh Menkes Gerrit A Siwabesi pada 1968 menjadi cikal bakal dari berdirinya BPJS.
Namun BPDPK sebagai badan jaminan sosial pertama masih memiliki banyak kekurangan. Selain baru PNS dan pensiunan saja yang bisa terlibat, sistem asuransi yang digunakan juga masih berupa reimbursment. Jadi, peserta BPDPK membayar biaya kesehatannya sendiri baru setelah itu dapat menerima uang ganti kembali setelah mengajukan klaim kepada BPDPK.
Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam BPDPK, pemerintah pun akhirnya mengganti BPDPK menjadi PHB (Perum Husada Bakti) pada 1984. Jangkauan penerima manfaat dalam jaminan kesehatan ini pun bertambah lebih banyak. Pensiunan (PNS, TNI, Polri) dan veteran dapat berpartisipasi di sini. Sistem reimbursementpun berubah menjadi managed care. Dikutip dari www.belajar-asuransi.com, managed care adalah salah satu jenis Produk Asuransi Kesehatan yang mengintegrasikan pembiayaan dan penyediaan perawatan kesehatan dalam suatu sistem yang mengelola biaya, memberikan kemudahan akses pada seluruh pesertanya sehingga pembiayaan tersebut menjadi efisien dan efektif/tepat sasaran tanpa meninggalkan standard pelayanan medis yang berlaku.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah menyadari bahwa PHB harus bisa bergerak lebih luas, Akhirnya pemerintah mengubah status hukumnya dari perum menjadi Persero pada 1992. Di saat inilah kita mengenal Askes atau Asuransi Kesehatan. Sistem dan pesertanya pun tidak mengalami perubahan sebagaimana PHB.
Setelah Askes berkarya di negeri ini selama 22 tahun, barulah lahir BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada 2014. Pada era ini semua warga dari berbagai kalangan bisa bergabung, tidak terbatas pada PNS dengan program andalan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan KIS (Kartu Indonesia Sehat) dengan sasaran dan fokus yang berbeda. Jika JKN menyasar kelompok masyarakat yang sudah terdata, KIS justru sebaliknya, menampung kelompok masyarakat yang belum terdata di JKN karena tak memiliki KK, seperti anak jalanan, penyandang cacat dan penderita psikotik. Dengan beberapa kelebihan dan target berupa semua penduduk Indonesia terdaftar sebagai peserta BPJS pada 2019, di titik inilah BPJS menjadi penyempurna dari kekurangan jaminan sosial dan kesehatan Indonesia di era-era sebelumnya.
Ayo Ikut Iuran!
Meski BPJS Kesehatan baru berumur 2 tahun (jika dhitung dari berdirinya BPJS dan bukan sejak era BPDPK), namun kebermanfaatan dari nilai gotong royong ini di luar dugaan. Sudah banyak orang yang telah merasakan kedahsyatan dari iuran gotong royong.
Berdasarkan Penelitian Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) selama 2014 mengatakan bahwa JKN-KIS telah berkontribusi bagi perekonomian Indonesia dengan total kontribusi 18,66 Triliun dengan rincian industri kesehatan 4,4 T, obat-obatan 1,7 T, lapangan kerja bidang kesehatan 4,2 T dan Konstruktsi Rumah Sakit sebesar 8,36 T.
Sama membanggakannya, terjadi juga peningkatan total jumlah pemanfaatan. Jumlah pemanfaatan fasilitas kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (seperti puskesmas, dokter praktek, klinik TNI) meningkat dari 66,8 juta pada 2014 menjadi 100,6 juta pada 2015. Begitu pun dengan jumlah pemanfaatan di poliklinik rawat jalan Rumah Sakit dari 21,3 juta (2014) menjadi (39,8 juta) dan pemanfaatan rawat inap Rumah Sakit dari 4,2 juta (2014) menjadi 6,3 juta (2015). Dengan demikian total pemanfaatan pelayanan kesehatan secara keseluruhan meningkat dari 92,3 juta pada 2014 menjadi 146,7 juta pada 2015. Tak sampai di sini saja, bahkan per 1 September 2016 total peserta JKN-KIS telah mencapai 168.512.237 juta jiwa. Kece banget, kan?
Nah, buat kamu yang belum mendaftar di BPJS, ayo ikut sekarang juga! Buktikan kalau kamu juga bisa membantu sesama dengan ikut iuran gotong royong! Cara mendaftarnya mudah saja kok. Pendaftaran BPJS Kesehatan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah kantor cabang terdekat, kantor layanan operasional kabupaten/kota (KLOK), kantor cabang tertentu Bank Mandiri/BNI/BRI/BTN dan bahkanonline melalui www.bpjs-kesehatan.go.id. Untuk informasi lebih lengkap kamu juga bisa menyapanya di website, akun twitter @BPJSKesehatanRI, akun facebook BPJS Kesehatan (Akun Resmi) dan bahkan telepon 1500400.
![(sumber: bpjs-kesehatan.go.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/19/unduhan-57e01806ed9673ef54e6c245.png?t=o&v=770)
Referensi:
Materi Nangkring Kompasiana bersama BPJS Kesehatan di Balikpapan
BPJS-kesehatan.go.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI