Mohon tunggu...
Nyak OemarAyri
Nyak OemarAyri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tidak berbakat di bidang menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetaraan dan Akses Keadilan bagi Wanita Aceh

27 Oktober 2021   21:01 Diperbarui: 15 Juni 2023   21:24 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by muslimobsession.com

Pada hakikatnya manusia diciptakan dalam dua jenis yakni laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan baik secara fisik maupun psikis, akan tetapi perbedaan ini justru membuat keduanya saling melengkapi sehingga terbentuklah suatu kekuatan baru yang bermanfaat terhadap berbagai aktivitas manusia (Rasyidin, 2014 : 1). 

Namun seiring perkembangannya, dominasi oleh satu pihak terhadap pihak yang lain kerap muncul dan menimbulkan masalah. Jika kita perhatikan secara seksama, umumnya perempuan berada pada keadaan yang kurang beruntung ketimbang laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. 

Hal ini merupakan hasil dari akumulasi dan akses terhadap nilai sosio kultural suatu masyarakat. Perilaku sosial yang kerap menjadi perbincangan pada umumnya di Indonesia adalah tentang kekerasan yang terjadi dan dialami oleh perempuan. Keadaan seperti ini kerap muncul akibat adanya ketidakadilan gender dalam proses marginalisasi.

Hal ini kian memburuk seiring terjadinya tarik ulur antara peran domestik dan peran publik perempuan dalam melibatkan dirinya sebagai pemimpin sebuah organisasi. Proses marginalisasi menyebabkan kemiskinan kerap melanda masyarakat dan negara yang dominan menimpa kaum perempuan. 

Beberapa peristiwa seperti konflik, bencana alam, serta proses eksploitasi pun mengakibatkan kaum perempuan terus termarginalisasi dalam kehidupan sehari-hari. 

Gerakan emansipasi wanita dan kesetaraan gender adalah misi penghapusan sekat-sekat yang mengikat dan memasung kebebasan perempuan dalam menyampaikan aspirasinya, hal ini menjadi respons atas ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan.

Provinsi Aceh secara geografis terletak di ujung pulau Sumatra yang merupakan wilayah paling barat Indonesia. Dengan luas total mencapai 55.390 km persegi, wilayah Aceh membentang dari arah barat ke tenggara, berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan lautan Hindia. 

Dalam sejarah Aceh, keterlibatan kaum perempuan pada masa perjuangan kemerdekaan memiliki catatan yang begitu gemilang. Di masa lampau perempuan Aceh telah menunjukkan kecakapannya dalam berpolitik dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Pada saat itu kaum perempuan Aceh mampu melawan penjajahan kolonial bahkan beberapa diantaranya ada yang menjadi pemimpin pasukan militer seperti Malahayati, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia serta Tungku Fakinah dan lain-lain.

Selain itu, peranan perempuan Aceh di masa lalu tidak berhenti sebatas pemimpin perang saja. Sejarah mencatat tentang kepemimpinan kerajaan yang ada di Aceh mulai dari kerajaan Samudera Pasai berdiri hingga kerajaan tersebut bergabung dengan Kerjaan Aceh Darussalam untuk menjadi negara baru di tahun 1042 Masehi, tercatat ada 5 orang perempuan yang memegang tampuk kekuasaan dari 31 pemimpin kerajaan yaitu; 

1). Ratu Nahrisyah Wangsa Kadiyu (1400-1427) di kerajaan Samudera Pasai, 2). Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan berdaulat (1641-1675), 3). Sulthanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), 4). Sulthanah Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678-1988), dan 5). Sulthanah Sri Ratu Kemalat Syah (1688 - 1699).

Berakhirnya perang antara Aceh dan Belanda, maka sejak saat itu hampir tidak ada lagi tokoh perempuan yang muncul dalam catatan sejarah Aceh. 

Pada masa konflik yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia hingga era kepemimpinan presiden Soeharto, perempuan kian dilemahkan dengan berbagai kebijakan representatif yang sebagian besar mengarah terhadap intervensi kehidupan perempuan Aceh lewat peraturan yang diterapkan tersebut (Lestari, 2005). Kemunduran perempuan Aceh merupakan dampak yang muncul akibat adanya pembatasan di berbagai aktivitas baik bidang politik, budaya, sosial maupun ekonomi. Hal ini terjadi pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Marginalisasi kaum perempuan Aceh terkesan sangat signifikan, hal ini dapat kita lihat bersama dengan minimnya keterlibatan mereka dalam berbagai lini kehidupan sosial.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Suraiya Kamaruzzaman (2007) "Dalam proses MoU Helsinki tidak ada perempuan seorangpun yang terlibat di dalamnya, padahal proses negosiasi menuju MoU berlangsung dalam kurun waktu yang panjang dimulai di Aceh, Jepang, Stockholm, Jenewa dan Helsinki. 

Selain itu pemerintah Aceh dalam merumuskan Hukum syariat Islam juga tidak melibatkan kaum perempuan, akan tetapi yang menjadi objek dari hukum tersebut adalah kaum perempuan". 

Tentunya sangat disayangkan, namun fakta yang ditemukan pada hari ini adalah perempuan Aceh di masa sekarang mengalami kemunduran 100 tahun ke belakang dalam hal akses keadilan dan kesetaraan hak di hadapan publik.

Melalui catatan-catatan sejarah tentang para pejuang perempuan Aceh, seketika menyadarkan kita bahwa sungguh Aceh telah jauh lebih dulu mengenal apa itu kesetaraan gender. 

Penerapannya telah dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun sebelum kampanye kesetaraan gender itu sendiri ada. Menurut pendapat Vitayala S Hubeis (2010) "Gender adalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari sisi tanggung jawab, fungsi dan ruang tempat dimana manusia bisa beraktivitas. 

Gender merupakan sebuah konsep yang merujuk pada sistem peranan dan hubungannya antar perempuan dan lelaki yang tidak ditentukan berdasarkan perbedaan biologi, namun penentuannya berdasarkan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi".

Kesetaraan gender bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh, di masa lampau perempuan memiliki peranan yang cukup strategis dalam pemerintahan Aceh dan hal tersebut merupakan bentuk manifestasi kaum perempuan dalam mengupayakan perjuangan atas hak-hak masyarakat Aceh. 

Sejak dulu kaum perempuan Aceh memiliki derajat yang tinggi, dan mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam hal memperjuangkan negara (Muhammad Umar, 2006 : 42). Jika ditelaah secara mendalam dan objektif, maka sejarah telah menyimpan catatan tentang performa positif dari kaum perempuan yang berhasil melompati area domestiknya. 

Akan tetapi karena alasan kodrati, perempuan kerap disudutkan pada kondisi yang tidak menguntungkan, keadaan semacam inilah yang acap kali mempersempit kesempatan bagi kaum perempuan untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas mereka. Hingga akhirnya, agama pun sering dijadikan senjata dalam melegitimasi atas diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun