Dalam khidmat doa-doa, aku meminta takdir baik
Walau ina telah kembali pada tempat peraduannya
Tak akan hilang keyakinan, di mana harus kugenggam
Matinya jiwa-jiwa di angkasa pada pekan pertama
Bergesernya tanah dari tempat asal ia berada
Ketika ancala memuntahkan isi perutnya
Kemudian genangan ayar diberbagai kota memakan jiwa
Kita masih terus menutup mata akan geliat kesakitan alam
Membungkam lisan yang mengetahui ronta tangis ibu pertiwi
Tak sadar jari-jari insan telah merusak semesta
Kutukan macam apa yang harus diuraikan pada mereka
Resolusi di masa depan adalah perbaikan atas kerusakan
Tapi fakta menjejalkan pahitnya buah keputusasaan
Secara berkala kita semua menuju kehancuran
Jika tuhan, dewa-dewa, atau juru selamat tak lagi mengatur buana
Bagimana bisa aku dan kau unjuk kesombongan atas tingkah polah
Jika mampu beri dayita cinta seutuhnya tanpa kesepakatan
Tentu mudah berikan kasih pada alam penyelamat hidup para makluk
Hamparan lautan yang tenang memberi pesan
Resolusi tertahan jika tak ada lagi rasa toleransi bagi semesta
Maka mata, telinga, seluruh indra yang kau punya
Gunakan sebagai alat penyalur nuraga nan berguna
Karena alam punya rasa, karena keselarasan sifat semesta
Lhokseumawe, 26 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H