Mohon tunggu...
Nurul Khawari
Nurul Khawari Mohon Tunggu... Koki - Juru ketik, tinggal di Kartasura, Solo

http://www.facebook.com/nkhawari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mosok Lampion Dilarang?

22 Januari 2019   10:31 Diperbarui: 22 Januari 2019   10:34 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika pusat Kota Nagari Surakarta Hadiningrat adalah kawasan paseban yang memanjang hingga alun alun utara dan kawasan Gladak.

Maka kita asumsikan dari titik itu melingkar membentuk rantai yang sambung menyambung membentuk lingkaran keanekaragaman. Sejak dari dulu disekitar kawasan itu tinggal berbagai macam atnis. Mereka tinggal secara berkelompok sesuai etnis masing masing.

Dari sisi sebelah timur keraton kasunanan, disana terdapat perkampungan arab. Daerah itu disebut Pasar Kliwon. Dilokasi tidak jauh dari situ ada kampungnya orang orang madura yang singgah dalam perjalanan niaga, daerah itu disebut kampung Sampangan.

Bergeser kearah utara, atau tepatnya di sebelah timur beteng Vestenberg berdiri rumah rumah yang disana orang eropa tinggal. Disana rumah rumah loji berdiri dengan anggun. Hingga kini jejeran rumah loji tempo dulu masih bisa kita nikmati keindahannya. Makanya disebut Loji wetan.

Di sebelah utara Loji Wetan ada kampung pecinan yang disebut Balong atau biasa disebut Balongan, yang masuk kelurahan Sudiroprajan, kecamatan Jebres. Kapitan China dulu tinggal tidak jauh dari sana.

Dari Balong berjalan kearah barat melalui warung pelem disana kita akan menemui situs ndalem kepatihan. Situsnya sendiri sudah tidak ada, namun masjid Kepatihan masih berdiri disana.

Tidak jauh dari kepatihan ada kampung Kebalen dimana di kampung itu banyak orang Bali tinggal untuk singgah setelah menempuh perjalanan dengan kapal niaga. Kemudian tidak jauh dari sana ada Puri Mangkunegaran.

Jadi Kota Solo ini sudah kota urban sejak dari sononya. Dimasa lalupun di kota nagari sudah tinggal berbagai etnis.

Dan muara titik temu mayarakat Solo yang terdiri dari berbagai etnis itu adalah di Pasar Candi di masa lalu. Yang kemudian hingga sekarang di namakan Pasar Gedh Hardjanagara.

Di pasar ini masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis ini berinteraksi hingga terjadi asimilasi. Mungkin itu semacam mall di zaman old. Karena arsitektural pasar ini lebih "modern" dibanding pasar pasar lain yang ada waktu itu. Bandingkan dengan pasar legi, pasar pon, pasar kliwon yang lebih cenderung sebagai pasar oprokan. Pasar Gedhe lebih mriyayeni dibanding itu semua.

Jadi di pasar gedhe barangkali bukan sekedar interaksi padagang dan pembeli, tapi pembauran aneka etnis.

Jadi imlekan yang ditandai dengan memasang lampion diwilayah pasar gedhe itu sudah hal yang biasa dari dulu.

Mosok sekarang dilarang pasang lampion disana ? Apakah benar ada yang tega menolaknya ? Trus besok selvi dimana kita ?

(nurulkhawari)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun