Kemiskinan merupakan tantangan pembangunan yang dihadapi oleh seluruh bangsa dan negara. Setiap negara, tak terkecuali Indonesia, terus mencoba mencari solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan. Saking pentingnya isu kemiskinan ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs) memposisikan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai tujuan pertama yang perlu ditanggulangi secara global.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 tercatat sebesar 25,22 juta orang atau sekitar 9,03 persen dari total populasi. Meskipun terjadi penurunan sebesar 0,68 juta orang jika dibandingkan dengan penduduk miskin per Maret 2023, kemiskinan tetap menjadi tantangan besar, terutama kemiskinan struktural yang memiliki akar dalam ketidaksetaraan akses dan kondisi ekonomi dan sosial yang tidak merata.
Kemiskinan Struktural yang Diwariskan dari Generasi Ke Generasi
Kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi atau yang sering disebut dengan istilah kemiskinan lintas generasi, merupakan hal yang banyak dialami oleh keluarga miskin di Indonesia. Kemiskinan struktural ini disebabkan oleh 4 (empat) faktor utama yang saling berkaitan erat satu sama lain, yaitu pendidikan yang tidak memadai, keterbatasan terhadap akses layanan kesehatan, kurangnya akses terhadap peluang ekonomi, dan pola pikir yang tertanam dalam masyarakat miskin.
1. Pendidikan yang Tidak Memadai
Banyak anak dari keluarga masyarakat miskin yang terpaksa putus sekolah akibat ketidaksanggupan finansial untuk membiayai pendidikan, keharusan untuk membantu perekonomian keluarga, dan infrastruktur pendidikan yang kurang di daerah-daerah terpencil. Hal ini mengakibatkan mereka tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, yang membatasi pengembangan keterampilan dan kemampuan untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang menuntut keterampilan tinggi. Kemudian, akan berdampak terhadap kurangnya peluang ekonomi yang didapatkan, sehingga masyarakat miskin hanya mampu bekerja serabutan dengan pendapatan rendah, dan membuat mereka sulit membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga. Kondisi ini kemudian diwariskan kepada anam-anak mereka yang tumbuh dalam situasi ekonomi dan hambatan yang sama, menciptakan siklus kemiskinan lintas generasi.
2. Kurangnya Akses Terhadap Layanan Kesehatan
Minimnya akses layanan kesehatan dapat membuat masyarakat miskin rentan terkena penyakit, malnutrisi, hingga penyakit yang sengaja tak ditangani akibat ketidakmampuan mereka membayar layanan kesehatan. Kondisi kesehatan yang buruk akan berdampak langsung pada produktivitas mereka, membuat mereka kehilangan kesempatan untuk bekerja dan berpenghasilan. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi juga mengalami hambatan dalam perkembangan fisik dan mental, yang berakibat pada terbatasnya kemampuan mereka untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan yang lebih baik di masa depan. Hal ini semakin memperkuat siklus kemiskinan, di mana masalah kesehatan dan ekonomi saling memperburuk keadaan.
3. Keterbatasan dalam Peluang Ekonomi
Peluang ekonomi yang terbatas bagi keluarga miskin sering kali disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan keterampilan. Hal ini membuat mereka hanya bisa bergantung pada pekerjaan informal, seperti pekerjaan serabutan, yang penghasilannya tidak stabil dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sulit bagi mereka untuk memulai usaha sendiri atau meningkatkan keterampilan karena mereka harus bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi seperti ini cenderung mengikuti jejak orang tua mereka, terjebak dalam pekerjaan serupa karena minimnya kesempatan, pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki.
4. Pola Pikir yang Tertanam dalam Masyarakat Miskin
Pola pikir ini mencerminkan realitas ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat miskin, namun di sisi lain, pola pikir ini juga memperkuat siklus kemiskinan. Berikut beberapa pola pikir yang umum ditemukan dalam keluarga di lingkungan masyarakat miskin:
(a) "Banyak Anak Banyak Rezeki"
Dalam masyarakat miskin, pola pikir ini masih kerap dijumpai. Pola pikir ini muncul dari ketidakpaham mengenai pendidikan dan perencanaan keluarga, hingga mereka beranggapan bahwa banyak anak berarti banyak tenaga kerja untuk membantu bekerja, dalam kata lain, meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Namun kenyataannya, banyak keluarga miskin yang memiliki banyak anak, tetapi tidak diiringi dengan finansial yang cukup untuk memberi pendidikan dan layanan kesehatan yang layak. Akibatnya, beban ekonomi keluarga semakin besar, kualitas hidup menurun, dan lingkaran setan kemiskinan yang terus berlanjut.
(b) "Menikahkan Anak di Usia Dini untuk Mengurangi Beban Keluarga"
Pada tahun 2020, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, mengatakan bahwa pernikahan anak di usia dini sangat berisiko dalam menyebabkan kemiskinan. Bahkan, kemiskinan ini tidak hanya berdampak pada anak yang dinikahkan, tetapi juga pada generasi berikutnya, karena pernikahan anak menyebabkan putus sekolah yang dapat berdampak pada pendidikan dan pendapatan yang rendah. Faktor utama yang mendorong pernikahan dini, terutama bagi anak perempuan, termasuk tekanan ekonomi untuk mengurangi beban keluarga, harapan mendapatkan dukungan ekonomi dari keluarga suami, serta anggapan bahwa jika seorang anak perempuan tidak segera dinikahkan, ia akan dianggap "tidak laku."
(c) "Sudah Takdir Kami untuk Miskin"
Kemiskinan struktural sering kali membuat masyarakat yang terjebak di dalamnya merasa tidak berdaya untuk mengubah nasib mereka. Mereka percaya bahwa kemiskinan ini merupakan takdir yang harus mereka jalani. Hal ini sering mengakibatkan kurangnya dorongan dan niat untuk meng-upgrade diri atau mencari peluang pendidikan dan pekerjaan yang lebih bisa meningkatkan penghasilan.
(d) "Asal Bisa Bekerja, Pendidikan Itu Tidak Penting"
Keluarga dalam masyarakat miskin lebih memprioritaskan mendapatkan pekerjaan, daripada menempuh pendidikan. Mereka sering kali melihat pendidikan sebagai biaya tambahan yang tidak penting dan hanya buang-buang uang, karena mereka memilih mempekerjakan anak-anak mereka untuk membantu ekonomi keluarga. Pola pikir yang seperti inilah yang menjadi salah satu faktor anak putus sekolah dan menghalang generasi selanjutnya untuk mengakses pendidikan yang dapat membuka peluang pekerjaan yang lebih baik.
(e) Ketergantungan terhadap Bantuan dan Subsidi Pemerintah
Sebenarnya, bantuan sosial dan subsidi yang diberikan pemerintah merupakan salah satu langkah yang tepat untuk membantu keluarga dan masyarakat miskin. Namun, di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketergantungan. Alih-alih mencari cara untuk meningkatkan taraf hidup mereka, beberapa keluarga miskin memilih untuk terus bergantung pada bantuan pemerintah, tanpa mencari solusi jangka panjang untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Ketergantungan ini justru memperpanjang siklus kemiskinan, karena tidak ada dorongan untuk mandiri secara finansial.
Lingkaran Setan yang Membelenggu
Lingkaran setan ini merupakan tantangan besar yang sulit dihentikan dan diputus, karena perubahan hanya bisa terjadi ketika keempat faktor utama penyebab kemiskinan struktural, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pola pikir, membaik secara bersamaan. Â Solusi dan pengambilan langkah yang komprehensif diperlukan untuk memberantas kemiskinan struktural ini sampai ke akar-akarnya. Solusi dan langkah-langkah ini termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan layanan kesehatan yang merata, peningkatan akses dan kualitas pendidikan serta layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi yang berelanjutan, serta penyuluhan terhadap serta bantuan sosial dan subsisi yang tepat masyarakat. Selain itu, penting untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat miskin mengenai pentingnya keluarga berencana, pendidikan, dan pengelolaan ekonomi agar mereka dapat keluar dari siklus kemiskinan yang melilit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H