Sebagai seorang masyarakat biasa, saya sering memperhatikan karakter dan perilaku anak-anak bangsa Indonesia, baik itu dari keluarga kalangan ekonomi tingkat atas, menengah dan ekonomi rendah. Karakter dan perilakunya sangat beragam, ada yang seenaknya, egois, pemalu, pendiam, garang, dll. Ketika melihat siBudi kecil ini, saya tertarik dan penasaran, kebetulan juga dia tinggal didesa tetangga tempat tinggal saya, di kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sudah lama saya kenal dan memperhatikan siBudi kecil yang berjuang untuk pendidikannya dalam kekurangan yang ia miliki. Namanya Rohan, anak 11 tahun yang berasal dari keluarga kalangan ekonomi rendah yang duduk dibangku kelas 5 Sekolah Dasar. Entah mengapa saya perihatin sekaligus salut dan bangga terhadap anak Indonesia ini. Bagaimana tidak, anak yang memiliki cacat kaki dari lahir, tidak peduli sama sekali dengan semua kekurangannya dan terus berjuang demi pendidikan. Begitu jarang saya temukan anak seperti ini dilingkungan sekitar tempat tinggal saya.
Rohan memiliki cacat pada kaki dari lahir, sehingga dia harus terpingkal-pingkal dalam berjalan karena posisi betis kaki kirinya terbalik kedepan dan tulang kaki juga bengkok. Dia memiliki adik perempuan yang juga memiliki cacat kaki yang sama seperti Rohan. Dari keci Rohanlah yang menjaga, memberi makan dan memandikan adiknya, karna ibunya harus bekerja dari pagi sampai sore mengelolah sawah milik orang lain, sementara ayahnya bekerja sebagai nelayan kecil yang pergi pagi pulang petang atau terkadang dua hari baru pulang melaut. Ibu Rohan juga sambil-sambilan bercocok tanam sayuran dipinggiran sawah yang ia keloala, namun ibunya tidak memiliki waktu untuk menjual sayuran tersebut agar bisa menambah penghasilannya yang kecil, sehingga Rohanlah yang harus menjualkan sayuran tersebut secara keliling dengan jalan kaki.
Seiring harus menjaga adiknya, sampai adiknya masuk sekolah di Sekolah Dasar, Rohan terus berjualan sayur dan terkadang dengan membawa adiknya. Ketika saya bertanya, "uang hasil penjualan sayur diberikan sama siapa?", Rohan pun mnjawab "diberikan kepada ibu, dan sebagian akan diberikan ibu kepada saya", dan saya tanya lagi "uang yang diberikan kepada kamu, digunakan untuk apa?", untuk saya tabung bekal sekolah nanti, buat beli buku dan yang lainnya", jawab Rohan dengan polos. Dia begitu memperhatikan pendidikan dan masa depan sejak dari kecil, karna dia sadar akan kekurangannya. Saya juga sering melihat Rohan membawa bekal makanan kesekolah, karena Rohan berangkat sekolah dengan adiknya lewat dari jalan depan rumah saya. Ketika saya bertanya "kamu suka bawa bekal ksekolah ?", dia menjawab polos, "buat istirahat nanti, biar gak perlu jajan, uangnya bisa ditabung". Saya hanya bisa diam dan mengangguk, dalam benak saya timbul pemikiran, banyak anak seusianya dari kalangan mampu tidak terlalu memikirkan pendidikan, bahkan harus dipaksa agar berngkat kesekolah, dan ada yang berangkat sekolah hanya untuk mendapatkan uang jajan dari orang tuanya. Saya juga jadi berfikir sendiri, kemana Anggaran Pendidikan pada APBN negeri ini sebenarnya.
Adapun anggaran-anggaran yang mengalir kedesa-desa tidak begitu jelas dan tidak transparan, termasuk anggaran bantuan terhadap masyarakat miskin seperti BLT dan bantuan lainnya, dan kalau pun ada masih belum dialirkan secara tepat. Itu terlihat dari masih banyaknya masyrakat yang benar-benar tergolong masyarakat kecil dan tidak mampu yang mengeluh karena tidak mendapatkan dana bantuan yang dialirkan kedesa-desa. Mirisnya lagi dana itu justru didapatkan dan dialirkan oleh pihak-pihak bersangkutan kepada keluarga dan sanak familinya sendiri walaupun masih tergolong keluarga mampu. Imbasnya masyarakat yang sangat membutuhkan dana tersebut hanya bisa gigit jari dan pasrah akan keadaan. Yang paling membuat saya terharu, sampai kapan Rohan akan sanggup memperjuangkan pendidikan dan cita citanya itu. Seperti yang kita ketahui bahwa program wajib belajar gratis hanya sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama. Mahalnya biaya sekolah lanjut apalagi sampai ke perguruan tinggi dan universitas akan menjadi batu karang yang harus dipecahkan oleh Rohan dengan kekurangan dan keterbatasan keluarganya.
Masalah pendidikan seolah dianggap hanya untuk orang-orang yang mampu, ya begitulah pandangan mayoritas masyarakat umum. Pendidikan hanya untuk orang kalangan mampu, lantas bagaimana dengan masyarakat kalangan rendah dan tidak mampu? Kalau seperti ini, akan dikemanakan masa depan anak bangsa yang berasal dari kalangan kecil ? Bukankah masyarakat kalangan kecil juga adalah warga negeri ini? Dan bagaimana dengan anak-anak bangsa yang memiliki cita-cita dan tekad yang kuat agar bisa mencicipi pendidikan tinggi dan sukses dmasa depannya ? Apakah kesuksesan dalam dunia pendidikan hanya untuk kalangan atas yang sebelumnya sudah menjadi kalangan atas ? Dan kapan keadaan ekonomi dan problema hidup masyarakat kecil akan berubah ? Bukankah para orang tua dari masyarakat kecil menggantungkan harapan kepada anaknya untuk merubah keadaan ekonomi keluarga dan berharap masa depan anaknya dalam berumah tangga bisa lebih baik lagi ?
Ada sebagian masyarakat yang beranggapan, itu karena orang tuanya yang tidak memiliki pekerjaan memadai, sehingga tidak sanggup memberikan pendidikan yang tinggi terhadap anaknya. Kalau seperti itu, perlu kita ketahui bahwa pekerjaan yang bagus dan memadai akan didapatkan oleh orang yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan orang yang memiliki pendidikan sekalipun kadang begitu susah untuk mendapakan pekerjaan yang bagus dan memadai. Itu terbukti dengan banyaknya sarjana-sarjana yang masih pengangguran karena belum mendapatkan pekerjaan, hingga pada akhirnya ada yang menjadi pedagang, karyawan toko, bahkan kuli sampai ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Entah sampai kapan hanya waktu yang tau. Itu disebabkan karena minimnya lapangan pekerjaan dinegeri yang kaya akan jumlah warga negara yang banyak. Bahkan untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun para sarjana harus berlomba-lomba menyiapkan uang sebanyak mungkin, uang siapa yang banyak, dia yang layak masuk menjadi Pegawai Negeri. Seolah-olah kelayakan pelamar-pelamar untuk menjadi pegawai negeri dilihat dari banyaknya uang yang diberikan pelamar tersebut kepada pihak-pihak terkait diotonom daerah tersebut, kelayakan bukan lagi dilihat dari SDM para pelamar. Lantas bagaimana orang tua Rohan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai sementara dia tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Kenapa tidak memiliki pendidikan yang tinggi? Kasusnya sama seperti Rohan.
Pertanyaannya apakah Rohan akan mendapatkan pendidikan yang tinggi dengan mengharapkan orang tuanya? Dia harus berjuang untuk mendapatkannya, kalau dia tidak sanggup untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, masa depannya akan sama halnya seperti orang tuanya. Tidak akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai karena tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Hingga pada akhirnya dia akan menjadi masyarakat kecil yang hanya mempunyai pekerjaan rendah seperti nelayan atau kuli. Didalam berumah tangga, Rohan juga akan mendapatkan problem yang sama, yaitu kesulitan dan tidak sanggup memberikan pendidikan yang tinggi terhadap anaknya, dan masa depan anaknya bisa jadi akan sama seperti Rohan, ayah Rohan, dan kakek Rohan. Sampai kapan ini akan berkelanjutan ? Dan apakah masyarakat dari kalangan kecil akan secara terus menerus tumbuh seperti ini di negeri ini ? Kalau begini, kapan Indonesia menjadi negeri yang memiliki masyarakat makmur dan maju ? Sementara kita tahu bahwa mayoritas masyarakat Indonesia berasal dari kalangan kecil.
Memang rejeki dan masa depan seseorang tidak ada yang mengetahui akan menjadi seperti apa, namun gambaran logika dan yang banyak terjadi adalah problem seperti diatas. Anak kecil seperti Rohan yang dalam usia 11 tahun masih akan menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain bersama temannya. Tetapi tidak untuk Rohan, dia harus jualan sayur dan berkelahi dengan waktu demi pendidikannya. Tujuan dia jualan sayur agar dia memiliki tabungan yang banyak untuk pendidikannya kelak dimasa depannya. Semoga para petinggi-petinggi negeri nan luas ini bisa menuntaskan kemiskinan dengan memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak masa depan bangsa. Dan semoga petinggi-petinggi negeri NKRI ini selalu melihat kebawah untuk mengetahui mirisnya ekonomi masayarakat kecil dinegeri ini. Jangan hanya melihat keatas, sehingga nafsu untuk bersaing timbul, dan bahkan memakan hak masyarakat yang seharusnya dialirkan kemasyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H