Mohon tunggu...
Ahmad Nizar
Ahmad Nizar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

#ProvoKata Keresahan Milenial atas "Value" Manusia di Era Disrupsi

4 September 2018   17:42 Diperbarui: 4 September 2018   18:45 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Manusia hidup untuk suatu alasan tertentu. Semesta haruslah berkonspirasi untuk melahirkan setiap individu dari kita. Ada alasan tertentu membuat kita yang terlahir, bukan jutaan sperma lainnya. Argumen 'semesta berkonspirasi melahirkan kita' memanglah abstrak, tetapi keberadaan kita di dunia ialah konkret. Alasan keberadaan kita di dunia pastilah ada. 

Jadi untuk apa kita terlahir di dunia? Bagaimana kita mendefiniskan diri sebagai seorang individu? Apakah seseorang yang bekerja, terjebak dalam rangkaian rutinitas, kemudian menghilang tertelan peradaban? Pemikiran filosofis dan mendalam inilah keresahan pertama seorang millenials dalam menjalani hidup. Keresahan yang perlu dijawab.

Perjalanan dunia menuju era disrupsi telah menggetarkan banyak pihak, termasuk millenials. Getaran yang diberikan era disrupsi diakibatkan dampak yang dibawanya dalam kehidupan manusia. Bagi sebagian millenials yang mendefinisikan diri untuk bekerja, era disrupsi menjadi beban yang perlu dihindari. Lihat saja bagaimana sebagian dari millenials berhenti belajar dan berproses untuk mengeluhkan ketidakpastian di era disrupsi. 

Pandangan skeptis dan ketidakpercayaan diri atas berbagai pekerjaan yang menghilang akibat proses automatisasi-mekanisasi tampak menjadi pemicunya. Barangkali lelah pikiran mendengar pernyataan Bapak Bambang PS Brodjonegoro, Kepala Bappenas, mengenai hilangnya 45-50 juta pekerjaan di Indonesia dalam beberapa tahun kedepan. 

Mungkin juga lelah hati mengkhawatirkan berita BBC mengenai Case Cruncher Alpha, robot lawyer, yang berhasil mengalahkan 100 lawyer dalam memecahkan PPI (payment, protection, insurance) Mis-selling cases. Mungkin juga lelah menyadari masa transisi era disrupsi menyebabkan pekerjaan di kota tidak lagi menjanjikan. Bagi millenials yang memandang hidup untuk bekerja. 

Ketika seluruh pekerjaan manusia pada akhirnya dilakukan oleh mesin dan robot, masih perlukah dirinya untuk hidup? Pertanyaan skeptis atas hidup kembali muncul untuk kedua kalinya.

Pembahasan era disrupsi bermakna membahas perubahan yang mendasar. Prof. Rhenald Kasali berpendapat bahwa era disrupsi sejatinya bukan hanya mengubah cara berbisnis, melainkan juga hal yang lebih fundamental seperti perubahan mendasar dari struktur biaya, budaya, hingga ideologi industri. Perubahan menjadi hal yang menakutkan karena diperlukan effort besar untuk beradaptasi dengannya. 

Adaptasi yang lambat atau bahkan gagal beradaptasi menyebabkan seseorang terjebak dalam masa lalu dan tertinggal zaman. Teori survival of the fittest mulai berlaku di era ini. 'We didn't do anything wrong, but somehow, we lost' pernyataan CEO Nokia atas kasus yang menimpa mereka dapat menjadi pengingat kita bersama. Bersamaan era disrupsi, cara dunia memandang suatu permasalahan pun ikut berubah. Bagaimana sesungguhnya setiap individu dari kita memandang hidup? 

Keresahan atas pergeseran peran manusia oleh mesin barangkali disebabkan kesalahpahaman dalam mengartikan tools dengan tujuan hidup. Tools yang dimaksudkan dalam kasus ini ialah posisi/ jabatan dalam sebuah pekerjaan. Hal yang perlu dipahami bersama ialah alasan kelahiran dari setiap individu tak akan pernah berubah. Alasan terebut pasti cukup kuat untuk mengalahkan alasan yang dibawa sperma lainnya untuk dilahirkan. 

Millenials yang mengalami keresahan di era disruptif pastilah belum mendefinisikan keberadaan dirinya dengan tepat. Definisi mendalam, core value, dari dirinya yang tidak dapat digantikan oleh mesin. Jadi, untuk apa kita terlahir di dunia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun