Mohon tunggu...
Nizar Ibrahim H
Nizar Ibrahim H Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sunyi

Berpikir, bersabar, berpuasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita dalam Pengharapan

22 Juni 2018   14:30 Diperbarui: 22 Juni 2018   16:11 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah seperti waktu-waktu sebelumnya. Manusia diharuskan untuk menentukan arah ke mana ia akan pergi. Walaupun terkadang semangat hidupnya raib di tengah perjalanan. Bisa-bisa "mati" terlindas harapannya sendiri. Lalu, berubah menjadi wujud yang tidak lebih besar dari semut tanpa sungut. Bingung, terdiam, tidak ada yang dapat dilakukan selain menunggu datangnya pertolongan. Tentu kalau mujur nasibnya. Kalau tidak? Terpaksa menyembuhkan dirinya sendiri atau "bunuh diri". Kupikir, Tuhan tidak akan turun tangan kecuali kepada manusia yang memang dipilih-Nya, dan Tuhan sedang berbahagia.

Aku pun terlampau bingung untuk memilih jalan mana yang harus kutempuh. Lima tahun duduk di bangku perkuliahan, tidak kutemukan pencerahan. Mungkin aku yang salah. Tidak sanggup fokus pada satu jalan, atau rakus mencari banyak kemampuan. Belum lagi menjawab pertanyaan dari ibu dan ayah, saudara, kawan dan tetangga sebelah: "Kapan lulus? Setelah lulus, kerja di mana?" 

Aku benci harus menjawab semuanya. Tetapi, karena orang tua yang bertanya, pasti kujawab apa yang terjadi dengan kondisi perkuliahanku, meskipun mereka tidak mengerti. Maklum, hanya lulusan SLTA. Aku berusaha menjawabnya tanpa membuka inti permasalahanku, dan informasi detail tentang dunia perkuliahan. Tidak tega sebenarnya, namun harus tetap kulakukan. Dan hanya tawa yang kuberikan, jika orang lain yang menanyakan.

Tempo hari kurasakan ibuku dihantui penasaran dengan apa yang kulakukan. Sering pulang malam, dini hari, terkadang menginap di rumah kawanku. Aku yakin, bukan tanpa sebab ibu menanyakan. Sejak kupelihara rambut gondrong dan penampilanku bak seniman masa lalu, ibu sudah terlihat kebingungan. Dapat kutembus pikirannya, ibu bertanya-tanya: "Apa yang terjadi pada anakku? Mengapa ia berubah menjadi seperti ini?" Tidak hanya itu. Aku mulai gandrung dengan buku bacaan berbau filsafat, sosial dan sastra. Sekitar tiga puluh buku tergeletak di lantai kamar tidurku. Sesekali kulihat ayah menjamah koleksi buku milikku. Sepintas kebanggaan kurasakan: "Lihatlah, Ayah. Koleksi buku anakmu ini bukan picisan. Tetapi, karya dari pemikiran orang besar nan cerdas, bermutu pula."

"Apa yang kamu lakukan di kampus? Hampir setiap hari kamu pulang di atas jam dua malam. Banyak tugas atau kongko dengan teman-temanmu?"

"Aku latihan teater, Bu. Bulan depan pentas. Harus sering latihan." Jawabku tidak tega.

"Bagaimana kuliahmu? Segera diselesaikan. Waktu terus berjalan, tidak bisa diulang. Ibu dan ayahmu semakin tua. Sekarang masih sanggup mengusahakan biaya sekolahmu. Manfaatkan waktu, Dik. Usiamu juga bertambah setiap waktunya. Mencari pekerjaan akan sulit kalau usiamu sudah terlalu tua."

"Iya, Bu. Tahun depan kuusahakan lulus. Sudah kuperhitungkan semuanya, Bu."

"Ibu sama sekali tidak melihat semangat kuliahmu. Tidak pernah kamu belajar atau mengerjakan tugas kuliah. Malah kamu sibuk dengan urusan-urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan jurusanmu. Gayamu sekarang pun seperti seniman." Protes ibu sambil melipat kerudung-kerudungnya di depan lemari.

Tidak ada keberanianku untuk menjawab. Aku hanya diam dan berpikir apa yang harus kulakukan. Dan tiba-tiba datang kesedihan yang amat dalam. Kubayangkan betapa lelahnya ibu dan ayah bekerja delapan jam setiap hari, hanya demi menyambung hidup sekeluarga dan biaya sekolah serta uang bulananku. 

Betapa besarnya keinginan mereka agar aku cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan yang benar-benar mapan. Betapa dahsyat usaha dan keyakinannya untuk mencari uang dan melihat anaknya menjadi sarjana. Tetapi, aku tidak seperti yang diharapkan. Mereka pasti menangis jika mengerti apa yang sebenarnya. Aku telah durhaka.

Pikiranku masih tetap sama. Sedikit pun tidak berubah walaupun diterjang kesedihan. Selalu terbayang wajah kedua orang tuaku. Terlihat jelas fisik dan pikirannya yang semakin lemah termakan usia. Dan tetap kupaksakan untuk mencarikan biaya sekolahku. Tetapi, aku sibuk memecahkan persoalan manusia, pencarian hakikat manusia, penolakan atas hidup yang apatis. Hanya satu keyakinaku: Aku harus menjadi manusia seutuhnya!

Esok harinya, kutulis sebuah catatan di kertas dan kuletakkan di atas meja ruang tamu:

Ibu, ayah. Maafkan anakmu. Anakmu ini telah berbuat tidak seperti apa yang kalian harapkan. Aku mengerti benar apa keinginan ibu dan ayah. Tetapi, aku sudah bukan seperti anakmu semasa aku masih kecil, yang tidak mengerti apa-apa selain sekolah dan bermain. Menganggap sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu. Memang benar, aku setuju dengan itu. Namun yang kubutuhkan sekarang adalah jawaban atas kegelisahanku sebagai seorang anak, sebagai lelaki, sebagai seorang Dika, sebagai seorang manusia. Aku ingin mencari tahu siapa aku sebenarnya. Kesuksesanku bukan perihal materi dan sebuah "nama".Tetapi, paham dengan apa yang harus kulakukan sebagai manusia seutuhnya. Jangan khawatir. Tetap kuusahakan kelulusanku tahun depan. Supaya ibu dan ayah tidak memaksakan hari tua untuk mencari segepok uang untuk biaya sekolahku. Izinkan aku menentukan jalan mana yang akan kutempuh. Restui aku untuk terus mencari apa yang harus kudapatkan. Doakan anakmu agar menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkanku selama ini. Jangan risaukan aku yang tidak seperti kawan-kawanku. Mereka memilih jalan hidupnya sendiri. Bekerja di tempat yang bagus dan gaji yang cukup tinggi. Sayangnya, bukan itu yang kuingingkan. Izinkan aku belajar dan mencari ilmu yang dianggap tabu oleh beberapa orang. Bahkan tidak penting bagi ibu dan ayah. Aku izin satu minggu ini untuk mempelajari itu. Melihat dunia yang lebih luas dan mendalam. Kebetulan perkuliahan sedang libur satu setengah bulan. Semoga ibu dan ayah mengerti.

Aku beranjak pergi ke salah satu kota di Jawa Tengah yang cukup dekat dengan Jawa Barat. Menuju ke rumah seorang guru filsafat yang dahulu sudah pernah aku berkunjung. Kusengaja tidak mengirimkan catatan via ponsel. Beruntung, ayah sudah cukup paham dengan apa yang terjadi padaku. Aku sedikit merasa tenang.

Sudah beberapa menit aku bersantai di kota orang. Menikmati bangunan yang seakan menyatu dengan alam dan tinggal di dalamnya. Melewati pepohonan, sawah dan perkebunan untuk menuju bangunan itu. Tetapi, masih dalam satu lingkup. Sungguh, luas dan luar biasa tempat ini. Walaupun sudah gelap, gambaran pemandangan masih sangat jelas. Kucoba melihat ponselku. Ada beberapa pesan yang masuk. Salah satunya dari Ibu:

Hati-hati, Dik. Jangan lupa makan. Istirahat secukupnya. Dan jangan tinggalkan sholat. Ibu percaya padamu. Jangan kecewakan ibu dan ayahmu ya. Kalau sudah selesai, segera pulang. Ibu tidak menuntut kamu harus menjadi apa. Asal kamu senang dan bertanggungjawab, ibu ikut senang. Usahakan tetap memberi kabar agar ibu dan ayah tidak khawatir.

Aku tersenyum membacanya. Mataku nyaris berkaca-kaca. Tetapi, rasaku sudah lega. Ibu menanamkan kepercayaannya kepadaku. Dengan kepercayaan itu, semangatku berkembang. Tidak akan kukecewakan kedua orang tuaku, meski bakal dianggap kolot oleh orang-orang. Karena hidup bukan sekedar untuk bertahan hidup. Tetapi, berpetualang melihat dan mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang ada, khususnya, diri ini adalah siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun