Mohon tunggu...
Nizar Habibunnizar
Nizar Habibunnizar Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Pria yang masih mencari jatidiri

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mampus Dikoyak Urban

13 Oktober 2022   13:30 Diperbarui: 5 November 2022   14:06 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau mengenakan toga, lengkap dengan selendang cumlaude terpampang di pundak, mendapat banyak bingkisan dan tak lupa story instagram yang berderet mengunggah ulang story ucapan “congraduation bestie” atau “selamat wis-udaah kakak”. Agak menggelikan memang, tapi harus diakui kau pernah melakukannya. 

Sebagaimana fresh graduate lainnya kau mempunyai kepercayaan tinggi menatap masa depan cerah dan perkerjaan yang mapan. Harapan orang tua sangat besar serta ekspektasi saudara di desa bahwa akan sukses dengan mudah jika bekerja di perkotaan semakin memotivasi untuk tidak kembali ke kampung. 

Jika melihat teman-temanmu di desa, mereka tak lebih dari menggarap ladang dan beberapa ternak ayam sambil sesekali jadi satpam saat ada hajatan. Menurutmu itu udik dan tidak masuk kriteria kesuksesan, apalagi kau seorang sarjana. Sudah bertahun kuliah tak sudi kalau harus mengotori kemeja rapimu, sebab demikian kau ambil langkah sana-sini lamar kerja persis yang dilakukan sekian puluh ribu sarjana lainnya. 

Sebetulnya sudah banyak cerita mengenai alasan kegagalan bertahan hidup di kota dan tentang apa yang kau anggap sukses. Perihal gagal mendapat pekerjaan mapan, soal frustasi tak kunjung tembus target perusahaan, tentang upah yang tak memenuhi angka minimal persyaratan calon mertua. Terlalu sering mendengar cerita semacam itu, tetapi kau masih yakin kalau kau tidak termasuk kategori tersebut. 

Kini kau bekerja di metropolitan, ruang kerjamu di gedung-gedung tinggi atau di sebuah ruko yang menjelma jadi kantor start-up. Sebagai karyawan kau merasa bangga atas pekerjaan serta hingar bingar kehidupan urban. Senin hingga jumat kau habiskan waktumu untuk bekerja dan sisanya kau gunakan buat pergi ke pusat perbelanjaan atau nongkrong di kafe yang segelas minumanya dibandrol setara upah harian barista di Yogyakarta. 

Betapa hidupmu menjadi dambaan banyak orang di desa termasuk saudara-saudaramu. Anggapan gaya hidup konsumtif, tempat kerja kekinian, dan gemerlap lampu kota menjadi pertanda hidup di kota jauh lebih layak dibandingkan kehidupan desa masih sangat melekat. 

Hingga suatu saat kau sadari hari demi hari dilewati dengan perasaan hampa dan keuangan jauh dari kata stabil. Masalah hilir mudik silih berganti, tensi kerja di kantor kian meningkat dan paling menjengkelkan yaitu pengeluaran ugal-ugalan tak terkendali. Ternyata kilauan kehidupan urban hanya fatamorgana belaka. Gaji tak seberapa dibandingkan dengan tuntutan hidup yang tak keruan. 

Harus di ingat, kau bukan lagi seorang mahasiswa, kau hanya pemuda yang pergi dari desa dengan beralasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Walau nyatanya hingga kini penghasilanmu tak pernah cukup untuk menyisihkan buat hari esok. Upahmu bisa bertahan hingga akhir bulan tanpa pinjaman saja adalah hal yang pelik. Sudah tahu begitu, kau masih ngotot tinggal di kota. 

Semakin hari kau selayaknya robot, melakukan pekerjaan berulang tanpa tahu kapan berakhir, hari berganti minggu hingga bertahun. 

Ucapan “selamat pagi pak”, “halo kak” atau kalimat basa-basi lain tak boleh terlewat setiap kali masuk ruangan kerja — ini penting untuk mempererat kekeluargaan, katanya — . Walau kau tau rutinitas semacam itu tidak akan membuat freksuensi menggibah dan saling menjatuhkan satu sama lain jadi berkurang. Kau tetap melakukannya sebab itu perintah atasanmu. Perlu digaris bawahi saat berkeja atasanmu serupa tuhan; tak pernah salah, harus dituruti. 

Pergi pagi pulang petang bahkan lembur hingga larut malam merupakan hal lumrah kau lakukan. Walau seperti itu jabatanmu tetap di situ-situ saja, kau kalah oleh rekan kerjamu yang memiliki kemampuan hebat dalam menjilat serta skill diatas rata-rata dalam urusan menjatuhkan nama orang lain. Habis sudah harapanmu untuk naik gaji dan keinginan agar finansial tak lagi jadi persoalan kelihatannya agak suram. Pada titik ini kau merasa tercipta hanya jadi orang yang kalah sekalah-kalahnya. 

Belum lagi perihal asmara, upahmu tak cukup mampu meyakinkan diri untuk meminang kekasihmu. Umurnya semakin matang sementara nyalimu semakin mentah. Hal terbaik yang bisa kau lakukan hanyalah berdoa agar dia tak keburu dipersunting orang lain. Mengenaskan. 

Hari ini adalah minggu terakhir di bulan Maret, kau mendapat kabar bahwa di desamu sedang panen raya. Ibu, bapak, dan saudaramu kini tengah berkumpul makan bersama di pematang sawah untuk merayakan hasil panen yang meningkat dibanding periode sebelumnya. Tentu saja hasil melimpah ini tidak hanya cukup untuk makan selama berbulan-bulan tapi juga sebagian bisa dijual untuk menambah modal ternak ayam. 

Pada hari yang sama, di sepetak kamar kos ukuran 2x2,5 meter di pinggiran kota. Kau merenung sambil memegang perut menahan sakit asam lambung naik. Nyeri di ulu hati dan sensasi rasa terbakar dari perut hingga ke dada bahkan sampai ke tenggorokan kau rasakan. Setelah di ingat-ingat hari ini kau tidak sarapan, tidak juga makan siang, yang masuk kedalam perutmu hanya segelas kopi seharga 60-ribuan. 

Bukan tanpa alasan, dengan upah yang pas-pasan ketika mememui akhir bulan kau harus memilih pilihan antara membeli 3 bungkus nasi padang harga 20-ribuan untuk makan seharian atau tetap cheers nongkrong di kafe dengan segelas kopi 60-ribuan. — pilihan yang sangat sulit bukan? —

Sebetulnya sesekali dalam benakmu ada hasrat kembali ke rumah, namun kau tidak tahu mau kerja apa dan daun telingamu terlalu ringkih untuk mendengar celotehan tetangga “udah sarjana kok belum kerja?”.

Oh ya satu lagi, penyebab kau malas pulang ke desa adalah karena perkuliahanmu hanya mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup di kota, bagaimana cara bekerja di depan komputer atau bagaimana cara mengoperasikan mesin pabrik. Sehingga ragamu tak mampu untuk setidaknya mencangkul seperempat petak sawah berukuran 7x7 meter atau memanggul padi hasil panen seberat 30 kg.

Akhirnya kau tetap berada di rantau walau penghasilan tak sebanding dengan pengeluaran dari pada pulang ke desa membantu bapak menggarap sawah dan membantu ibu mengurus ayam di pekarangan.

Begitulah adanya, setidaknya dengan hidup di kota kau tak perlu mengotori kemeja rapimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun