Kau mengenakan toga, lengkap dengan selendang cumlaude terpampang di pundak, mendapat banyak bingkisan dan tak lupa story instagram yang berderet mengunggah ulang story ucapan “congraduation bestie” atau “selamat wis-udaah kakak”. Agak menggelikan memang, tapi harus diakui kau pernah melakukannya.
Sebagaimana fresh graduate lainnya kau mempunyai kepercayaan tinggi menatap masa depan cerah dan perkerjaan yang mapan. Harapan orang tua sangat besar serta ekspektasi saudara di desa bahwa akan sukses dengan mudah jika bekerja di perkotaan semakin memotivasi untuk tidak kembali ke kampung.
Jika melihat teman-temanmu di desa, mereka tak lebih dari menggarap ladang dan beberapa ternak ayam sambil sesekali jadi satpam saat ada hajatan. Menurutmu itu udik dan tidak masuk kriteria kesuksesan, apalagi kau seorang sarjana. Sudah bertahun kuliah tak sudi kalau harus mengotori kemeja rapimu, sebab demikian kau ambil langkah sana-sini lamar kerja persis yang dilakukan sekian puluh ribu sarjana lainnya.
Sebetulnya sudah banyak cerita mengenai alasan kegagalan bertahan hidup di kota dan tentang apa yang kau anggap sukses. Perihal gagal mendapat pekerjaan mapan, soal frustasi tak kunjung tembus target perusahaan, tentang upah yang tak memenuhi angka minimal persyaratan calon mertua. Terlalu sering mendengar cerita semacam itu, tetapi kau masih yakin kalau kau tidak termasuk kategori tersebut.
Kini kau bekerja di metropolitan, ruang kerjamu di gedung-gedung tinggi atau di sebuah ruko yang menjelma jadi kantor start-up. Sebagai karyawan kau merasa bangga atas pekerjaan serta hingar bingar kehidupan urban. Senin hingga jumat kau habiskan waktumu untuk bekerja dan sisanya kau gunakan buat pergi ke pusat perbelanjaan atau nongkrong di kafe yang segelas minumanya dibandrol setara upah harian barista di Yogyakarta.
Betapa hidupmu menjadi dambaan banyak orang di desa termasuk saudara-saudaramu. Anggapan gaya hidup konsumtif, tempat kerja kekinian, dan gemerlap lampu kota menjadi pertanda hidup di kota jauh lebih layak dibandingkan kehidupan desa masih sangat melekat.
Hingga suatu saat kau sadari hari demi hari dilewati dengan perasaan hampa dan keuangan jauh dari kata stabil. Masalah hilir mudik silih berganti, tensi kerja di kantor kian meningkat dan paling menjengkelkan yaitu pengeluaran ugal-ugalan tak terkendali. Ternyata kilauan kehidupan urban hanya fatamorgana belaka. Gaji tak seberapa dibandingkan dengan tuntutan hidup yang tak keruan.
Harus di ingat, kau bukan lagi seorang mahasiswa, kau hanya pemuda yang pergi dari desa dengan beralasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Walau nyatanya hingga kini penghasilanmu tak pernah cukup untuk menyisihkan buat hari esok. Upahmu bisa bertahan hingga akhir bulan tanpa pinjaman saja adalah hal yang pelik. Sudah tahu begitu, kau masih ngotot tinggal di kota.
Semakin hari kau selayaknya robot, melakukan pekerjaan berulang tanpa tahu kapan berakhir, hari berganti minggu hingga bertahun.
Ucapan “selamat pagi pak”, “halo kak” atau kalimat basa-basi lain tak boleh terlewat setiap kali masuk ruangan kerja — ini penting untuk mempererat kekeluargaan, katanya — . Walau kau tau rutinitas semacam itu tidak akan membuat freksuensi menggibah dan saling menjatuhkan satu sama lain jadi berkurang. Kau tetap melakukannya sebab itu perintah atasanmu. Perlu digaris bawahi saat berkeja atasanmu serupa tuhan; tak pernah salah, harus dituruti.
Pergi pagi pulang petang bahkan lembur hingga larut malam merupakan hal lumrah kau lakukan. Walau seperti itu jabatanmu tetap di situ-situ saja, kau kalah oleh rekan kerjamu yang memiliki kemampuan hebat dalam menjilat serta skill diatas rata-rata dalam urusan menjatuhkan nama orang lain. Habis sudah harapanmu untuk naik gaji dan keinginan agar finansial tak lagi jadi persoalan kelihatannya agak suram. Pada titik ini kau merasa tercipta hanya jadi orang yang kalah sekalah-kalahnya.