Mohon tunggu...
Nizamuddin Sadiq
Nizamuddin Sadiq Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik yang terus belajar sepanjang hayat

Kebenaran sejati adalah kebenaran yang hakiki, dan itu sulit dicari kecuali oleh kebenaran itu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bakso, "Legacy, Identity, and Diplomacy" ala PPI Southampton, Inggris

6 Agustus 2018   00:20 Diperbarui: 6 Agustus 2018   00:48 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika sedang berada di luar negeri, umumnya mahasiswa dan masyarakat Indonesia tetap mengidolakan Bakso sebagai menu santap yang dinanti-nantikan. Tidak terkecuali bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang ada di Southampton. 

Bukan karena Bakso tidak dapat ditemukan di swalayan terdekat, tetapi lebih daripada itu, Indonesian meatballs are incomparable, tak tergantikan. Oleh karena itu, untuk meneropong fenomena Bakso di komunitas mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Southampton, maka aspek legacy, identitas dan diplomasi kuliner menjadi fokus tulisan ini.

Bakso yang bernuansa khas Indonesia tidaklah mudah di dapat karena sangat terbatasnya orang yang memproduksi Bakso ala Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengatasi kelangkaan ini, seorang mahasiswa Indonesia yang juga dosen Universitas Diponegoro, Semarang - Dr. Dwi Cahyo Utomo - secara sukarela mengorbankan waktunya untuk berkesperimen membuat Bakso bercita rasa Indonesia. Dengan beragam cara dan upaya serta usaha, akhirnya Bakso yang diinginkan berhasil di buat. 

Awalnya ilmu produksi Bakso ini baru dikuasai oleh kalangan terbatas. Namun selanjutnya, sejarah Bakso di Soton memiliki sisi unik. Ilmu Bakso ini tidak copy right melainkan copy left artinya Ilmunya dapat ditularkan kepada siapa saja yang ingin belajar dan memproduksinya. Jadilah, ilmu Bakso menurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga menjadi peninggalan (legacy) yang bernilai amal jariyah. 

Dengan diturunkannya ilmu ini secara berantai, bagi mereka yang punya ghirah (semangat) yang tinggi dan waktu luang yang memadai, jadilah Bakso menjadi menu andalan di dapur. Tidak hanya itu, Bakso juga bernilai ekonomis tinggi. Buktinya, Bakso dimanfaatkan sebagai produksi rumahan yang tidak hanya untuk memenuhi pasar masyarakat dan mahasiswa di Southampton, tetapi juga di UK secara umum. 

(Salah satu contoh kegiatan berbagi ilmu per-bakso-an, foto: koleksi vina)
(Salah satu contoh kegiatan berbagi ilmu per-bakso-an, foto: koleksi vina)
Setelah mendapat ilmu turun-temurun, ilmu pembuatan Bakso ini juga mengalami inovasi. Beberapa informasi yang di dapat emak-emak yang terhimpun dalam grup Soton Ladies, baik dari bertanya dengan sesama Bakso producer, juga dari pengalaman-pengalaman warga baru. Sharing ilmu dan pengalaman dalam hal produksi Bakso dilakukan melalui pertemuan-pertemuan informal emak-emak di grup Soton Ladies. 

Dengan saling melengkapi, maka dari hari ke hari ilmu Baksonya semakin lengkap dan hasilnya juga semakin ciamik. Dengan cara inilah, warisan ilmu per-bakso-an di Southampon bisa bertahan sampai sekarang. Dibagikan dan diturunkan dari warga lama ke warga baru secara berkesinambungan.  

Selain menjadi legacy, Bakso juga bahkan menjadi bagian dari identitas masyarakat Indonesia di tengah komunitas muslim di University of Southampton (UoS). Sebagai sebuah identitas, Bakso secara konsisten disajikan sebagai menu oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Southampton di setiap perayakan festivity of Eid Mubarak, di kampus UoS. Minimal, sudah lima tahun terakhir, komunitas muslim dari negara lain sebutlah Malaysia, Bruneid Darusalam, Saudi Arabia, Aljazair, Eropa, dan (keturunan) Pakistan, India dan Bangladesh, mengasoasiakan Bakso sebagai Indonesian culinary. Ini artinya, ketika terkait dengan kuliner, maka ingatan mereka te-recall kepada Bakso. Kuliner Indonesia adalah Bakso. 

(Sebagian petugas yang mempersiapkan Indonesian meatballs pada saat Eid Mubarak di University of Southampton, foto: koleksi Jamaliatul)
(Sebagian petugas yang mempersiapkan Indonesian meatballs pada saat Eid Mubarak di University of Southampton, foto: koleksi Jamaliatul)
 Oleh karena itu, untuk menunjukkan identitas ini, Bakso yang disiapkan oleh mahasiswa Indonesia di kegiatan tersebut dibuatkan banner bertuliskan "Indonesian Meatballs". Ini adalah salah satu upaya memperkuat identitas Bakso Indonesia berbeda dengan Bakso-Bakso yang ada, yang dijual di beberapa swalayan di Southampton. Pernah suatu waktu, di swalayan halal saya sedang memesan boneless beef dan boneless chicken lalu di campur menjadi mince (daging giling). 

Tiba-tiba ada seorang pelanggan bule yang bertanya, intinya kamu mencampur apa dan untuk apa hasil gilingan tersebut. Saya jawab, beef and chicken. I want to make meatballs. 

Dia berkomentar penuh keheranan, I have never seen it before. Karena umumnya mince yang di jual di swalayan campuran beef dan lamb. Mencampur beef and chicken kelihatan aneh bagi mereka. Tapi tidak bagi kita, karena Bakso yang dihasilkan dari campuran beef and lamb kurang bagus dan kurang maknyus. Inilah salah satu rahasia yang membedakan Bakso Indonesia dengan bakso-bakso yang ada di pasaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun