“Orang – orang Indonesia dalam waktu dekat akan menderita bencana kelaparan, jika masalah pangan rakyat tidak segera diselesaikan sedangkan masalah ketersediaan stok pangan adalah masalah hidup atau mati”. Begitulah bunyi sepenggal pidato Presiden Ir. Soekarno saat peresmian kampus Institut Pertanian Bogor. Ungkapan ini bukanlah hanya isapan jempol semata namun ini menjadi suatu realita sosial bangsa di dunia termasuk Indonesia yang sekarang mulai dihadapkan pada masalah global mengenai isu ketahanan pangan (food security). Jumlah penduduk dunia semakin meningkat bahkan telah mencapai tujuh milyar jiwa. Di sisi lain, dukungan pangan dari pertanian sangat kurang dan belum bisa dikatakan cukup meskipun jumlah produksinya meningkat.
Persoalan pangan seolah semakin menghantui dan memukul telak kita. Barang impor semakin merajalela sehingga dengan leluasanya memutus rantai harapan hidup petani lokal Indonesia. Semakin rakyat kita dijejali produk nonlokal maka semakin bertambahlah penderitaan dan tetes air mata pahlawan pertanian Indonesia yang selalu dinafikan, yang kita sebut sebagai PETANI. Bencana alam akibat perubahan iklim global silih berganti menerpa negeri. Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam International Disaster Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di bumi Indonesia dari tahun 1907-2007 terjadi setelah tahun 1990-an. Belum lagi ditambah luas lahan pertanian yang semakin berkurang, pertanian yang masih konvensional, dan problematika lainnya yang tiada putusnya. Jika kita terusmembiarkan persoalan klasik seperti ini mana mungkin kebutuhan ratusan juta penduduk Indonesia akan terpenuhi. Banyak solusi yang telah ditawarkan misalnya ide mengenai diversifikasi pangan. Ini bukan hanya sekedar gagasan tetapi kewajiban dan tuntutan pada bangsa kita jika tidak ingin terus dijajah oleh urusan pangan. Diversifikasi pangan belum bisa sepenuhnya diterapkan masyarakat kita karena anggapan bila belum makan nasi, belum dikatakan makan. Mindset seperti inilah yang harus dirubah dari bangsa Indonesia agar sumber daya alam kita bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sekarang ini rakyat Indonesia hampir semuanya telah beralih kepada beras sebagai konsumsi pokoknya. Budaya lokal seolah semakin tergerus oleh arus diversifikasi yang salah karena telah terjadi generalisasi pangan ke komoditi beras. Orang Madura telah melupakan nasi jagungnya, orang Papua banyak yang sudah tidak mengonsumsi sagu lagi, dan masih banyak kesalahan pemahaman konsep food diversification.
Semakin hari, masalah pertanian menjadi semakin kompleks sehingga dibutuhkan teknologi-teknologi yang bertujuan untuk menjadikan pertaniansebagai industribesar (agroindustri) yang bisa mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Jika teknologi pertanian terpadu diterapkan, isu pangan global bisa kita hadapi dengan cara yang cerdas, kerja keras, dan jiwa yang ikhlas.
Keberhasilan pembangunan pertanian Indonesia bukan dinilai dari surplus pangan yang dihasilkan melainkan dilihat dari rasa bangga menjadi petani yang senantiasa berpartisipasi dalam membangun negeri. Perasaan bangga akan munculbila mereka sejahtera di bumi tercinta, INDONESIA. Kesejahteraan petani menjadi indikator kesuksesan pembangunan nasional karena mayoritas penduduk kita mengadu nasib di dunia pertanian. Teknologi masih belum tepat bila dianggap sebagai unsur yang dominan dalam keberhasilan pertanian karena masih ada komponen penggerak lain yang sifatnya sangat vital yang disebut komponen Triple Helix. Organ vital pembangunan ini adalah Academics, Bussiness, Government atau disingkat ABG. Dinamakan Helix karena ketiga unsur ini, Trio ABG harus saling menopang dan bersatu bukan saling beradu. Mereka memiliki tujuan yang berbeda tetapi bila digabungkan akan terciptalah formula pembangunan yang menawan. Diawali para akademisi/peneliti yang dituntut menghasilkan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas pangan di Indonesia. Ketika proses penelitian hingga tahap pemasaran inovasi inilah dibutuhkan dukungan total pengusaha dan pemerintah. Pengusaha memberikan sumbangsih dana penelitian ataupun marketing produk pangan sedangkan pemerintah dibebani tugas untuk memberikan kebijakan yang pro petani dan pangan lokal Indonesia. Pemerintah juga harus berani merubah sistem pembangunan nasional menjadi pembangunan pertanian pertanian yang berbasis sumber daya lokal agar tercipta hubungan harmonis antara manusia dengan alam Indonesia yang kaya raya ini. Ibarat bumi yang tidak akan sehebat ini bila tidak ada unsur-unsur di dalamnya yang saling menyokong dan menyelaraskan diri demi terciptanya keindahan bumi yang asri dan bernilai tinggi.
Semua memang butuh proses dan proses juga memerlukan semua elemen untuk bersatu demi terciptanya Indonesia yang maju dan menjadi nomor satu dalam urusan pangan. Ayo semua masyarakat Indonesia, buktikan bahwa negeri zamrud khatulistiwa memang memiliki permata alam yang berharga dan bisa membuat masyarakatnya sejahtera. Hidup terjadi hanya sekali, oleh karena itu berikan yang terbaik untuk negeri dengan mensinergiskan visi, menyatukan hati, dan menyelaraskan langkah membangun negeri. Ayolah kawan, jadilah aktor perubahan. Mulai dari diri kita, mulai dari yang terkecil, dan mulai sekarang juga. It’s now or never. Tomorrow will be too late. So, Bangun dan banggakan pertanian Indonesia karena pangan adalah urusan HIDUP atau MATI!!!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H