Masih terngiang di kuping kita dan tak ada hujan dan tak ada angin, bak kilat di siang bolong, Presiden Joko Widodo tiba-tiba melarang pakaian bekas diperdagangkan di Tanah Air, hal ini menyentakan masyarakat di satu sisi dan disisi lain para pedagang pakaian bekas yang selama ini bebas bagaikan jalan tol untuk memasarkan pakaian bekas bergetar, bukan tanpa alasan, terbayang para pedagang yang sudah nyaman dalam perdagangan tesebut akan keluar dari pangsa supplay and demand yang paling menyedihkan lagi adalah para peekerja yang bergelut dalam bisnis tersebut dari hulu ke hilir yang tidak sedikit akan masuk ke katogori pengangguran terbuka dan yang lain miris adalah mereka akan tergelincir ke bawah garis kemiskinan.
 Jika kita mengobservasi sedikit apa yang terjadi ditengah masyarakat khususnya di Kota Medan, tak dapat dipungkiri semua kalangan baik kalangan bawah maupun kalangan atas, semuanya mengenal Monza dan merupakan konsumen yang loyal,  untuk pakaian bekas import yang layak pakai dan dengan brend yang terkenal dan cukup murah.
Pangsa pasar si Monza ini terletak di berbagai penjuru kota medan, terutama pajak-pajak ( baca:Pasar) tradisional sebut saja yang paling terkenal ada Pajak Melati, pajak simalingkar, pajak marelan pakah Helvetia dan hampir semua pajak menyediakan barang bekas import ini.
Tak berlangsung lama, setelah teriakan Presiden disambut Kapolri dan Mendag, dan dinas terkait langsung melakukan penggerebekan pakaian bekas dan pemusnahan pakaian bekas. Jelas kita melihat di Media televisi pembakaran untuk dimusnahkan barang-barang bekas import tersebut diiringi tangisan yang sendu para pedagang dan pekerja yang beraktivitas dalam sektor ini, para pedagang dan pekerja hanya bisa meratap dan menangis tanpa dapat bisa melawan aparat resmi Pemerintah. Selama ini para pedagang yang bebas berdagang yang tanpa hambatan dan seakan barang tersebut barang legal dan aparat pemerintah yang menutup mata akan keberadaan mereka, yang aneh nya barang ilegal tersebut tercatat resmi di Badan Pusat Statistik, Berdasarkan informasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun terakhir jumlah impor pakaian bekas di Indonesia bervariasi, jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2019 dengan total 392 ton, angka tersebut meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. 2018 yaitu 108 ton. Sedangkan pada tahun 2020 tercatat 66 ton, tahun 2021 tercatat 8 ton, dan tahun 2022 kembali meningkat menjadi 26 ton.
Tidak diketahui dengan pasti asal muasal kata monza di Kota Medan, menurut beberapa sumber yang layak dipecaya nama monza berasal dari anonim Monginsidi Plaza nama jalan yang ada ditengah kota Medan, yang pada waktu menjual pakaian bekas import ini sepanjang jalan dari hulu ke hilir, tidak sedikit toko-toko sepanjang jalan Mongonsidi ini menjaual pakaian-pakaian bekas import yang cukup beragam dengan brand yang terkenal.
Pakaian bekas ini di suplay dari negri jiran malaysia, yang masa kejayaan Kota Tanjung Balai, disinilah tempat sorga pakaian bekas import yang layak pakai, berduyun-duyun masyarakat kota Medan dan sekitarnya berdatangan ke Kota Kerang tersebut, kita faham bahwa Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kota yang dapat berhubungan langsung dengan Malaysia, sehingga barang-barang ilegal tersebut musah masuk ke Kota Tanjung Balai.
 Menurut observasi penulis ke beberapa konsumen dapat disimpulkan bahwa konsumen tertarik membeli barang bekas import ini adalah harganya yang cukup murah, kemudian barang-barang tersebut layak pakai dan dapat dipakai berkali-kali dan dicuci berkali-kali tidak luntur dan bila dibandingkan dengan produksi dalam negeri dengan harga yang sama kualitasnya sangat jauh berbeda, sehingga barang-barang pakaian bekas import ini terus diburu oleh konsumen
Kebiasaan perilaku konsumen ini menyebabkan demand semakin banyak, dan membuat masyarakat lebih memilih membeli pakaian bekas impor, terutama jika melihat merek luar negeri seperti Crocodile, Columbia, Dickies, Stone Island, dan masih banyak merek luar negeri lainnya. Dengan demikian, masyarakat menganggap pakaian bekas impor tidak menjadi masalah karena harganya yang murah dan masih layak pakai. Simonza ini bukan hanya pakaian yang mermerek tetapi juga ada barang lain yang diperdagangkan seperti sepatu, jam tangan, bahan pakaian yang belum jadi dll. Padahal jika dilihat dari dampak negatif dari membeli pakaian bekas import banyak mengandung bakteri yang tidak akan hilang jika dicuci berkali-kali, dimana bakteri tersebut akan berdampak pada kesehatan manusia seperti munculnya rasa gatal, luka pada kulit, bisul dan jerawat. meskipun.
Simonza belakangan ini sangat marak kembali, yang tadinya menggebu-gebu memusnahkan barang ilegal ini, ternyata hanya soktraphi semata, dan kembalinya simonza ini membuat para konsumen tersenyum, dan para pedagang bebas menjajakan barang-barangnya yang secara otamatis bila dikaitkan dengan angka pengangguran di kota Medan turun sedikit akibat penyerapan kembali para pekerja di pangsa pasar tenaga kerja Tahun 2020 Badan Pusat Statistik Kota Medan Mencatat pengangguran Terbuka di Kota Medan sebesar 10,74% tahun, tahun 2021 tercatat sebesar 10,81 naik yang cukup siqnificant dan ditahun 2022 turun yang cukup siqnificant sebesar 9,89 %
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, Industri Kecil Menengah (IKM) sektor penjahitan sangat terganggu karena harus bersaing dengan pakaian bekas impor, kondisi ini kemudian berdampak domino pada sektor tekstil. ekosistem industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada sektor tersebut. ke hulu. yang mengakibatkan pemanfaatan industri TPT nasional semakin menurun.Â
Menyambut Nataru 2023
Dalam menyambut Nataru 2023, simonza laris manis di perdagangkan, dan Demand terhadap si Monza ini sangat tinggi, sehingga para pedagang baik yang terdapat di Pajak-pajak maupun di toko-toko ramai dipenuhi para pengunjung dan bisanya yang diburu para konsumen tersebut adalah barang-barang yang bermerek yang sudah terkenal.
Tidak ada lagi pembakaran-pembakaran si Monza dan tidak adalagi penggerebekan gudang-gudang si monza, dan menurut para pedagang si monza ini bebas diperdagangkan dan barang-barang ilegal dari malaysia dor-doran mensaplay sehingga beragam corak dan merek tersedia di pangsa pasar.
Penutup
Simonza yang masih dibutuhkan para konsumen sebaiknya ditata sedemikian rupa, sehingga tidak  ada lagi pemusnahan dan penggerebekan yang mangakibatkan para pemaian disektor ini terutama pekerja tergerus ke bawah garis kemiskinan disatu sisi dan disisi lain keuntungan yang didapat bila ditata dengan baik akan manghasilkan pajak untuk menambah devisa negara yang tidak sedikit dan dampak yang lain adalah terjadi persaingan yang sempurna antara simonza dan para UMKM yang sama-sama akan menapat keuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H