Belajar Toleransi: Menembus Sekat di Pondok Pesantren Al-Falah
"Hasil pendidikan tertinggi adalah toleransi." Kalimat dari Helen Keller ini menjadi landasan bagi perjalanan ekskursi 25 siswa Kolese Kanisius Jakarta ke Pondok Pesantren Al-Falah di Pandeglang pada 30 Oktober 2024. Sebuah perjalanan yang dirancang untuk memperluas wawasan tentang kehidupan di pesantren sekaligus mendekatkan diri pada budaya dan praktik kehidupan santri.
Mengawali Perjalanan
Dari Jakarta, perjalanan menuju Pandeglang memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Perjalanan menggunakan bus ini diwarnai suasana harap-harap cemas di antara siswa Kolese Kanisius. Stigma tentang pesantren yang lekat dalam benak mereka membuat banyak dari kami merasa ragu untuk menghadapi kehidupan yang jauh dari kenyamanan perkotaan. Namun, keraguan itu perlahan terkikis saat kami tiba dan disambut dengan hangat oleh Kyai Haji Halwani serta para santri Pondok Pesantren Al-Falah.
Kami dibagi menjadi lima kelompok kecil dan diarahkan ke ruang-ruang tidur sederhana yang disebut kobong. Perjalanan menuju kobong penuh tantangan; jalanan sempit dan berlumpur memaksa kami berjalan dengan hati-hati. Saat memasuki kobong, suasana kesederhanaan begitu terasa. Ruangan gelap tanpa jendela dan hanya dilapisi matras tipis untuk tidur menjadi pengalaman baru yang memaksa kami menyesuaikan diri.
Kehidupan Pesantren: Antara Deskripsi dan Refleksi
Hari pertama di pesantren dimulai pada pukul 04.00 pagi, saat suara adzan subuh menggema dari masjid. Bagi kami yang belum terbiasa, volume adzan yang keras menjadi tantangan tersendiri. Namun, santri yang tinggal di pondok sudah begitu terlatih dengan ritme ini. Setelah melaksanakan sholat subuh, mereka melanjutkan dengan mengaji atau belajar bahasa Arab sebelum memulai kegiatan sekolah di SMK Al-Falah.
Suasana sekolah di SMK Al-Falah berbeda dengan sekolah kami di Jakarta. Proses pembelajaran lebih santai, dengan minim tugas harian, tetapi tetap fokus pada nilai-nilai akademik dan religius. Para siswa SMK Al-Falah menyambut kami dengan antusias. Melalui diskusi dan kerja kelompok, kami saling berbagi pengalaman dan cara belajar. Ini membuktikan bahwa meski ada perbedaan latar belakang, semangat belajar dan persahabatan mampu menyatukan kami.
Argumentasi: Toleransi dalam Keragaman
Pengalaman hidup di pesantren mengajarkan kami arti toleransi yang sesungguhnya. Toleransi bukan sekadar menerima perbedaan, melainkan juga belajar memahami kehidupan dari sudut pandang orang lain. Dalam keberagaman, kita sering kali terjebak dalam prasangka yang tidak berdasar. Stigma tentang pesantren sebagai tempat yang keras dan terisolasi ternyata terpatahkan oleh keramahan para santri dan pengurus pondok.
Seperti halnya pesan Sapardi Djoko Damono dalam puisinya:
"Ia meletakkan kenangannya dengan sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya..."
Puisi ini mengajarkan bahwa setiap pengalaman, seberapa sederhana pun, memiliki nilai yang bisa kita bawa ke masa depan. Toleransi yang kami pelajari di Pondok Pesantren Al-Falah akan selalu menjadi bekal dalam memahami keberagaman masyarakat Indonesia.