Tidak perlu muluk-muluk bila ingin  memulai bab pertanian. Sebab individu yang ingin memulai sesuatu harus dengan membacaaa sekian ratus bab, debaat sekian jam, hingga mengabaikan pengaplikasian di lahan, maka yang terjadi malah : Jadi Netizen!
Saya sudah berkecimpung mengenal pertanian semenjak SMP, ketika diajak ke sawah buat cabut-cabut rumput dan tanam menanam pakai kocor dan pupuk kimia. Sungguh, hal yang menyenangkan ketika nanti panen langsung dapat duit, saat itu juga, berapapun jumlahnya. Ya, ngga mikirin duit sih, katanya buat pengalaman. Faktanya memang harus terjun ke lahan.
Eits,, jika cara konvensional yang hanya njaplak kebiasaan itu berlanjut, lama-lama tidak ketahuan pula tujuan mendalam dari kegiatan bercocok tanam. Ibarat bisnis, lahan adalah komoditi untuk sekedar menghasilkan uang. Semakin banyak hasil, semakin untung. Tapi, dalam praktek saya masih bergantung dengan kata 'katanya' sehingga setiap kali praktek, selalu menggantungkan nasib dengan 'katanyaa..'
Betapa tidak? : 'Kan, katanya kalau pake pupuk cap anu bakalan lebih subur, kan katanya kalau pake pestisida cap inu, hama bakalan matek semua, kan katanya, katanya.. faktanya, ngga ngefek signifikan. Katanya pula, kalau makin lama di lahan, makin sering diolah, hasilnya makin banyaak,, yaa tergantung kalau itu padi di musim hujan. Lah kemarau?
Akhirnya, gagal panen mengalahkan cuaca, harga turun menyalahkan pasar, kena varises menyalahkan pupuk kimiaa..
Tanah bantat menyalahkan pupuk kimia, padahal setiap dua hari, tak kurang dua sendok makan ditabur buat tanaman tomat, belum semprat semprot pestisidaa, belum tenaga nyabutin gulma, ini itu banyak sekali, ah!
Menimbulkan kesimpulan, kegiatan bertani itu melelahkan. Nggak ada hasilnya, ada pun hasilnya sedikit. Paling banter buat beli bibit, dan pupuk yang makin tinggi nilainya. Hutang menumpuk, malah beralih jadi buruh pabrik tekstil Boyolali! Gaji UMR, ga cape-cape amat!
Sepi Peminat
Mari kita bahas dulu, akar utama profesi pertanian kok semakin sepi peminat, yang secara makro ditinjau dari angkasa luar, bakalan berdampak impor yang membanjiri pasaran internasional. Ekonomi kalah, area lahan ditumbuhi pabrik raksasa, sebab pertanian semakin di lupakan generasi muda.
Sistem yang salah? Eits,, jangan buru-buru berpendapat yang sama seperti 200 juta netizen Indo yang lain. Mengubah sistem tidak lantas mengubah paradigma, pertanian itu penting untuk kelangsungan generasi. Tanah air yang perlu di olah menjadi makanan hidup, perjuangan untuk melestarikan bumi. Sebabnya, seperti yang telah di sebutkan di paragraf awal-awal di atas : niat bertani hanyalah untuk komersil macam pabrik.
Praktik perdagangan bebas, apapun dilakukan untuk menghasilkan keuntungan lebih. Seperti saya minum obat instan pereda nyeri habis operasi, padahal merusak ginjal dan syaraf tulang belakang. Ga masalah, ga dipikirkan dampak lima, sepuluh tahun ke depan. Bahwa itu dapat mempercepat penggerusan umur.
Seperti niat untuk meraih keuntungan terus menerus, akibatnya muncul rasa ingin mengambil milik orang lain. Mengambil yang jadi haknya makhluk lain, seperti alam pun butuh pepohonan untuk mengatur cadangan air tanah, eh, malah dibabat. Seperti alam pun butuh gizi dari pembusukan kotoran hewan, eh, malah di taburi berton-ton mineral kimia. Kan itu, seperti lapar malah minum soda. Rasanya kenyang, tapi ga ada tenaga karbohidrat nasi. Jadi lemes, gak bertenaga.
Bahwa kelangsungan rantai makanan di alam berputar seperti siklus hidrologi. Air lautan yang menguap yang mengembun menjadi awan, ditiup sampai tanah boyolali menyuburkan lahan-lahan pertanian. Maka siklus hasil bumi juga berputar. Lahan butuh mineral dan zat hara untuk tempat menumbuhkan tanaman, yang kita makan sebagian hasilnya, sebagiannya lagi dikembalikan ke tanah menjadi pupuk organik, material karbon, dan bahan-bahan pendukung ekosistem.
Tanaman juga butuh karbon dioksida. Butuh suara-suara alami, jengkerik dan katak bertebaran tanda tanah yang subur. Zat karbon mesin disel juga mempengaruhi tanah, namun tidak memiliki dampak besar daripada cara perawatan petani dengan memberi pupuk dan pestisida. Perawatan. Dalam merawat, juga ada ilmunya.
Agar terjadi keseimbangan di alam.
Luruskan Niat Bertani!
Ga cukup niat mengambil keuntungan saja. Itu penjajah namanya. Yang hanya mengeruk, lalu meninggalkan lahan gersang yang tidak bermanfaat untuk apapun. Nunggu mati aja. Seperti banjir di pesisir utara Jawa, yang timbul akibat pembalakan liar selama 300 tahun penjajahan. Liat, selama itu kerusakan terjadi, sampai sekarang solusinya hanya bangun bendungan. Kita tidak ingin lahan pertanian mati, dan solusinya malah bikin rekayasa alam.
Padahal Allah menganugerahkan alam Indonesia, khususon Boyolali, untuk kesenanganmu.
Niat yang harus diluruskan adalah mengolah ilmu pertanian itu untuk kelestarian alam, kemandirian pangan, dan kesejahteraan bagi diri dan bangsa ini. Sebagai ungkapan syukur, kita adalah khalifah di bumi untuk memakmurkan dengan petunjuk Allah. Alam sudah punya siklus tersendiri dalam mengatur tetumbuhan.
Selain niat, karena yang dihadapi adalah lahan di alam, apa yang dibutuhkan oleh alam tidak serta merta diberikan secara instan. Ada proses, dan menggunakan produk instan sudah pasti punya efek samping. Mengesampingkan produk instan hari ini secara langsung tentu tidak masuk akal. Sebab instan punya tujuan untuk memudahkan. Perlu kiranya mengembalikan yang semestinya di terima alam, disamping mengurangi pemakaian produk instan yang dapat merusak ekosistem.
Tidak hanya cuan dunia, nantinya kembali ada cerita tentang suburnya tanah kita, yang menjadi fondasi semangat perjuangan zaman dan karya besar di surga.
Hhe, kalau pengusaha dituntut memikirkan nasib perusahaan 100 sampai 250 tahun, muslimin lebih canggih lagi. Disuruh memikirkan nasib sampai setelah mati nanti gimana lo, saat kiamat nanti gimana, karena ada pertanggung jawaban yang nantinya dilaporkan untuk kita lihat, seberapa besar manfaat kita dulu sepanjang umur. Minimal satu bidang lah ya, satu aja kok nggak ada ya kebangeten banget, astaga.
 Boyolali, 01 Januari 2023
"Resolusi yang musti dikalibrasi kembali"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H