Mohon tunggu...
Khanif Fauzan
Khanif Fauzan Mohon Tunggu... Penulis - Pustakawan

Terima kasih telah berkunjung, semoga barakah manfaat! :) https://linktr.ee/fauzankhanief

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hebatnya Islam Memandang Rendah Kedudukan Harta

16 Juni 2020   10:53 Diperbarui: 1 Juli 2020   01:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andaikan saya mempunyai uang dan emas senilai 1 milyar, lalu mendengar ungkapan 'Yang paling penting adalah beramal shalih buat akhirat, bukan menumpuk harta' apakah lantas saya harus sedekahkan, semua harta yang saya miliki?

Saya pernah lihat, tetangga saya yang barusan dapet uang 250 juta dari ganti rugi lahan tol, menggunakan uangnya buat cari lahan, bangun rumah, dan beli motor baru. Ceritanya, orang kaya dadakan.

Misal saya katakan pada tetangga saya, "Pak, uangnya buat naik haji aja. Sisihkan juga buat ngamal" Dia pasti ketawa. "Haji modalnya banyak, uang tol buat biaya kebutuhan dulu. Kalo infaq, dikit-dikit aja cukup asal rajin"

Namun, status orang kaya itu bertahan paling lama 6 bulan. Selanjutnya, tetap saja kembali nyangkuli sawah, ternak lele, dan kredit modal usaha. Lah? Kalau ada duit, kenapa harus kredit?

"Gak cukup" katanya. "Usaha tuh modalnya gede, kebutuhan tiap hari tambah terus. Belum lagi kalau pajak naik, susah. Pemerintah musti perhatiin orang-orang seperti kita" Dan setiap hari bekerja dari mulai habis shubuh sampai maghrib. Kerja keras. Heran, nggak tambah kaya juga.

Ada pula tetangga saya, yang kerjaannya penjual es degan. Tiap pekan sedekah nasi jumat. Dihitung-hitung keluar 500 ribu dari kantong pribadinya. Istiqomah. Dalam catatan desa, dia tergolong orang miskin. Tapi bisa tuh biayain kedua anaknya sampai kuliah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah contoh yang tak terkalahkan kalau soal sedekah. Kisah yang populer. Beliau sedekahkan seluruh hartanya, sebab yakin dengan Allah dan Rasul-Nya. Buat saya yang masih cinta harta jadi kepikiran, lalu dari mana biaya kebutuhan sehari-harinya? Modal usahanya? Apakah lantas Abu Bakar Ash-Shiddiq ngutang makan atau sejenisnya? Lah, dia jatuh miskin dong?

Pikiran saya salah. Bukan berarti infaq harta itu nggak bermanfaat. Karena segalanya demi Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapat keistimewaan jadi Khulafaur Rasyidin pertama menggantikan Rasulullah. Di kenang sepanjang masa, mulia di mata manusia.

Pernah pula ada kisah, Rasulullah menumpahkan seluruh emas, perak yang merupakan hadiah dari Raja Habib bin Malik, ke sebuah bukit padahal saat itu banyak kaum muslimin yang fakir miskin. Padahal hadiah tersebut di angkut puluhan unta, dari negeri yang jauh pula. Habis beliau tumpahkan, beliau bersabda kepada seluruh emas dan perak tersebut, "Jadilah kalian semua debu!"

Kenapa tidak beliau sedekahkan saja? Itu aneh sekali.

Begitulah perbedaan tentang cara memandang harta, antara islam dengan kita yang cinta dunia.

Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya, "Dia dimana-mana-Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena" menjelaskan bab mengenai harta :

Jika di tinjau dari segi kebutuhan manusia, itu sangatlah penting. Tapi jika di bandingkan yang lain, kedudukan harta tidaklah seperti yang di gambarkan.

Yang paling rendah kedudukannya adalah yang di luar jasmani kita. Katakanlah emas dan perak. Ia berfungsi memperindah jasmani atau mendukungnya agar dapat makan dan minum. Jasmani lebih tinggi derajatnya, dari pada sesuatu yang membantu kelanggengannya.

Karena di satu sisi, dia membantu dan menjadi alat yang di gunakan jiwa dan di sisi lain dia dibantu dan menjadi tuan bagi emas dan perak.

Yang paling tinggi kedudukannya, adalah yang bersifat immaterial (Spiritual), karena jangankan harta, badanpun kita korbankan untuk memperoleh kenikmatannya. Dari sini, harta hendaknya menjadi alat, bukan menjadi tujuan

Ia mestinya kita gunakan, bukan dia yang menggunakan kita.

Harta harus memiliki fungsi sosial. Ia mestinya di gunakan untuk kemaslahatan sebanyak mungkin makhluk. Harta jika disimpan-tanpa di gunakan-maka dia tidak akan berkembang.

Tetapi jika di salurkan pada tempatnya, maka ia tumbuh berkembang, jumlahnya, manfaatnya, di dunia dan akhirat.

Maka hebatlah Islam dalam mendudukkan harta sebagaimana mestinya. Tentu mengetahui hal itu membuat saya heran, kenapa ada orang yang mengorbankan kesehatannya demi menumpuk harta?

Saya berkesimpulan, Rasulullah membuang emas dan perak bukan berarti menyia-nyiakan harta, melainkan saat itu kaum muslimin Tidak Butuh harta. Beliau tahu, hadiah Raja Habib bin Malik itu berpotensi melemahkan iman kaum muslimin. Selayaknya kita ambil hikmahnya, jangan lantas kita ikut seperti itu, hanay Rasulullah yang boleh.

Bila harta berpotensi besar melemahkan iman, selayaknya kita tidak membutuhkannya.

Betapa indah pesan Rasulullah kepada sahabat Umar bin Khattab mengenai harta.

"Wahai Umar! Jika Allah memberimu harta, padahal kamu tidak memintanya, maka terimalah. Jika kamu membutuhkannya, gunakanlah. Tetapi jika kamu tidak membutuhkannya, berikan kepada orang lain"

Tidak lantas 'jaim' seakan nggak butuh harta.

"Menolak sesuatu yang dapat memberikan manfaat di sisi Allah, demi mempertahankan harga dirinya dan mengharapkan pujian kaum awam, bukanlah sikap orang-orang mulia"

Lalu, bagaimana dengan orang yang kerja keras tapi tak kunjung kaya?

Semarang, 16 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun