Pejabat Pemerintahan Menjadi Aktor Korupsi, Manajemen Keuangan Adalah Solusi
Korupsi seperti cerita yang tidak berujung. Menjalar dari tingkat pusat, seperti korupsi bansos Kementerian Sosial, hingga ke tingkat daerah provinsi dan kabupaten, seperti yang baru-baru dilakukan Gubernur di Papua. Kendati motif korupsi itu beragam, namun tampak telah menjadi kesepakatan bahwa lembaga negara menjadi tempat yang tepat untuk melakukan korupsi.
Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2019 melansir data 10 lembaga negara dengan tingkat korupsi tertinggi, mulai dari pemerintah kabupaten di urutan pertama yang menyebabkan kerugian negara 6,1 Triliun, dan disusul oleh pemerintah desa dengan kerugian negara mencapai angka 32,7 Miliar.
Lembaga penegak hukum juga termasuk bagian dari 10 lembaga terkorup. Hal ini tentu menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Berdasarkan data Transparansi Internasional, Perception Corruption Index pada tahun 2022 hanya berada di angka 34 dengan posisi ke-110 dari 180 negara (diukur dari tingkat negara terbersih dari korupsi).
Korupsi niscaya menjadi penyakit akut yang berbahaya yang menyebabkan efek korosif bagi masyarakat. Bukan sesuatu yang tabuh, korupsi menyebar ke semua negara besar ataupun kecil, maju ataupun berkembang. Oleh sebab itu, tidak heran jika korupsi menjadi perhatian dunia.
Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa dibuat kesepakatan untuk memerangi korupsi yaitu, “United Nations Convention Against Corruption,” yang disahkan pada tahun 2003. Salah satu muatan dari kesepakatan tersebut adalah upaya untuk mencegah tindak pidana korupsi yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap negara pihak wajib menerapkan prinsip dasar dalam pencegahan korupsi, salah satunya mengenai pengelolaan yang tepat atas urusan publik melalui integritas, transparansi dan akuntabilitas. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Modus korupsi pada pemerintahan ternyata berupa manipulasi keuangan. Pada tahun 2022, ICW kembali melansir bahwa modus operandi tindak pidana korupsi 2022 berkaitan dengan manipulasi keuangan. Mulai dari penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, mark up anggaran, laporan fiktif, pungutan liar, perdagangan pengaruh, pemotongan, penerbitan izin ilegal, hingga ke memperdaya saksi.
Melihat gejala tersebut, maka transparansi anggaran adalah kunci mencegah tindak pidana korupsi. Keuangan yang transparan menjadi determinan untuk memperkecil ruang manipulasi anggaran yang secara otomatis dapat menurunkan angka tindak pidana korupsi. Jack Bologna mengemukakan teori mengenai penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yang disebut sebagai teori GONE. Teori ini mengemukakan 4 faktor terjadinya tindak pidana korupsi, yaitu Greedy (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Transparansi keuangan memberikan impuls positif terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia, khususnya karakter anti korupsi, dengan menutupi kesempatan, mencegah keserakahan, hingga ke meredam niat jahat untuk mengungkapkan. Transparansi keuangan dapat dilihat salah satunya melalui transparansi laporan keuangan.
Racikan LHKPN MK menjadi Role Model Reformasi Birokrasi
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi obat mujarab transparansi pengawasan korupsi di lingkup pemerintahan. LHKPN berisi rincian informasi harta kekayaan termasuk pemasukan dan pengeluaran serta data lainnya yang memenuhi klasifikasi harta kekayaan. Melalui payung hukum Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan amanat kepada KPK untuk memeriksa LHKPN dalam upaya pencegahan korupsi.
Implementasi dari hal ini, maka KPK membentuk Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020. Penyelenggara negara yang wajib membuat LHKPN adalah penyelenggara negara yang dalam keadaan pertama kali menjabat, masa habis kerja/pensiun, diangkat kembali setelah masa habis kerja/pensiun, dan masa menjabat. Pelaporan terhadap masa menjabat dilakukan setiap satu kali setahun di bulan Desember, sedangkan yang lainnya dilaporkan paling lama tiga bulan setelah masa pengangkatan dan/atau pemberhentian.
Berkaitan dengan upaya reformasi birokrasi, maka Menteri PAN-RB melalui SE Nomor 2 Tahun 2023 memperluas klasifikasi penyelenggara negara tersebut dengan mewajibkan seluruh ASN yang meliputi PNS dan PPPK, Anggota TNI, dan Anggota POLRI untuk melaporkan LHKPN kepada KPK. Hal ini tentunya membawa kebaruan yang menunjukkan keseriusan negara dalam menjaga transparansi keuangan.
Sebelumnya, jika merujuk pada SE PAN-RB Nomor 03 Tahun 2005, yang diwajibkan menyampaikan LHKPN hanyalah Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara, Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan, Pemeriksa Bea dan Cukai, Pemeriksa Pajak, Auditor, Pejabat yang mengeluarkan perizinan, Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan Pejabat pembuat regulasi. Alas hukum tersebut hanya mewajibkan pejabat yang berdampak langsung pada keuangan negara untuk membuat LHKPN. Kebaruan yang dibawa pada tahun 2023 ini akan menjadi petir di siang hari bagi pejabat korup yang tidak dapat tersaring pada pengaturan sebelumnya.
Menariknya, kebaruan itu bukanlah kebaruan lagi bagi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK). Sebab, sejak tahun 2011 melalui SK Sekjen Nomor 161 Tahun 2011 MK telah mewajibkan seluruh PNS di lingkup kerja MK untuk membuat LHKPN. Bahkan berdasarkan data pada pelaporan LHKPN Desember 2022, MK telah menyematkan predikat wajib lapor bagi seluruh Pegawai/ASN di lingkungan kerja MK.
Fakta ini sekaligus melegitimasi MK telah menjadi role model yang nyata bagi pencegahan praktik korupsi di lembaga negara. Pencegahan korupsi telah menjadi budaya sadar bagi pegawai MK sejak tahun 2011 yang terus akan dikembangkan. Dengan adanya SE PAN-RB yang baru tentunya akan menjadi pacuan bagi lembaga negara lainnya untuk menerapkan sistem yang serupa. MK sekali lagi telah menjadi lembaga negara terdepan yang berinovasi dalam mencegah praktik korupsi.
Bunga Harapan Bagi MK
Pada 20 tahun berdirinya MK, tentunya banyak harapan yang dihaturkan kepada the guardian of constitution milik negara Indonesia ini. Salah satunya memperkuat komitmen MK dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih dan bebas korupsi. Sistem LHKPN yang ada di MK tentunya akan semakin kuat dengan masifnya publikasi dan informasi.
Maka penulis dalam hal ini mengharapkan adanya akses informasi terbarukan pada setiap LHKPN yang dilaporkan. Melihat pelaporan yang ada di MK saat ini, LHKPN akan dipublikasikan setiap bulan Desember pada satu tahun sekali. Jika merujuk pada Peraturan KPK, terdapat LHKPN yang dilaporkan maksimal tiga bulan yaitu LHKPN penyelenggara negara dalam keadaan pertama menjabat, masa habis kerja/pensiun, dan pengangkatan kembali setelah masa habis kerja/pensiun. LHKPN demikian tentunya tidak terikat pada pelaporan tahunan di Bulan Desember.
MK dapat memperbaharui daftar LHKPN pada setiap pembaruan pegawai yang telah mendapat verifikasi LHKPN dari KPK. Sehingga, setiap pertambahan maupun pengurangan jumlah pegawai di MK, LHKPN nya dapat terpublikasi dengan baik. Hal ini juga sekaligus menjadi kontrol langsung masyarakat terhadap harta kekayaan pegawai MK. Usulan ini diharapkan dapat membantu MK menjadi lembaga negara dengan transparansi keuangan yang lebih mapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H