Mohon tunggu...
Muhammad Harits Hibatullah
Muhammad Harits Hibatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Melek Politik

Saya adalah seorang mahasiswa yang menyukai tentang politik regional maupun nasional, saya akan menulis pandangan-pandangan saya terkait dinamika gerakan mahasiswa, politik, keagamaan dan apa yang saya fikirkan.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Bagaimana Mentalitas Bangsa Indonesia Pra Kemerdekaan Jika Terpengaruh Stoikisme

30 Januari 2024   13:10 Diperbarui: 30 Januari 2024   13:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat stoikisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa manusia harus mampu mengendalikan emosi negatif dan bersyukur atas apa yang dimiliki sekarang. Filsafat ini juga menekankan bahwa manusia hanya dapat mengontrol pikiran dan tindakan sendiri, sedangkan hal-hal lain di luar kendali harus diterima dengan tenang dan rasional. Filsafat stoikisme memiliki banyak pengikut dan pengaruh sejak zaman Yunani kuno hingga masa modern. Namun, dalam konteks kemerdekaan Indonesia, saya berpendapat bahwa filsafat stoikisme tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan semangat dan cita-cita bangsa Indonesia.

Alasan pertama mengapa saya menentang filsafat stoikisme adalah karena filsafat ini mendorong orang untuk hanya mencapai apa yang ia bisa capai, tidak membuat orang bermimpi untuk melakukan perubahan besar. Filsafat stoikisme menganggap bahwa hal-hal yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia adalah takdir atau nasib yang harus diterima. Filsafat ini juga mengajarkan bahwa manusia harus menghindari keinginan dan harapan yang berlebihan, karena hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan penderitaan. Filsafat ini menurut saya tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki cita-cita besar untuk merdeka dari penjajahan dan menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Jika bangsa Indonesia mengikuti filsafat stoikisme, maka mereka tidak akan berani melawan penjajah dan menuntut hak-hak mereka. Mereka akan pasrah dan tunduk pada kekuasaan asing yang menindas dan mengeksploitasi mereka. Mereka tidak akan memiliki mimpi dan visi untuk membangun negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Alasan kedua mengapa saya menentang filsafat stoikisme adalah karena filsafat ini tidak sesuai dengan jiwa revolusioner yang dimiliki oleh para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Para pahlawan kemerdekaan Indonesia adalah orang-orang yang berani, gigih, dan pantang menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak takut menghadapi tantangan dan rintangan yang berat. Mereka tidak mau mengalah pada keadaan yang sulit dan tidak menguntungkan. Mereka tidak puas dengan status quo yang tidak adil dan tidak demokratis. Mereka berani mengorbankan nyawa dan harta benda demi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa revolusioner, yang selalu berusaha untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Filsafat stoikisme tidak sesuai dengan jiwa revolusioner ini, karena filsafat ini mengajarkan untuk menerima dunia apa adanya, tanpa berusaha untuk mengubahnya. Filsafat ini juga mengajarkan untuk menahan diri dari emosi dan hasrat, yang justru merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi para pahlawan kemerdekaan Indonesia.

Alasan ketiga mengapa saya menentang filsafat stoikisme adalah karena filsafat ini tidak cocok dengan mentalitas aktivis yang menginginkan perubahan. Aktivis adalah orang-orang yang peduli dengan isu-isu sosial, politik, ekonomi, lingkungan, dan lain-lain yang berkaitan dengan kepentingan umum. Aktivis adalah orang-orang yang berani menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap penguasa dan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Aktivis adalah orang-orang yang berani beraksi dan berorganisasi untuk menuntut perubahan yang lebih baik. Aktivis adalah orang-orang yang memiliki idealisme dan komitmen yang tinggi untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan. Filsafat stoikisme tidak cocok dengan mentalitas aktivis ini, karena filsafat ini mengajarkan untuk menghindari konflik dan kontroversi, yang justru merupakan bagian dari perjuangan aktivis. Filsafat ini juga mengajarkan untuk tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang tidak dapat dikontrol, yang justru merupakan tantangan dan peluang bagi aktivis.

Dari ketiga alasan di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa filsafat stoikisme tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan semangat dan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Filsafat stoikisme mungkin memiliki nilai-nilai positif seperti ketenangan, keseimbangan, dan rasionalitas, tetapi filsafat ini juga memiliki kelemahan seperti pasifisme, fatalisme, dan apatisme. Filsafat stoikisme tidak mampu mengakomodasi aspirasi dan dinamika bangsa Indonesia yang ingin merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, saya menentang filsafat stoikisme dalam konteks kemerdekaan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun