Tinggi badannya tidak seperti wanita pada umumnya, rambutnya hitam bergelombang, hidungnya tidak terlalu mancung juga tidak terlalu pesek, wajahnya selalu berseri-seri tidak menampakkan suatu kesedihan apapun. Matanya sipit seperti mata wanita China, tetapi dia bukan asli orang China.
19 tahun yang lalu, ia sudah berjuang untuk melahirkanku ke dunia yang fana ini. Anak pertama dari enam bersaudara inilah yang mengasuh dan membimbingku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang beliau punya. Ia tidak pernah marah terhadap hal-hal yang aku lakukan yang menurut dia itu wajar dilakukan oleh anak-anak seumuranku, akan tetapi ketika dia dikecewakan oleh orang lain atau keluarga, dia sangat marah sekali kepadanya.
Setahun setelah kelahiranku, Tuhan memberikan ujian kepadanya. Ia mengetahui bahwa ia menderita penyakit kanker payudara stadium awal, ia menerima semua itu dengan mengucapkan istighfar sebanyak-banyaknya, tanda ia tidak mengeluhkan atas berita yang membuatnya ia down atau sedih.
Ia menjalani kehidupan setelah mengetahui ia menderita penyakit mematikan yang belum ada obat penawarnya. Penyakit kanker yang sepengetahuanku adalah penyakit berbahaya nomer dua di dunia setelah penyakit jantung. Aku kagum dengan perjuangan beliau melawan penyakit tersebut. Walaupun rasanya sangat menyakitkan, tetapi beliau tetap tersenyum. Senyumannya seperti senyum pepsodent, sebuah iklan pasta gigi yang sangat populer.
Aku selalu mendampinginya setiap kali ia berobat. Walaupun aku masih kecil, itu adalah kenangan yang selalu aku ingat setiap hari. Waktu demi waktu telah ia lewati hingga delapan tahun kemudian ada kejadian yang sangat menyedihkan. Ia mengetahui bahwa penyakit yang ia derita sudah menjalar ke bagian tulang belakangnya dan diharuskan operasi untuk mengganti tulang belakang dengan sebuah alat penyangga yang disebut platina. Ia tidak menunjukan kesedihannya di hadapanku maupun ayah dan kakak lelakiku.
Setelah ia menjalani operasi, akupun diajak pulang kampung ke rumah nenekku di Medan. Kepulangannya itu karena kakekku yang ia panggil paman sudah dipanggil oleh Tuhan. Itu kenangan yang lain yang tidak dapat kulupakan. Setelah pulang dari Medan, ia langsung masuk ke rumah sakit karena kecapekan. Dan yang aku ketahui, sel kanker sudah mulai bergejolak dalam tubuhnya dan menyebar ke organ paru-parunya, dan setelah di paru-paru, menyebar lagi ke seluruh tubuhnya seperi hati hingga otaknya.
Setelah beberapa lama ia dirawat di rumah sakit, dan mengetahui bahwa sel kanker telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia tetap menjalankan terapi pengobatan yang telah disediakan di rumah sakit. Dia tidak pernah berhenti berdoa dan berharap. Bahkan ketika aku baru menjalani pendidikan sekolah menengah pertama di pesantren modern di Yogyakarta, ia sudah tidak dapat melakukan kegiatan apapun. Ia hanya dapat melakukan kegiatan diatas tempat tidur. Berbicara pun sudah tak mampu. Hidupnya tergantung dengan alat-alat yang menempel di badannya. Sudah dua belas tahun ia menderita penyakit ini. Namun semangat hidupnya tak pernah padam.
Mungkin dari sisi penampilan dan kehidupannya, ia tidak pernah melewatkan satu detik untuk menyebut do’a-do’a agar ia selalu diberikan hidup lebih lama lagi. Dan ia pun tetap menjadi bidadari di hatiku, ayah maupun kakak lelakiku. Dari kepribadiannya, aku mengambil pesan hidup yang ia jalani. “Sebaik-baik waktu dalam kehidupan tidak boleh kau lewati sedetikpun, apapun alasannya.” Walaupun yang aku ketahui, ketika ayah kawin lagi dengan wanita lain, tetapi sosoknya tidak akan pernah tergantikan satu pun di hati ayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H