Mohon tunggu...
Nita Zahrah
Nita Zahrah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Itu Anugerah atau Dosa

21 Mei 2015   12:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:45 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aisyah dan Zafran, dua anak manusia yang saling mengenal melalui sebuah jejaring social dan kegemaran yang sama. Bertahun-tahun mereka saling mengenal, & terpupuklah benih-benih kasih diantara mereka.

Dimedia social itu pula aku mengenal Zafran, sosok yang misterius, menjelma apa saja sesuai keinginannya. Seingatku, saat itu aku begitu membenci Tuhan, bahkan sempat tidak mengakui kehadiran-Nya. (Naudzubillahmindzalikh)

Singkat cerita, karena keunikan yang dimilikinya aku jatuh hati padanya. Entah kapan, yang aku ingat saat itu, melalui Zafran Allah meniupkan kedamaian padaku yang nyaris melupakan-Nya.

Cahaya dan bisikan Allah seolah menembus naluri melalui perkataan Zafran. Intinya, Zafran banyak membantuku ketika aku tersesat jauh dari-Nya.

Namaku Annisa, tahun lalu aku menyelesaikan 3 tahun masa putih abu-abu. Masuk universitas adalah impianku yang tertunda, bukan rejeki, aku gagal di ujian masuk universitas impianku, meskipun sebenarnya ada universitas yang menerimaku, tetapi tidak mungkin aku duduk menyandang status Mahasiswa disana tanpa restu dan dukungan keluargaku.

Banyak hambatan yang tidak mudah datang menyapa, tentu saja aku tetap melaluinya meski bercucuran air mata, mau tidak mau. Saya pikir, disitulah letak seninya Kehidupan ini. Lalu Zafran dengan mudah masuk dalam kehidupanku. Sejak saat itu, aku benar-benar bisa membuka mata. Dia membantuku mendekatkan diri dengan Tuhan.

“Sebenarnya kamu termasuk orang yang beruntung. Ketika Allah mengujimu, kamu memilih jalan lain, tapi karena Allah menyayangimu, Allah pula yang menyelamatkanmu!” Kata Zafran melalui telepon.

Kami semakin dekat, entah itu hanya aku yang merasakannya ataukah keduanya saling merasakan hal demikian, aku tidak tahu pasti. Banyak ilmu yang aku peroleh darinya. Hanya saja banyak ketakutan yang mengurungkan niatku untuk bertemu dengannya.

Sejak pertama mengenalnya, aku menjadikannya salah satu teman dekatku di Facebook. Jujur saja, aku mengikuti semua langkahnya. Dan keberuntungan selalu membuka jalan untukku. Aku selalu saja menemukannya.
“Tampaknya, Zafran sangat dekat dengan Muslimah cantik ini. Aisyah” gumamku terus saja meng-klik aktivitasnya, hal ini sudah seperti keahlianku, karena kegigihanku untuk mencari tahu semua tentangnya, rasa kecewa banyak menjumpai. Tapi, kepercayaan diriku yang berlebihan mendorongku terus mencari tahu.

Setiap lima waktu, aku berusaha melawan diri sendiri yang hina ini untuk menyembah-Nya, aku berusaha menjaga dan mendirikan shalat, membangun ISLAMku yang nyaris runtuh. Setiap sujud terakhir, aku memohon pada-Nya untuk menerima taubatku, menuntun, melindungiku dan keluargaku, orang-orang yang kusayangi dan Zafran, meski sebenarnya tanpa meminta Allah akan selalu menjaga hamba hamba-Nya.

Perasaanku semakin kuat, bahkan aku tak bisa mengendalikannya. Meski tahu perasaan Zafran bukan untukku, aku masih saja menyatakannya.

“Ya Allah, bukankah aku seorang wanita? Bagaimana dengan komitmenku?” Gumamku sambil menatap layar ponsel yang berdering terus-menerus. Saat itu aku dan Zafran tengah asyik chatting di facebook.

“Kak, sebenarnya kamu menggetarkan hati ini dengan skala besar! Aku sayang sama kakak. Terserah kak Zafran mau menganggap ini perkataan anak kecil atau bagaimana, yang penting aku sudah menyatakannya” baru saja aku mengirim kalimat itu seolah aku adalah wanita tangguh yang siap menerima konsekuensinya, seolah dan seolah, dengan keberanian sesaat yang mulai menghilang, tanganku tiba-tiba dingin dan gemetar. Sejak aku menyatakannya, ada perasaan was-was tapi sedikit melegakan. Tanpa jawaban yang pasti aku berpikir kak Zafran telah melupakan hal itu.

Tanpa pernah menyerah, aku terus mengungkapkan perasaanku. Ini yang pertama bagiku memberanikan diri menyatakan apa yang ku rasakan dengan orang yang tidak pernah ku temui sebelumnya. Bahkan aku tidak pernah segila ini, merengek-rengek pada Tuhan seperti tikus yang mencari sepotong keju. Banyak inspirasi yang datang ketika aku memikirkannya.

Sampai-sampai aku melupakan satu hal, bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan sebagai seorang hamba, tentu tidak boleh mencintai apa dan siapa melebihi cinta pada sang Ilahi.

~Apakah justru perasaan ini akan menyesatkanku kembali? Aku bahkan tidak tahu~

Kata orang memang mencintai butuh pengorbanan dan perjuangan, seperti sedang berkompetensi mendapatkan hatinya, dengan gadis muslimah yang cantik itu, aku semakin bertindak berlebihan hingga suatu ketika, Zafran menyebut nama “Aisyah” distatusnya, ya hanya status tapi membuatku cemburu. Benar-benar cemburu, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu aku bersedih dan kecewa, disaat yang sama Tuhan mengambil kakekku. Hingga membuatku semakin terpuruk.

Aku mengingkari janjiku bahwa aku tidak akan menjadi anak kecil yang menangis saat aku gagal atau keinginanku tidak terpenuhi, seperti yang selalu dikatakan Kak Zafran. Dimatanya aku hanya anak kecil, belum dewasa sama sekali.

“Tapi kenapa aku menangis? Perasaan ini tidak nyata. Iya. Tidak nyata. Baiklah, aku menyerah, semuanya tidak seperti yang kebanyakan orang jalani, ini perasaan yang menyimpang dari prilaku manusia lainnya secara umum”

“Dan aku siapa? Aku memang hanya orang baru diantara mereka! Kehadiranku hanya merusak kebahagiaan orang yang kusayangi, dia. Dia dan Aisyah”

~Dan aku benar-benar menyerah? Benar-benar melupakan perasaanku?~

Lambat laun, rasa kecewa dan benci yang membara mulai padam. Kasih sayang di dalam hatiku lebih besar pengaruhnya.

~Benarkah?~

Aku kembali mencari tahu tentangnya, berharap kejadian kemarin hanyalah kebetulan mimpi buruk. “Annisa bangkit lagi” terus melakukan hal-hal yang sia-sia, secara logika. Tapi jika menggunakan “perasaan”, ini hal yang mengagumkan, kegilaan yang terus memuncak.

Dalam hidupku, seorang Annisa, Rahman mantan Annisa terus meminta “Kembali mengulang kisah yang pernah berakhir”, Bunda yang memperkenalkanku dengan “Abdullah” yang sangat disukai keluargaku, dan Imran yang setia menungguku untuk membuka hati untuknya. Lalu mengapa aku terus mengejar seorang Zafran?

Sekali lagi aku bangkit, ternyata aku jatuh lagi. Zafran dan Aisyah begitu tangguh. Mereka saling mencari, taka da celah untukku, seorang Annisa. Baru saja aku melangkah, Tuhan seperti melumpuhkanku melalui nama Aisyah, jelas bukan namaku.

~Tenaga seperti terkuras habis, saat melakukan hal terbodoh seumur hidup, usaha yang sia-sia, dan memberi tamparan keras, ini hidup, nyata, bukan dongeng.

Jemari semakin dingin dan bergetar, kaki lemas untuk melangkah, ingin teriak, tapi bahkan bibir tak sanggup berkata apa-apa, bungkam, sepertinya air mata tidak bisa menetes melegakan sedikit beban ini, mungkin jatuh kedalam, sesak, seperti jalan buntu.~

~"Bagaimana ini?"~

Adzan Dzuhur berkumandang, panggilan Allah Maha dahsyat itu membelalakkan pandanganku yang berkaca-kaca. Dalam sujud terakhir, aku benar-benar tak sanggup lagi bangkit dan duduk tahyat akhir.

“Ya Allah, jika ini adalah petunjuk bagiku, Zafran yang tak ragu ku sebut dalam doa-doaku, didepan-Mu bukanlah seseorang yang baik untukku, maka aku menerimanya. Jika cinta adalah dosa, kumohon tutuplah pintu hatiku untuk tidak mencintai lagi, siapa pun itu, jika bukan keluargaku, ayah-bundaku, suamiku kelak. Jika cinta adalah dosa, jangan biarkan aku jatuh cinta lagi”

“Dan jika cinta adalah anugerah, anugerahkanlah dalam keluargaku, jadikanlah aku dan keluargaku hamba yang sepenuhnya hanya mencintai Tuhannya”

“Sudah cukup itu bagiku ya Allah, aku tidak mau tersesat lagi. Ya Allah, ampunilah aku, ampunilah aku, ampunilah aku..

Begitulah suara serakku meneriakkan segalanya pada-Nya, mataku akhirnya mengeluarkan bebanku melalui air mata. Ku peluk erat Al-Quran mungilku, aku kembali menjatuhkan tubuhku tanpa membuka mukena biruku, tepat diatas sajadah. Pendengaran dan penglihatanku, serta pikiranku mulai hilang terlelap dijemput mimpi.

~Aku berharap, setelah aku terbangun dari tidurku, aku benar-benar tidak berada dalam keadaan seperti ini lagi, Amin…~

#‎THE_END#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun