Jam menunjukkan kurang lebih pukul 9 pagi. Saya hanya memiliki sedikit waktu sembari menunggu penerbangan pulang di jam 14.00. Posisi saya saat itu berdiri di pinggir jalan persis di samping pintu masuk gerbang wisata Bantimurung.
Tujuan perjalanan singkat nan panjang saya kali ini untuk bertemu dengan satwa kera hitam endemik khas Sulawesi.
Namanya secara lokal di panggil Dare dan ilmiahnya dikenal dengan Macaca Maura.
Dare, ada yang berbulu hitam, coklat kehitaman, dan ada yang berbulu putih abu-abu. Berekor sangat kecil, hampir tak terlihat. Wajahnya agak panjang, tetapi tidak terlalu panjang seperti Yaki (Macaca Nigra). Dibagian pantatnya, bentuknya seperti "V", berwarna agak pucat dan kadang ada yang berwarna merah jambu. Tidak ada bulu dibagian pantat, hanya saja disekitarnya berbulu tipis dan rata-rata berwarna agak putih abu-abu.
Buta soal arah tujuan ke Karaenta, akhirnya saya disarankan untuk bertemu dengan Pak Pado, seorang jagawana Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Beliau terkenal dikalangan akademisi dan peneliti mancanegara. Kemudian saya melaporkan kedatangan dan meminta ijin ke kantor Balai Besar Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.
*Bagi anda yang ingin melihat Macaca Maura di habitatnya, datanglah ke kantor Balai Besar Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Buatlah Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Karena Karaenta adalah Cagar Alam, kawasan non wisata atau bukan untuk piknik. Jangan membuat keributan. Dengarkan pengarahan dari jagawana. Ikuti peraturan yang sudah ditetapkan.*
Urusan simaksi lancar dan saya pun membonceng motor Pak Pado menembus jalan poros via Camba. Perjalanan menuju Karaenta berkelok-kelok. Pemandangan dihiasi dengan proyek jalan baru. Kemudian pemandangan berubah dengan banyaknya dinding batu-batu kokoh karst di kanan kiri jalan poros.
Akhirnya saya tiba di tempat tujuan, menatap penuh antusias, dan memotret sepuas hati. Karena yang saya cari ternyata berkumpul di pinggir jalan. Tentu saja semua yang saya lakukan di bawah pengawasan Pak Pado.
Terlihat 3 ekor Dare hitam legam datang mendekati saya. Saya mundur menjaga jarak agar Dare tidak menyerang. Pak Pado menghalau mereka. Satu ekor lagi datang. Dia hanya mendekat, kemudian duduk membelakangi saya.
Dari seberang jalan, saya mendengar bunyi teriakan dan gesekan pohon-pohon. Terlihat 2 ekor Dare sedang duduk di cabang pohon, kemudian bergegas turun begitu melihat saya mendekat. Beberapa ekor yang lain juga datang, tetapi berhenti dan hanya duduk mengawasi saya yang asyik memotret dan merekam tingkah laku mereka.
Seekor Dare abu-abu keputihan menatap saya dari jauh. Tidak lama, 2 ekor Dare coklat mendekati Dare abu-abu keputihan itu. Informasinya adalah Dare yang sudah tua.
Saya bertanya kepada Pak Pado, kenapa banyak Dare di pinggir jalan?
Saya membayangkan satwa yang statusnya mendekati punah ini benar-benar punah karena tertabrak kendaraan.
Menurut Pak Pado, Dare ini muncul di pinggir jalan karena 2 hal, yaitu :
- Area jelajah atau area kekuasaan mereka sebagian ada di seberang jalan. Jadi mau tidak mau mereka harus menyeberang. Cagar Alam Karaenta sendiri tepat berada di kanan kiri jalan poros Maros-Bone via Camba.
- Nah, ini yang meresahkan para petugas Taman Nasional. Menurut Beliau, pengemudi yang melintasi jalan poros ini sering berhenti dan melempar makanan. Sebenarnya tidak diperbolehkan berhenti. Terlarang.
Padahal sepanjang jalan menuju Karaenta, banyak papan informasi larangan memberi makan. Pak Pado mengatakan bahwa Dare tetap harus dibiasakan mencari makan sendiri yang sudah tersedia di dalam hutan karst Bantimurung. Saya setuju dengan Beliau. Jadi itulah kenapa Dare mulai mendekati saya ketika saya tiba. Jangan-jangan mereka mengharapkan makanan.
Tiba-tiba Pak Pado menghampiri sebuah mobil yang pelan-pelan menepi dipinggir jalan. Beliau meminta dengan sopan kepada pengendara tersebut untuk tetap melaju. Tetapi mobil itu sepertinya tidak bergeming. Teguran kedua di lontarkan oleh Pak Pado dengan nada agak tegas, dilarang membuka kaca dan harus segera jalan. Itu karena dilihatnya kawanan Dare mulai berjalan mendekati mobil itu.
Saya termangu melihat kejadian tadi. Seketika teringat kata-kata Pak Haro, seorang jagawana senior yang dekat dan paham akan Macaca Maura di dalam artikel majalah National Geographic :
“Biarkanlah kera-kera ini hidup secara alami. Pemberian makanan sebagaimana halnya dilakukan di beberapa tempat, akan mengubah tingkah laku mereka. Saya khawatir mereka nantinya akan tergantung kepada pemberian manusia. Saya tidak mau hal serupa terjadi dengan kera-kera di hutan ini,”
Aah......saya merasa tidak perlu lagi berlama-lama di pinggir jalan. Sudah cukup untuk hari itu. Saya bergegas menuju bandara dan membaca banyak referensi tentang Macaca Maura. Harapan Pak Haro, Pak Pado, dan jagawana lainnya serta saya pribadi adalah semoga Dare Si Hitam Macaca Maura masih lestari di habitatnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H