Mohon tunggu...
Nita Noeris
Nita Noeris Mohon Tunggu... -

extra ordinary... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jeratan Gurita Kapitalisme Dalam Industri Media Televisi

25 November 2011   10:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika politik pada tahun 1998 telah memunculkan era yang disebut sebagai era reformasi. Era tersebut berdampak pada terbukanya kran-kran informasi dan ruang bagi penyaluran kebebasan berekspresi serta berpendapat. Televisi merupakan salah satu media yang merasakan dampak tersebut. Televisi-televisi swasta pun bermunculan dan ragam variasi program ditampilkan. Iklan kemudian hadir dan mewarnai layar kaca sebagai nyawa yang menghidupi dan menjamin keberlangsungan media televisi tersebut.

Televisi, sebuah kotak kaca ajaib yang mampu memukau para pemirsanya dan seolah memiliki sihir yang mampu menjerat siapa saja untuk larut kedalam pesonanya. Ia penuh sesak dengan ragam program hiburan, seperti musik, sinetron, kuis atau berbagai macam reality show. Program-program non-hiburan seperti berita, awalnya hanya dijadikan sebagai pelengkap dengan tampilan yang tidak semenarik program hiburan lainnya. Namun, sejak kemunculan MetroTV yang memosisikan dirinya sebagai stasiun berita, sebagaimana layaknya CNN, maka terdapat kecenderungan berita tidak lagi dianggap sebagai program sampingan. Terlebih dengan hadirnya TvOne, dengan tag linenya sebagai stasiun berita dan olahraga. Terdapat persaingan diantara keduanya yang kemudian diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti TransTv, Trans7, RCTI, SCTV dan stasiun lainnya. Persaingan tersebut kemudian memunculkan ragam varian dalam penyajian berita yang kemudian dikemas dengan lebih menarik.

Hal tersebut tentu saja merupakan hal positif yang dapat menjadi pemuas dahaga masyarakat akan kehadiran program-program televisi yang berkualitas dan mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah dalam perkembangannya kanal-kanal berita tersebut mampu mempertahankan komitmennya untuk memberikan informasi dan program-program yang mendidik? Apakah stasiun berita tersebut mampu melepaskan diri dari konflik kepentingan antara kebutuhan untuk memperoleh profit dan fungsi edukasinya? Tulisan ini akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut dengan memberikan ulasan mengenai perkembangan industri media televisi dan kecenderungan adanya komodifikasi berita

Berbicara tentang media selalu menjadi perbincangan yang menarik. Terlebih lagi ketika menempatkan media sebagai industri, dimana idealisme berbenturan dengan hegemoni kapitalisme. Lauer (2003:413) menjelaskan bahwa ketika berbicara tentang industrialisasi, maka ia tidaklah berarti perbincangan seputar persoalan ekonomi dan teknologi semata, melainkan juga pola perubahan sosial dan kultural. Dengan melihat apa yang dikonsepsikan oleh Lauer tersebut, maka media memainkan peranannya dalam perubahan sosial dan kultural. Meskipun demikian, sebagai industri, media juga terkait erat dengan persoalan ekonomi dan teknologi.

Media memiliki peranan begitu besar dalam kehidupan masyarakat. Ia mampu memberikan pengaruh, tidak hanya berkaitan dengan pilihan gaya hidup, melainkan juga pengaruh dalam hal pembentukan opini publik dan cara pandang pemirsa terhadap realitas. Terlebih ditengah budaya masyarakat yang kian mengarah pada budaya visual, maka televisi sebagai bagian dari media yang begitu diminati tentu saja menempati posisi yang cukup menentukan. Kellner mengatakan bahwa hasil poling mengungkapkan betapa orang banyak bergantung pada televisi sebagai media yang terpercaya untuk mendapatkan berita dan informasi dibandingkan melalui media lainnya (Kellner, 1990:2). Meskipun yang ia bicarakan adalah konteks Amerika Serikat untuk beberapa waktu yang lalu, namun hal tersebut dapat pula dijadikan sebagai gambaran realitas yang terjadi di Indonesia pada masa kini. Hal tersebut terbukti, ketika kini stasiun televisi di Indonesia kian beragam dan juga dengan hadirnya stasiun televisi berita yang cukup mendapatkan tempat di masyarakat.

Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah harapan masyarakat akan program-program televisi yang berkualitas telah berbanding lurus dengan realitas yang ditawarkan oleh media televisi? Ataukah media televisi telah terjebak dalam kungkungan industri kapitalis? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya bila melihat kembali pada sajian berita televisi. Sajian berita sebagai media penyampaian informasi merupakan salah satu perwujudan dari fungsi tanggung jawab sosial pers yang disampaikan melalui media. Idealnya penyampaian berita haruslah memenuhi prinsip-prinsip objektivitas, keakuratan data, kebenaran, keadilan dan relevan. Akan tetapi, dengan adanya persaingan diantara media penyaji berita, prinsip tersebut seakan menjadi nomer dua yang dikedepankan setelah pertimbangan rating.

Hasil jajak pendapat harian Kompas menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran minat masyarakat dalam hal tayangan televisi. Dikatakan bahwa tayangan berita telah mampu menggeser sinetron dan ajang kontes idola yang tadinya sangat diminati masyarakat. Bahkan terdapat peningkatan jumlah pemirsa berita yang cukup signifikan, yaitu dari yang semula sebesar 30,4 persen pada Juni 2008 menjadi 46 persen pada November 2009 (Kompas, 24/01/2010). Dikatakan pula bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya antusiasme publik dalam menonton program berita televisi, yaitu banyaknya peristiwa yang menyita perhatian publik selama satu tahun terakhir, agresivitas dan totalitas media dalam meliput dan menyajikan berita-berita yang menjadi perhatian besar di masyarakat, kebutuhan masyarakat akan informasi yang serba cepat dan real time, serta kemasan berita yang cenderung lebih populer dan menghibur.

Sajian berita telah bermetamorfosa menjadi tayangan reality show yang begitu populer. MetroTV bahkan mengiklankan program berita hariannya, Metro Hari Ini, dengan memberikan tag line sebagai real life drama. Hal tersebut menunjukkan bahwa media menangkap kecenderungan masyarakat Indonesia yang menyukai segala sesuatu yang berbau dramatis dan bombastis, untuk kemudian secara jitu menggunakannya sebagai alat guna melakukan promo berita.

Berita telah dikemas menjadi serupa sinetron dan tayangan reality show lainnya untuk mendapatkan perhatian pemirsa. Ketika hal tersebut dilakukan dengan tidak mengeliminasi prinsip media yakni informatif dan mendidik serta memenuhi tanggung jawab sosial media, maka hal tersebut tidak terlalu menjadi persoalan. Namun yang terjadi adalah kemasan berita cenderung lebih mengedepankan kecepatan, hiburan dan dramatisasi semata.

Stasiun berita kemudian cenderung mengedepankan persaingan mengejar eksklusivitas tayangan berita sehingga cenderung mengabaikan kedalaman dan keakuratan data dari berita yang ditayangkan. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh TvOne ketika melakukan siaran langsung penyergapan rumah tersangka teroris di Temanggung. Solaeman Sakib, General Manager Current Affair TvOne, mengatakan bahwa kebijakan menyiarkan secara langsung penggerebekan rumah yang diduga sebagai tempat persembunyian Noordin M Top di Dusun Beji, Temanggung, Jawa Tengah dilakukan untuk meningkatkan rating dan menggaet 20 juta pemirsa (http://nasional.kompas.com/read/2009/08/27/19533758/TV.One.Tayangan.Temanggung.Hanya.untuk.Naikkan.Rating). Hasilnya adalah kesalahan pemberitaan mengenai identitas pria yang tewas tertembak dalam sergapan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa televisi berita pun ternyata tidak bebas dari kepentingan kapitalis dan cenderung mengorbankan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial demi meraup keuntungan. Eksklusivitas dan rating, kedua hal tersebut itulah yang kemudian menjadi pertimbangan utama bagi media pemberitaan. Sekali lagi, idealisme tenggelam oleh hegemoni kapitalisme global.

Gambaran pemberitaan yang demikian semakin menegaskan bahwa industri pemberitaan, khususnya dalam industri media televisi, telah terjebak dalam jeratan kapitalisme global. Pemberitaan yang semestinya informatif dan mendidik terdistorsi menjadi hiburan yang mengemas realita menjadi semata komodifikasi. Bahkan media seakan menjadi alat kepentingan penguasa korporasi. Media dimanfaatkan para konglomerasi untuk kepentingan mereka. Indikasinya sebagaimana yang terlihat pada MetroTV dan Media Groupnya dengan Surya Paloh sebagai pemilik modal dan TvOne serta Antv dan vivanews.com dengan Aburizal Bakrie. Media lain juga memiliki kecenderungan korporasi serupa, seperti misalnya Grup MNC (RCTI, TPI, Global TV, Sun TV, MNC Channel, okezone.com dan beberapa anak bisnis media lainnya) dibawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo. Kemudian Chairul Tanjung dengan TransCorpnya yang membawahi TransTV dan Trans|7 (http://dsatria.wordpress.com/2008/03/18/mengukur-kapitalisme-media-lokal/http://www.mnc.co.id/http://www.transcorp.co.id/#; http://www.an.tv/pages.php?page=profil; http://www.tvone.co.id/tvone/bod).

Hal tersebut seolah menegaskan apa yang dikatakan oleh Schiller (1995:92) bahwa pewaris utama dari revolusi informasi adalah kapitalisme korporasi. Dengan revolusi informasi, terciptalah masyarakat informasi yang kemudian menjadi sangat bergantung dengan keberadaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk media televisi didalamnya. Dan dengan adanya korporasi media yang sangat berbau kapitalis, dapat dipastikan bahwa informasi cenderung menjadi bias dan banyak dimuati oleh kepentingan ekonomi maupun politis dari pemilik modal.

Persaingan pemberitaan ketika Pemilu Presiden 2009 dan Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar 2009 semakin menunjukkan ketidaknetralan posisi media. Begitu pula dengan isu Lumpur Lapindo Sidoarjo, dimana pemberitaannya menjadi sangat tidak berimbang (http://togarsilaban.wordpress.com/2009/09/29/para-wartawan-yang-jadi-kacung-para-kapitalis-stasiun-tv/; http://duniatv.blogspot.com). Media menjadi berpihak, subjektif dan sangat ditentukan warnanya oleh pemilik modal. Ketika hal demikian yang terjadi, maka tepatlah ketika Sunardian Wirodono (2005:104) mengatakan bahwa media televisi apabila dibandingkan dengan media lainnya memiliki kekuatan yang luar biasa dalam melakukan produksi dan reproduksi citra dimana seluruh isi media sebagai realitas telah dikonstruksi. Yang terjadi kemudian adalah siapa yang mampu menguasai media, maka ia akan mampu untuk menguasai dunia. Idealisme media kemudian menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan hegemoni kapitalisme global dan dominasi kepentingan penguasa.

Sardar (2008:18) mengatakan bahwa televisi, serupa dengan radio, film, video, surat kabar, majalah dan bahkan komik, merupakan produk budaya yang mengandung makna, nilai, ide, dan merupakan suatu bentuk komunikasi. Dikatakan bahwa produk media yang dipasarkan secara massal sebagai barang konsumen membutuhkan inovasi terus-menerus dan diharuskan untuk dijual semurah mungkin. Dan hal itulah yang kemudian terjadi pada program-program berita yang ditawarkan oleh televisi.

Hadirnya program berita yang semakin menghibur dan presenter berpenampilan menarik layaknya model merupakan beberapa bentuk inovasi yang dihadirkan televisi untuk semakin menarik pemirsa menonton program berita yang mereka tawarkan. Begitu pula dengan format acara yang tidak lagi kaku, sebagaimana yang diawali oleh TvOne dengan program Apa Kabar Indonesia-nya, yang kemudian diikuti oleh MetroTV dengan merombak format Metro Pagi menjadi lebih santai dan menghibur.

Inovasi lain adalah adanya program berita berformat talkshow atau bahkan debat yang cenderung membahas dan menganalisis suatu persoalan di permukaan saja. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan durasi waktu dan konsumsi iklan sebagai nafas kehidupan media. Analisa berita atau suatu persoalan kemudian menjadi tidak utuh dan kurang memiliki kedalaman. Seringkali belum tuntas suatu persoalan dibicarakan, akan tetapi harus dipotong dengan adanya jeda iklan yang kemudian setelahnya beralih pada bahasan lain.

Presenter pun kemudian menjadi cenderung agresif untuk mengesankan bahwa ia pintar dan mampu mengimbangi lawan bicaranya. Meskipun tak jarang pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kurang memiliki kedalaman. Pemandangan presenter yang dengan sewenang-wenang memotong pembicaraan pun menjadi sesuatu hal yang lumrah. Tayangan semacam itu juga cenderung hanya mengedepankan sisi kontroversial. Pada akhirnya, tayangan yang seharusnya bersifat edukatif beralih makna menjadi tayangan yang menampilkan wajah-wajah garang dan meneror setiap ruang pemirsanya. Bahkan dikatakan bahwa program talkshow serupa dengan pertandingan tinju yang kemudian menghasilkan banyak selebriti politik (Robby Mamora dalam http://prabuwardhana.wordpress.com ).

Kemudian berkaitan dengan persoalan isi berita yang ditampilkan terlihat bahwa media cenderung tidak berimbang dalam menyampaikan informasi. Apa yang menjadi headline media seringkali sesuatu yang dalam kacamata media dianggap sebagai berita yang pantas untuk diblow-up dan memiliki nilai jual tinggi. Hal ini dikatakan oleh Sardar berkaitan dengan konsep isi dan nilai berita (2008:91). Ia menjelaskan bahwa nilai berita memainkan peran penting dalam melihat dan memilih sesuatu sebagai cerita atau isi berita. Kriteria nilai berita dikatakan terkait erat dengan penentuan agenda, dimana “fakta” dapat dikonstruksi sesuai dengan kepentingan media yang bersangkutan.

Selanjutnya adalah masalah ekonomi dimana media selalu berkepentingan untuk memaksimalkan audiens, dimana sejumlah berita bahkan ditampilkan sebagai “infotainment”. Kriteria berikutnya berkait dengan imediasi, yaitu tekanan untuk imediasi (mengejar deadline) seringkali memaksa para reporter untuk bergantung pada “pendapat ahli” untuk menjelaskan suatu persoalan, dimana media memegang kontrol penuh terhadap mereka yang dianggap sebagai ahli dan dirasakan tepat untuk menjadi pengulas suatu permasalahan. Kriteria terakhir adalah “menjaga gerbang” yang diperankan oleh para editor media atau produser dan produser eksekutif bagi media televisi. Editor media itulah yang kemudian menyaring berita mana yang layak disiarkan atau memiliki nilai jual tinggi dan mana yang tidak. Masyarakat pun kemudian menjadi konsumen dari pilihan berita editor. Meskipun tidak jarang juga pilihan editor tersebut berasal dari perhatian publik yang luas terhadap suatu persoalan.

Senada dengan Williams (2009:56) yang mengatakan bahwa kemampuan penyiaran untuk mengontrol secara editorial hal-hal mana saja yang penting untuk dijadikan pusat perhatian para pemirsa media memiliki dampak yang sangat kompleks. Ia memiliki kuasa untuk menanamkan terhadap para pemirsanya apa saja yang harus dianggap sebagai prioritas, termasuk tindakan dan kata para pemimpin politik yang disebut sebagai politik tingkat tinggi.

Apa yang terjadi pada media di Indonesia menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan adanya komodifikasi berita. Yaitu dimana berita diperdagangkan untuk mendapatkan rating tinggi dan juga sebagai kepanjangan tangan para pemilik modal untuk melebarkan sayap kuasanya. Dominasi televisi dalam kehidupan masyarakat Indonesia serta kemampuannya untuk mempengaruhi bahkan membentuk opini publik menjadikan ia sebagai media efektif untuk kepentingan penguasa media. Hal tersebut tentu saja membahayakan ketika keberpihakan media yang semacam itu hadir ditengah masyarakat dengan kondisi kesadaran semu dan ketidakmatangan dalam politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun