Mohon tunggu...
Nita Noeris
Nita Noeris Mohon Tunggu... -

extra ordinary... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jeratan Gurita Kapitalisme Dalam Industri Media Televisi

25 November 2011   10:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hal tersebut seolah menegaskan apa yang dikatakan oleh Schiller (1995:92) bahwa pewaris utama dari revolusi informasi adalah kapitalisme korporasi. Dengan revolusi informasi, terciptalah masyarakat informasi yang kemudian menjadi sangat bergantung dengan keberadaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk media televisi didalamnya. Dan dengan adanya korporasi media yang sangat berbau kapitalis, dapat dipastikan bahwa informasi cenderung menjadi bias dan banyak dimuati oleh kepentingan ekonomi maupun politis dari pemilik modal.

Persaingan pemberitaan ketika Pemilu Presiden 2009 dan Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar 2009 semakin menunjukkan ketidaknetralan posisi media. Begitu pula dengan isu Lumpur Lapindo Sidoarjo, dimana pemberitaannya menjadi sangat tidak berimbang (http://togarsilaban.wordpress.com/2009/09/29/para-wartawan-yang-jadi-kacung-para-kapitalis-stasiun-tv/; http://duniatv.blogspot.com). Media menjadi berpihak, subjektif dan sangat ditentukan warnanya oleh pemilik modal. Ketika hal demikian yang terjadi, maka tepatlah ketika Sunardian Wirodono (2005:104) mengatakan bahwa media televisi apabila dibandingkan dengan media lainnya memiliki kekuatan yang luar biasa dalam melakukan produksi dan reproduksi citra dimana seluruh isi media sebagai realitas telah dikonstruksi. Yang terjadi kemudian adalah siapa yang mampu menguasai media, maka ia akan mampu untuk menguasai dunia. Idealisme media kemudian menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan hegemoni kapitalisme global dan dominasi kepentingan penguasa.

Sardar (2008:18) mengatakan bahwa televisi, serupa dengan radio, film, video, surat kabar, majalah dan bahkan komik, merupakan produk budaya yang mengandung makna, nilai, ide, dan merupakan suatu bentuk komunikasi. Dikatakan bahwa produk media yang dipasarkan secara massal sebagai barang konsumen membutuhkan inovasi terus-menerus dan diharuskan untuk dijual semurah mungkin. Dan hal itulah yang kemudian terjadi pada program-program berita yang ditawarkan oleh televisi.

Hadirnya program berita yang semakin menghibur dan presenter berpenampilan menarik layaknya model merupakan beberapa bentuk inovasi yang dihadirkan televisi untuk semakin menarik pemirsa menonton program berita yang mereka tawarkan. Begitu pula dengan format acara yang tidak lagi kaku, sebagaimana yang diawali oleh TvOne dengan program Apa Kabar Indonesia-nya, yang kemudian diikuti oleh MetroTV dengan merombak format Metro Pagi menjadi lebih santai dan menghibur.

Inovasi lain adalah adanya program berita berformat talkshow atau bahkan debat yang cenderung membahas dan menganalisis suatu persoalan di permukaan saja. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan durasi waktu dan konsumsi iklan sebagai nafas kehidupan media. Analisa berita atau suatu persoalan kemudian menjadi tidak utuh dan kurang memiliki kedalaman. Seringkali belum tuntas suatu persoalan dibicarakan, akan tetapi harus dipotong dengan adanya jeda iklan yang kemudian setelahnya beralih pada bahasan lain.

Presenter pun kemudian menjadi cenderung agresif untuk mengesankan bahwa ia pintar dan mampu mengimbangi lawan bicaranya. Meskipun tak jarang pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kurang memiliki kedalaman. Pemandangan presenter yang dengan sewenang-wenang memotong pembicaraan pun menjadi sesuatu hal yang lumrah. Tayangan semacam itu juga cenderung hanya mengedepankan sisi kontroversial. Pada akhirnya, tayangan yang seharusnya bersifat edukatif beralih makna menjadi tayangan yang menampilkan wajah-wajah garang dan meneror setiap ruang pemirsanya. Bahkan dikatakan bahwa program talkshow serupa dengan pertandingan tinju yang kemudian menghasilkan banyak selebriti politik (Robby Mamora dalam http://prabuwardhana.wordpress.com ).

Kemudian berkaitan dengan persoalan isi berita yang ditampilkan terlihat bahwa media cenderung tidak berimbang dalam menyampaikan informasi. Apa yang menjadi headline media seringkali sesuatu yang dalam kacamata media dianggap sebagai berita yang pantas untuk diblow-up dan memiliki nilai jual tinggi. Hal ini dikatakan oleh Sardar berkaitan dengan konsep isi dan nilai berita (2008:91). Ia menjelaskan bahwa nilai berita memainkan peran penting dalam melihat dan memilih sesuatu sebagai cerita atau isi berita. Kriteria nilai berita dikatakan terkait erat dengan penentuan agenda, dimana “fakta” dapat dikonstruksi sesuai dengan kepentingan media yang bersangkutan.

Selanjutnya adalah masalah ekonomi dimana media selalu berkepentingan untuk memaksimalkan audiens, dimana sejumlah berita bahkan ditampilkan sebagai “infotainment”. Kriteria berikutnya berkait dengan imediasi, yaitu tekanan untuk imediasi (mengejar deadline) seringkali memaksa para reporter untuk bergantung pada “pendapat ahli” untuk menjelaskan suatu persoalan, dimana media memegang kontrol penuh terhadap mereka yang dianggap sebagai ahli dan dirasakan tepat untuk menjadi pengulas suatu permasalahan. Kriteria terakhir adalah “menjaga gerbang” yang diperankan oleh para editor media atau produser dan produser eksekutif bagi media televisi. Editor media itulah yang kemudian menyaring berita mana yang layak disiarkan atau memiliki nilai jual tinggi dan mana yang tidak. Masyarakat pun kemudian menjadi konsumen dari pilihan berita editor. Meskipun tidak jarang juga pilihan editor tersebut berasal dari perhatian publik yang luas terhadap suatu persoalan.

Senada dengan Williams (2009:56) yang mengatakan bahwa kemampuan penyiaran untuk mengontrol secara editorial hal-hal mana saja yang penting untuk dijadikan pusat perhatian para pemirsa media memiliki dampak yang sangat kompleks. Ia memiliki kuasa untuk menanamkan terhadap para pemirsanya apa saja yang harus dianggap sebagai prioritas, termasuk tindakan dan kata para pemimpin politik yang disebut sebagai politik tingkat tinggi.

Apa yang terjadi pada media di Indonesia menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan adanya komodifikasi berita. Yaitu dimana berita diperdagangkan untuk mendapatkan rating tinggi dan juga sebagai kepanjangan tangan para pemilik modal untuk melebarkan sayap kuasanya. Dominasi televisi dalam kehidupan masyarakat Indonesia serta kemampuannya untuk mempengaruhi bahkan membentuk opini publik menjadikan ia sebagai media efektif untuk kepentingan penguasa media. Hal tersebut tentu saja membahayakan ketika keberpihakan media yang semacam itu hadir ditengah masyarakat dengan kondisi kesadaran semu dan ketidakmatangan dalam politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun