Buat saya yang memandang dunia dengan kacamata hitam dan putih sedikit kaget dengan kenyataan bahwa adanya 'birokrasi di bidang kesehatan' yang cukup pelik. Tidak sedikit orang-orang pintar dan cerdas yang cinta bangsa di negara ini. Hanya karena terbentur koneksi harus 'mengalah' dan 'nrimo' atas kenyataan 'pupusnya' impian atau 'ditelikung hingga patah-patah' akan cita-citanya karena bukan siapa-siapa alias gak punya koneksi untuk menjadi siapa-siapa (ngerti lah maksudnya)
Fenomena dokter spesalis yang hanya bisa didapatkan oleh sebagian kecil orang menjadi sebuah rahasia 'umum' yang akhirnya terbuka. Menteri Kesehatan, Ir. Budi Gunadi Sadikin, (soal Ir. Budi ini aja saya juga salut sama Jokowi, kenapa menteri kesehatan bukan dari kalangan kesehatan, yes?). Ya, iya kali, orang kesehatannya udah pada susah keluar dari jerat 'sistem' yang 'rumit'. Gak mudah menggunting blunder di area ini. Ir. Budi digadang-gadang mampu 'meluruskan' sengkarut di lini kesehatan negara ini. Semoga.
Pernah ngikut juga di webinar mengenai penanganan penyakit langka di Indonesia. Seorang profesor genetika masih juga menghadapi kesulitan memasukkan obat dengan angka fantastis (karena dikenakan pajak barang mewah). Profesor tersebut melakukan perjuangan yang hebat itu dalam ranah profesinya dengan tidak mudah, padahal itu untuk kepentingan kemanusiaan.Â
Okay, kembali fokus ke persoalan dokter spesialis dan IDI. Muncul fakta, dokter spesialis begitu langka. Ternyata untuk mencetak keberadaan dokter spesialis aja segitu susahnya. Dipersulit oleh siapa? Lho kenapa sih koq dipersulit? Bangsa ini begitu membutuhkan uluran tangan dokter-dokter spesialis ini.
Mau jadi dokter spesialis kata Pak Budi, gak mudah, berliku jalannya. Jadi mikir jika bukan siapa-siapa yo gak bisa walau sehebat apapun kita. Seorang Ibu dari anak yang saya layani, menceritakan pengalamannya, untuk bertemu komunitas yang menjadi 'pintu gerbang' bagi perkembangan anaknya juga membutuhkan 'kenalan orang besar' dan dia gak bisa jalan sendiri.
Itu soal IDI dan dokter spesialis. Lalu saya juga pernah diajaki berkeluh kesah oleh seorang kawan psikolog klinis yang sangat pusing dengan perijinan praktek yang cukup rumit. Searas dengan IDI, ikatan-ikatan itu dibentuk yang sebenarnya untuk melindungi keprofesian. Namun demikian jangan sampai menjadi sebuah bumerang bagi masyarakat. Sebut saja, alasan dr. Terawan yang saya saksikan sebagai salah satu begawan kesehatan juga di Indonesia. Kenapa saya bisa bilang begini. Salah satu pasien dokter Terawan adalah kenalan baik saya yang sembuh dari penyakit terkait syaraf melalui pengobatan yang beliau lakukan.
Orang sekaliber dia harus dipindahkan ke negara lain. Mengapa? Lha wong di sini juga dia dibutuhkan? Kenapa? Jadi inget Ibu Sri Mulyani Indrawati jaman itu lalu Pak Arcandra Taher. Orang-orang pintar & punya kapasitas dibuang, hanya karena banyak kepentingan yang harus diamankan?
Rm. Magnis pernah menitipkan sebuah pesan yang kira-kira bisa disimpulkan, orang benar harus berani bicara. Saya butuh beberapa tahun untuk sadar dan berani melihat fakta dan akhirnya berproses! Tidak bisa diam terus-menerus, tetapi juga harus betul-betul belajar memahami fakta, kenyataan, dan juga menganalisis kemampuan dan keterbatasan. Yang paling penting berani menyuarakan kebenaran.
Optimis bahwa akan ada selalu jalan baik.
Terima kasih.