Skripsi itu bagai seni mengenal dan mengolah diri, koq bisa?
Menulis skripsi merupakan sebuah babak dalam pendidikan formal yang bikin dag dig dug der bagi tiap individu yang menjalaninya. Dalam fase ini, begitu banyak rasa, logika, dan perilaku yang pastinya mengalami modifikasi.Saya mau tegaskan, di fase ini kita pasti lebih dalam lagi mengenal dan mengolah diri.
Mengenal diri dengan segala lebih dan kurangnya. Ada rasa malas, ada rasa takut, ada rasa ragu, ada rasa gembira juga yang pasti, lalu kita bisa mengenali kelemahan dan kelebihan kita di sini.
Saya yakin banyak hal yang akan termodifikasi (baik sikap, pikiran, dan perilaku kita) melalui 'drama' panjang proses membuat skripsi.
Bagaimana tidak? Memerangi diri (bahasa kerennya ego) dalam sebuah medan pertempuran maha dashyat layaknya kurusetra.
Kemalasan yang berwujud prokrastinasi kerap menjadi biang kerok mundurnya buah karya ilmiah sang mahasiswa di jenjang strata 1.
Manajemen waktu yang buruk menjadi salah satu sumber masalah untuk menyelesaikannya. Bila tidak mendisiplin diri pasti bubar jalan. Perlu tekad dan komitmen yang kuat.
Kemudian, bila kemalasan dan prokrastinasi sudah bisa diatasi, masih ada antrean panjang yang bisa aja jadi alasan gak selesainya skripsi.
Sebagai contoh, kurang pengetahuan dan gak update mengenai topik yang sedang diteliti.
Selanjutnya, bertemu pembimbing skripsi yang killer menjadi salah satu pencetus malasnya menyelesaikan, benar apa benar?
Kebetulan jika dosen pembimbingnya itu sangat cerewet dan memperhatikan tetapi bila sebaliknya? Cuek saja ditambah mahasiswanya juga malas, pasti lewat deh dan dipastikan akan lama banget kelarnya.Â
Mencari ide (konten) sepaket dengan yang akan menjadi subyek penelitian juga tidak mudah. Terkadang kita sudah bisa mendapatkan karakteristik yang tepat tetapi ijin tidak bisa kita peroleh.
Begitu juga sebaliknya, ketika kita bisa memeroleh ijin penelitian karena ada kenalan atau apalah, eh malah karakteristik subyek tidak tepat.
Membangun mood untuk tetap bisa konsisten dan persisten memang tidak mudah. Semua harus dilatih, sehingga menjadi sebuah kebiasaan baik.
Di sinilah seninya. Skripsi merupakan sebuah seni mengolah persepsi dan membangun mindset tentang diri dan orang lain dengan benar.
Skripsi adalah sebuah ladang 'penggodokan' dalam kawah candradimuka. Banyak pengalaman yang akan terjadi di sini. Tentu pilihannya ada pada kita. Mau maju atau sebaliknya.
Membuang prokrastinasi, mengatur waktu dengan prioritas yang tepat, merupakan latihan mental dan kehidupan yang sangat dibutuhkan dalam life skill kita sebagai seorang individu. Ini akan menjadi kebiasaan kala kita menjalankan kehidupan profesionalisme (karier).
Skripsi berkaitan erat dengan yang namanya literasi. Membaca menjadi sebuah syarat wajib ketika kita membuat skripsi.
Betapa tidak, skripsi merupakan buah karya tulis ilmiah, jika kita tidak mengisi kemampuan kita dengan buku atau jurnal (baik online maupun dalam bentuk buku) tentu karya yang kita buat tersebut akan kering. Kita harus berburu jurnal sebagai rujukan penelitian kita dan itu tidak bisa tanpa membaca, bukan?
Selanjutnya, tantangan lain yang kadang menghambat penyelesaian skripsi, saat kita merasa bahwa skripsi tidak perlu diselesaikan karena kita sudah mampu bekerja dan menghasilkan uang yang notabene, biasanya ini adalah tujuan akhir.
Hemat saya, apa yang telah kita mulai sebaiknya memang diselesaikan termasuk ketika kita komit dalam melanjutkan studi, konsekwensi logis di tahap akhir adalah menyelesaikan skripsi atau karya tulis ilmiah lain dalam jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi (thesis dan disertasi).
Tidak ada pilihan lain, s e l e s a i k a n!!
Semangat rekan-rekan seperjuangan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H