Daya kreasi yang kurang dan menjadi lebih suka mengikuti tanpa inovasi. Jika mau diulas lebih mendalam, ini sebuah tragedi. Rasanya sangat pas 3 hal yang dijadikan prinsip mendidik oleh Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani.
Mendidik tanpa menyetir atau mendikte. Mendidik dengan memberi contoh, teladan, dan semangat menjadi nikmat dan baik untuk mereka yang kita didik. Tentu tidak mudah membalikkan pada posisi ini, tetapi bisa dilakukan pelan-pelan dengan prinsip kesadaran bahwa anak-anak inilah yang menjadi fokusnya, bukan kita.
Bukan berarti mendidik tanpa arah juga. Disiplin diri, memberikan pendidikan karakter dengan menanamkan kebiasaan baik juga merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri dan ini harus dimaknai bukan sebagai tindakan pemaksaan.Â
Toh, melatih disiplin atau kebiasaan baik tidak harus juga dengan memaksa, kecuali memang upaya telah dilakukan sedemikian rupa dan harus ada tindakan represif.
Tidak menghargai proses
"Kejahatan" yang satu ini juga sering sekali saya lakukan. Ketidaksabaran menjadi pola perilaku unggulan. Buru-buru ingin sampai finish, dan melewatkan esensi pendidikan itu sendiri.
Pengalaman menjadi sebuah materi baik bagi anak-anak. Menangkap makna pengalaman merupakan mata pelajaran yang harus diterima bukan dengan instant. Memberikan waktu dan menikmati proses itu sepenuhnya bagi anak-anak menjadi syarat pendidikan yang memerdekakan.
Asesmen yang dangkal
Kesalahan fatal selanjutnya adalah melakukan asesmen-asesmen dangkal pada bakat, potensi, dan minat anak yang kemudian seringkali mengakibatkan hasil pemeriksaan yang tidak sahih. Hal ini menjadi salah satu penyebab perkembangan anak menjadi kurang optimal.
Merendahkan hati untuk memberikan upaya maksimal dalam memeriksa segenap potensi anak menjadi sebuah keharusan. Tidak perlu mahal sebenarnya. Lakukan pengamatan dengan detil dan seksama setiap saatnya, lalu catat, kita pasti akan menemukan bukti-bukti otentik yang dimiliki mereka. Orangtua merupakan sumber pengetahuan terbesar tentang anak-anaknya, dan mereka bisa menjadi sumber rujukan bagi kita.
Bila ada kemampuan lebih, kita bisa menggandeng tim, seperti psikolog, dokter anak, atau psikiater yang membantu memetakan kelebihan atau kekurangan anak-anak tersebut sehingga kita bisa membuat perencanaan-perencanaan desain pembelajaran integratif bagi mereka.