kekerasan, Â membuat hati terasa miris. Terbayang dan ikut prihatin.
Mendengar serta membaca istilahKekerasan apapun bentuknya tentu tidak bisa ditoleransi (katanya🙂). Bila korban yang menulis, tentu beda kalimatnya. Kekerasan yang dialami korban, belum tentu disadari sebagai kekerasan yang harus dihentikan, karena banyak faktor yang memengaruhi.
Pada kenyataannya, korban sering menutupi bahkan akhirnya menikmati tindak kekerasan yang dialaminya tersebut.
Mengapa?
MALU menjadi sebuah kondisi yang umum terjadi atas diri korban. Ada sebuah kondisi dimana korban merasa tidak berdaya, merasa tidak berharga, dan pantas mendapatkan tindakan kekerasan tersebut, yang akhirnya pelan-pelan akan menggerus sendi-sendi kesehatan mental korban itu sendiri.
Tidak berani mengatakan dan hanya menutupinya. Dan akhirnya mulai menikmati tindak kekerasan tersebut. Di dalam hal ini akan muncul gejala-gejala gangguan mental pada korban, diantaranya :
1. Insecure
2. Merasa tidak layak bahagia
3. Merasa tidak layak berhasil
4. Merasa pantas mendapatkan perlakuan-perlakuan tersebut.
5. Menutup diri dan menarik diri.
Serta masih banyak kecenderungan lain dalam pribadi tersebut yang mulai berubah sedikit-demi sedikit.
Apa sih yang membuat mereka cenderung menutupinya?
1. Korban merasakan takut untuk  mengungkapan tindakan kekerasan yang terjadi pada dirinya.
2. Korban berpikir tentang reputasi
3. Korban terkurung dalam dalil/dogmatika agama.
Masih banyak alasan lain yang bisa dikemukakan terkait alasan-alasan yang menyertai mengapa korban tindak kekerasan cenderung menutupi hal yang terjadi pada diri mereka.
Kesehatan mental merupakan hal penting yang harus tetap dikedepankan.
3 alasan yang bisa dijadikan tonggak mengapa korban tindakan kekerasan harus speak up :Â
1. Minimal menggunting tindak kekerasan tersebut.
2. Menjadi gerbang upaya merawat kesehatan mental.
3. Menjadi sebuah pembelajaran bagi korban lain untuk berani mengungkap tindak kekerasan tersebut.
Penutup
Melakukan speak up (mengungkapkan apa yang terjadi) memang belum tentu menyelesaikan masalah. Keberpihakan terhadap korban terkadang belum bisa sepenuhnya didapatkan.
Memberikan support system akan membantu memulihkan kondisi rekan-rekan kita ini.
Jangan sampai kita juga ikut melebarkan jalan tindakan-tindakan kekerasan ini.
Sebuah kisah nyata dituturkan seorang penyintas. Kerabat dari pelaku sempat mengatakan demikian, "halah cuma gitu aja koq, gak apa-apa..."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari kerabat pelaku ketika korban ingin menyampaikan tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
Memakai sudut pandang dari kacamata korban menjadi langkah penting dalam memunculkan empati terhadap korban, sehingga mereka bisa pelahan-lahan pulih dari trauma, serta terlebih lagi, bisa menjadi inspirasi rekan-rekan lain yang pernah dan mungkin masih menjadi korban kekerasan untuk berani mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan kekerasan yang terjadi pada dirinya.
#stopkekerasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H