Dalam sebuah obrolan, tercetus ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)Â adalah anak mahal!Â
Pendidikan melalui peran shadow teacher yang dibutuhkan, terapi, vitamin, lalu bahan makanan yang tidak selalu bisa dimakan oleh mereka yang mengakibatkan, orangtua harus memutar otak untuk mencari alternatif makanan pengganti, dan masih banyak cost lain yang dibutuhkan dalam mendampingi ABK.
Lalu dalam benak saya muncul sebuah pemikiran, bagaimana dengan nasib ABK yang kebetulan tidak mampu? Apakah masih bisa menikmati layanan prima itu? Entahlah (tapi besar harapan hal baik pasti akan datang)
Saya pernah melayani terapi seorang ABK dari keluarga Asisten Rumah Tangga klien terapi yang saya tangani di sebuah daerah di Jawa Tengah. Saya dikenalkan dengan majikanya yang kebetulan adalah orangtua klien terapi saya.
Kondisi mereka memang sangat memprihatinkan. Jangankan memikirkan biaya terapi anaknya yang teridentifikasi ABK, menu makan setiap hari saja tidak menentu. Serba minim.Â
ABK tidak bisa memilih di keluarga apa dia ingin dilahirkan. Diskriminasi, pengabaian, anak ABK bukan prioritas, menjadi sebuah hal yang akrab banget di dunia mereka.
Masih sering didapatinya kenyataan di lapangan bahwa ABK menjadi korban perundungan, korban pelecehan seksual, keluarga-keluarga ABK didiskriminasi, dan sebagainya.
Tentu bukan hal yang mudah dengan kondisi seperti ini. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab ?Pendidikan untuk semua kalangan, jelas tertera dalam UUD 1945.Â
Pembangunan fasilitas-fasilitas oleh pemerintah untuk ABK memang sedikit demi sedikit terlihat. Produk hukum formal melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 mengenai Pendidikan Inklusi bagi Peserta Didik menjadi sebuah gerbang pembuka.Â
Baca juga: Menghidupi Makna Inklusi: Sebuah Perenungan dalam Konsep Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan KhususPerubahan demi perubahan terjadi ke arah yang memberi harapan bagi ABK memang terjadi, walau masih membutuhkan perjuangan berat dan panjang, terutama di sisi mengubah paradigma berpikir masyarakat serta memberi layanan dan akses terapi bagi mereka-mereka yang lumpuh secara sosial dan ekonomi. Upaya-upaya berbagai pihak tentu dibutuhkan. Pemerintah dan swasta (bisa melalui CSR) diminta berperan aktif dalam hal ini pihak-pihak non pemerintah baik luar maupun dalam negeri yang memberikan concern di karya-karya sosial (karitatif).
Mengedukasi masyarakat bahwa kita pun bisa berpotensi menjadi berkebutuhan khusus. Contohnya saja, suatu saat kita mengalami sebuah musibah yang kemudian salah satu kaki, atau mata, tangan kita cacat. Bukankah kita juga menjadi orang dengan kebutuhan khusus tersebut? Berangkat dari kesadaran itu, tentu bagi masyarakat dalam menerima, menghargai, bahkan menyayangi ABK di lingkungan mereka.
Di lini pendidikan sendiri masih terus diupayakan bagaimana sekolah disiapkan terus - menerus untuk SIAP mau tidak mau, suka tidak suka terhadap ABK. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan juga, bahwa tiap sekolah negeri diwajibkan menerima ABK dalam tiap kelas sebanyak 1.
Langkah-langkah yang terus diupayakan ini menjadi oase. Kerjasama - kerjasama institusi misalnya SLB, Pusat Tumbuh Kembang Anak di rumah sakit, lembaga kesehatan masyarakat seperti klinik atau Puskesms, geliat pendidikan komunitas yang mulai tumbuh selayaknya terus diupayakan.Â
Saya dengan HOPE (lembaga pelayanan dan pendampingan ABK dan pemberdayaan perempuan yang kami rintis bersama) sendiri pun tidak kalah berjuang. Bahwa salah satu area layanan HOPE lahir dari keresahan dan kegalauan beberapa warga dan orangtua mengenai pendidikan ABK di sebuah daerah yang juga masih terus memerlukan bantuan dan dukungan semua pihak.
Ini bukan hanya semata pekerjaan rumah kecil yang hanya bisa dikerjakan sekelompok orang. Tetapi lebih dari itu membutuhkan uluran tangan semua pihak termasuk masyarakat itu sendiri.
Kesadaran orangtua dalam menerima ABK menjadi kunci penting dalam mengupayakan terkait masa depan bagi mereka. Penerimaan diri atas ABK yang mereka miliki menjadi titik tolak dan sebuah energi yang memiliki daya lenting yang sangat kuat untuk perkembangan mereka.
Akhirul kalam, kolaborasi berbagai pihak adalah upaya realistis yang bisa diupayakan serta menjadi sebuah energi positif untuk mereka, anak-anak kita.
"Kekuatan cinta untuk mereka akhirnya akan selalu menemukan jalannya".
Referensi :
Yusuf, M; Widyorini, E, van Tiel, J.M. (2020). Cerdas Istimewa di Kelas Inklusi - Buku Pegangan Guru dan Calon Guru. Penerbit : Prenadamedia. Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H