Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 - People Choice Kompasiana Awards 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menghidupi Makna Inklusi: Sebuah Perenungan dalam Konsep Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus

28 Juni 2022   06:27 Diperbarui: 29 Juni 2022   06:01 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Foto: ANTARA FOTO/MAULANA SURYA

Seorang ibu muda mengirimkan kabar melalui WhatsApp pagi itu. Ibu ini mengisahkan betapa kecewanya beliau saat mencarikan sekolah untuk keponakannya yang berkebutuhan khusus, yang saat itu akan memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar.

Beliau menuturkan bahwa guru-guru sekolah yang ditemui saat itu memandang dengan tatapan arogan tak bersahabat. Seketika Ibu muda ini sadar akan makna sikon yang dihadapi terkait keponakannya tersebut.

Kisah lain yang senada diceritakan juga oleh seorang ibu separuh baya. Pengalaman yang sama diterima saat mendampingi putrinya yang saat itu tengah duduk di bangku kelas satu di sebuah sekolah dasar negeri. Putrinya penyandang disabilitas intelektual.

Berbeda dari cerita sebelumnya, ibu ini mengisahkan bahwa anaknya diterima dan mendapatkan guru yang memiliki hati baik untuk mengajar anaknya di kelas satu.

Dikisahkan oleh ibu ini, anaknya mendapatkan wali kelas yang sangat berdedikasi memberikan pendampingan dengan intens pada putrinya tersebut. Di sisi lain, sungguh ironis bahwa lingkungan sekolah tersebut tidak sepenuhnya mendukung perkembangan buah hatinya.

Diskriminasi terjadi. Ada ungkapan, perlakuan, serta pernyataan yang kerap menyakitkan. Akhirnya putrinya dipindahkan ke lembaga pendidikan khusus, tetapi juga tidak mengalami perkembangan karena tenaga pendidik yang kurang support terhadap masalah putrinya.

**

Artikel ini tidak bermaksud untuk menyalahkan atau menuding beberapa pihak. Namun demikian, kisah dua ibu tersebut juga perlu diakomodir. Pendidikan terbuka untuk segala lapisan tanpa terkecuali.

Saya mengawal anak berkebutuhan khusus sejak tahun 2003. Wacana-wacana baik seputar upaya memperjuangkan masa depan mereka telah ada sejak saat itu, mungkin juga sudah sejak sebelumnya. Saya ingat betul perjuangan rekan-rekan orang tua terkait masalah pekerjaan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana setiap perusahaan harus menerima karyawan ABK sebesar 1% sudah terlaksana pada saat ini.

Di lini pemerintah, mereka memberikan perhatiannya pada ABK dengan membangun fasilitas-fasilitas umum ramah disabilitas. Menggiatkan pekan olah raga untuk ABK, ada pembentukan stafsus presiden yang bertugas mengelola penyandang disabilitas. Ini merupakan sebuah upaya baik.

Bukan sekadar utopia, walaupun masih perlu perjuangan berat di banyak hal. Prof. Dr. Munawir Yusuf, M.Psi juga menegaskan bahwa pendidikan di kelas inklusi ini masih sulit dilaksanakan, kendati sudah ada payung hukum mengenai hal tersebut.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik ini telah mengatur bagaimana pendidikan inklusi harus berjalan. Sebuah bukti nyata bahwa memang pemerintah tidak main-main dengan hal ini.

Perlu disadari lebih dalam, secara operasional di lingkungan pelaksana pendidikan masih berjalan tersendat-sendat, bukan hanya mengenai tenaga pendidik, kompetensi, atau hal terkait seputar kedinasannya saja tetapi juga mengenai paradigma masyarakat yang masih berjarak dengan ABK.

Tak jarang kisah yang berujung pada sebuah ironi dimana keluarga yang memiliki ABK menjadi bahan candaan atau perundungan di lingkungan mereka yang pada akhirnya berakibat pada kondisi withdrawl (menarik diri).

Kembali pada kisah diskriminasi yang secara nyata masih terjadi pada anak berkebutuhan khusus di atas. Ini tugas kita bersama untuk ikut memberi warna baik pada lingkungan agar mereka bisa diterima seutuhnya. 

Sebenarnya mereka tidak meminta dilahirkan demikian, bukan? Kehendak Pencipta memberikan keistimewaan itu. 

Kita sebagai sesama diharapkan bisa menjadi kawan seperjalanan yang dapat menggandeng, menerima kondisi mereka. Baik dalam lini pendidikan, sosial kemasyarakatan, maupun ekonomi.

Ada bagian dari hidup mereka yang memang dititipkan pada kita, bila kita mau sadari secara mendasar. Seperti konsep inklusif itu sendiri. Konsep berbaur, konsep pendidikan yang memberikan fasilitas yang sama tetapi khusus sesuai dengan kebutuhan mereka.

Inklusi itu bukan hanya dalam lini pendidikan saja, tetapi juga berbicara mengenai sosial kemasyarakatan. Perlu disadari bahwa mereka juga tinggal dan berbaur di lingkungan dimana kita tinggal. Penerimaan masyarakat juga menjadi sangat penting. 

Tagline "sekolah ramah anak berkebutuhan khusus, desa/kota ramah anak berkebutuhan khusus, atau kantor yang ramah anak berkebutuhan khusus" selayaknya dihidupi bukan sekedar jargon pemanis semata.

Apa sih yang bisa kita lakukan? Sekali lagi bukan untuk menggurui. 

Memberikan sedikit kebahagiaan di tengah perjuangan hidup yang tidak mudah bagi ABK sudah merupakan hadiah terindah. Setidaknya jika kita tidak dapat memberikan kebahagiaan atau hal sederhana lain yang baik, setidaknya jangan menambah beban mereka dengan memberikan hadiah diskriminasi.

Apabila kita diberi tanggung jawab sebagai guru yang mendampingi mereka setidaknya pahamilah mereka dengan utuh, sehingga potensi mereka bisa maksimal. Jika kita menjadi tetangga, berikan sedikit perhatian dan berikan edukasi yang benar pada tetangga lain agar bisa menerima keberadaan mereka tanpa sekat. Ini akan sangat menolong dan membantu mereka.

Bila kita sebagai seorang sukarelawan bagi mereka, berikan yang terbaik yang kita mampu untuk mereka. Setidaknya peran kita menjadi sebuah support system yang baik.

Bila kita menjadi agen pemerintah yang melayani masyarakat jadilah pengayom bagi mereka, sehingga keberadaan kita menjadi berkat bagi mereka.

Penting disadari bahwa perjuangan mereka juga perjuangan kita. Memberikan lingkungan yang sehat bagi mereka bisa menyumbangkan masa depan yang baik untuk anak-anak tersebut. Kebahagiaan mereka pada akhirnya menjadi kebahagiaan kita juga. Demikian juga keberhasilan mereka akhirnya menjadi keberhasilan kita juga.

"Percayalah bahwa proses ini akan berujung baik❤" 

#inklusi

Semoga bermanfaat.

***

Referensi:

Yusuf, M.; Widyorini, E.; Van Thiel, M. (2020) : Cerdas Istimewa Di Kelas Inklusi - Buku Pegangan Guru dan Calon Guru. Jakarta : Prenada Media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun