Salam dengan gambar penyerta dan tulisan Sekolah Keluarga di sebelah kirinya.
Sebuah bangunan unik di tengah area persawahan yang teduh di sebuah daerah bernama Nitiprayan, Bantul-Yogyakarta berhasil membuat saya terpesona sejenak hari itu. Sebuah bangunan berlantai dua bersahaja bertuliskanSaya dan rekan sesama penulis harus melewati pematang sawah untuk sampai pada bangunan tersebut. Sungguh menyenangkan perjalanan menuju bangunan yang ternyata sekolah itu. Area persawahan nampak disisi kanan dan kiri saat saya meniti jalan masuk area sekolah tersebut. Sejuk, menentramkan sekaligus ada 'kemerdekaan' yang terlihat. Saya bisa merasakan aura 'bahwa belajar itu terlahir karena kebutuhan' dan bukan paksaan.
Masuk ke area sekolah, terlihat anak-anak dengan usia yang relatif beragam lalu-lalang tanpa mengenakan seragam. Ada bangunan-bangunan bersahaja dimana terlihat sekitar 4-5 orang ditambah dengan seorang mentor yang memandu diskusi. Saya melihat ada beberapa kelompok-kelompok seperti ini.
Saya berkesempatan juga berjumpa dengan Kak Yudhistira Aridayan. Beliau rekan satu almamater dengan kawan penulis yang mengenalkan saya dengan Sanggar Anak Alam (Salam) ini, Mas Susi Haryawan. Kami berdiskusi dari A-Z mengenai dasar berdirinya Salam ini. Kemudian kami diajak untuk melihat unit-unit pelayanan Salam yang ternyata dimulai dari unit pendidikan usia dini hingga tingkat selevel dengan SMA, bahkan Mas Yudhis menyampaikan ada Akademi Salam juga yang memfasilitasi kebutuhan siswa Salam setelah SMA.
Kami diajak melanjutkan eksplorasi kami ke dua bangunan lain yang terletak di sisi kanan bangunan utama Salam. Ada dua bangunan yang memfasilitasi dua level usia berbeda. Di bangunan yang pertama ada orang tua yang menemani anak-anak usia dini (sekitar 3-4 tahun) untuk berkegiatan. Ada satu anak laki-laki yang saat itu saya lihat sedang menangis dan memang sedang belajar mengenai konsep kedisiplinan rupanya.Â
Bangunan lain di sebelahnya adalah bangunan dua lantai yang juga nampak bersahaja, dimana di lantai dua kami diajak bertemu dengan seorang fasilitator yang juga sahabat saya, Kak Andy Hermawan. Yang lebih unik ternyata Kak Andy juga seorang kompasianer pula, wow kebetulan. Saya melihat ada dinamika yang unik disini. Ada dua kelas berbeda level usia yang sedang berdiskusi topik science nampaknya. Sukacita tergambar walau tetap serius dalam proses belajar itu.
Diskusi dilakukan dengan santai tapi terarah, saya melihat anak-anak sekitar usia 15 tahun up disini. Masing-masing memegang kertas panduan yang 'mungkin' menjadi pijakan diskusi saat itu. Kak Andy pernah bercerita bahwa di kelasnya akan ada sebuah project membuat film edukasi dan saat saya bertemu kemarin project film itu on progress.
Sejenak saya merenung, beberapa menit ini saja, saya merasakan ikut larut dalam suasana belajar yang menyenangkan. Terlihat betul wajah gembira dan sukacita pribadi-pribadi yang mengikuti proses belajar itu.
Kak Yudhistira terus mengatakan bahwa dasar dari Salam adalah proses belajar bukan hasil, hasil hanyalah konsekuensi logis dari proses belajar itu sendiri. Dalam buku yang ditulis oleh Pak Toto Rahardjo yang berjudul Sekolah Biasa Saja dijelaskan juga bahwa penguasaan atas pengetahuan yang hakiki dan sejati-harus dialami oleh seluruh panca indera, fisik, maupun rohani secara langsung, secara langsung! Jadi memang proses belajar itulah yang esensial disini. Pengalaman belajar akan memberikan sebuah kekayaan belajar mereka.
Salam memfasilitasi 500-an siswa beserta orang tua. Saya ingat betul ada kata Sekolah Keluarga yang tertulis di bangunan bersahaja di samping kata Salam saat saya memasuki area sekolah ini, ternyata memang benar bahwa orang tua terlibat aktif dalam proses belajar. Dikatakan oleh Kak Yudhis dalam obrolan dan diskusi ringan kami bahwa, Salam mengadakan kontrak dengan orang tua, dan ini yang akhirnya menjadi pembeda dengan institusi pendidikan lain.
Orang tua yang memutuskan tujuan sekolah anak-anak mereka dengan menyadari betul konsekuensi bahwa keluarga menjadi institusi terkecil yang 'paling' bertanggung jawab pada proses belajar anak-anak mereka, bukan sebaliknya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!