Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Catatan: Konsep Sekolah Merdeka di Kampung Nitiprayan yang Cozy dan Homy

28 Januari 2022   06:30 Diperbarui: 28 Januari 2022   08:15 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sanggar Anak Alam Nitiprayan Yogyakarta/Sumber: Dok.Pri (Yunita Kristanti)

Sebuah bangunan unik di tengah area persawahan yang teduh di sebuah daerah bernama Nitiprayan, Bantul-Yogyakarta berhasil membuat saya terpesona sejenak hari itu. Sebuah bangunan berlantai dua bersahaja bertuliskan Salam dengan gambar penyerta dan tulisan Sekolah Keluarga di sebelah kirinya.

Saya dan rekan sesama penulis harus melewati pematang sawah untuk sampai pada bangunan tersebut. Sungguh menyenangkan perjalanan menuju bangunan yang ternyata sekolah itu. Area persawahan nampak disisi kanan dan kiri saat saya meniti jalan masuk area sekolah tersebut. Sejuk, menentramkan sekaligus ada 'kemerdekaan' yang terlihat. Saya bisa merasakan aura 'bahwa belajar itu terlahir karena kebutuhan' dan bukan paksaan.

Masuk ke area sekolah, terlihat anak-anak dengan usia yang relatif beragam lalu-lalang tanpa mengenakan seragam. Ada bangunan-bangunan bersahaja dimana terlihat sekitar 4-5 orang ditambah dengan seorang mentor yang memandu diskusi. Saya melihat ada beberapa kelompok-kelompok seperti ini.

Saya berkesempatan juga berjumpa dengan Kak Yudhistira Aridayan. Beliau rekan satu almamater dengan kawan penulis yang mengenalkan saya dengan Sanggar Anak Alam (Salam) ini, Mas Susi Haryawan. Kami berdiskusi dari A-Z mengenai dasar berdirinya Salam ini. Kemudian kami diajak untuk melihat unit-unit pelayanan Salam yang ternyata dimulai dari unit pendidikan usia dini hingga tingkat selevel dengan SMA, bahkan Mas Yudhis menyampaikan ada Akademi Salam juga yang memfasilitasi kebutuhan siswa Salam setelah SMA.

Kami diajak melanjutkan eksplorasi kami ke dua bangunan lain yang terletak di sisi kanan bangunan utama Salam. Ada dua bangunan yang memfasilitasi dua level usia berbeda. Di bangunan yang pertama ada orang tua yang menemani anak-anak usia dini (sekitar 3-4 tahun) untuk berkegiatan. Ada satu anak laki-laki yang saat itu saya lihat sedang menangis dan memang sedang belajar mengenai konsep kedisiplinan rupanya. 

Bangunan Salam yang memfasilitasi anak-anak usia dini/Sumber : Dok.Pri (Yunita Kristanti)
Bangunan Salam yang memfasilitasi anak-anak usia dini/Sumber : Dok.Pri (Yunita Kristanti)
Bangunan lain di sebelahnya adalah bangunan dua lantai yang juga nampak bersahaja, dimana di lantai dua kami diajak bertemu dengan seorang fasilitator yang juga sahabat saya, Kak Andy Hermawan. Yang lebih unik ternyata Kak Andy juga seorang kompasianer pula, wow kebetulan. Saya melihat ada dinamika yang unik disini. Ada dua kelas berbeda level usia yang sedang berdiskusi topik science nampaknya. Sukacita tergambar walau tetap serius dalam proses belajar itu.

Diskusi dilakukan dengan santai tapi terarah, saya melihat anak-anak sekitar usia 15 tahun up disini. Masing-masing memegang kertas panduan yang 'mungkin' menjadi pijakan diskusi saat itu. Kak Andy pernah bercerita bahwa di kelasnya akan ada sebuah project membuat film edukasi dan saat saya bertemu kemarin project film itu on progress.

Sejenak saya merenung, beberapa menit ini saja, saya merasakan ikut larut dalam suasana belajar yang menyenangkan. Terlihat betul wajah gembira dan sukacita pribadi-pribadi yang mengikuti proses belajar itu.

Kak Yudhistira terus mengatakan bahwa dasar dari Salam adalah proses belajar bukan hasil, hasil hanyalah konsekuensi logis dari proses belajar itu sendiri. Dalam buku yang ditulis oleh Pak Toto Rahardjo yang berjudul Sekolah Biasa Saja dijelaskan juga bahwa penguasaan atas pengetahuan yang hakiki dan sejati-harus dialami oleh seluruh panca indera, fisik, maupun rohani secara langsung, secara langsung! Jadi memang proses belajar itulah yang esensial disini. Pengalaman belajar akan memberikan sebuah kekayaan belajar mereka.

Salah satu dinamika proses belajar Salam dengan fasilitator Kak Andy Hermawan dan rekan/Sumber : Dok.Pri (Yunita Kristanti)
Salah satu dinamika proses belajar Salam dengan fasilitator Kak Andy Hermawan dan rekan/Sumber : Dok.Pri (Yunita Kristanti)
Salam memfasilitasi 500-an siswa beserta orang tua. Saya ingat betul ada kata Sekolah Keluarga yang tertulis di bangunan bersahaja di samping kata Salam saat saya memasuki area sekolah ini, ternyata memang benar bahwa orang tua terlibat aktif dalam proses belajar. Dikatakan oleh Kak Yudhis dalam obrolan dan diskusi ringan kami bahwa, Salam mengadakan kontrak dengan orang tua, dan ini yang akhirnya menjadi pembeda dengan institusi pendidikan lain.

Orang tua yang memutuskan tujuan sekolah anak-anak mereka dengan menyadari betul konsekuensi bahwa keluarga menjadi institusi terkecil yang 'paling' bertanggung jawab pada proses belajar anak-anak mereka, bukan sebaliknya.

....karena sejatinya proses sekolah berlangsung sepanjang hayat, tinggal bagaimana proses belajar itu bisa bermakna positif bagi kehidupan, bukan untuk menjadi budak yang memenuhi industri semata. (Butet Manurung, pendiri Sokola Rimba)

Area persawahan yang mendominasi pemandangan Salam/Sumber: Dok.Pri (Yunita Kristanti)
Area persawahan yang mendominasi pemandangan Salam/Sumber: Dok.Pri (Yunita Kristanti)
Pengalaman belajar anak-anak Salam juga dibukukan. Saya beruntung sekali bisa 'melihat' pengalaman belajar mereka melalui buku yang diproduksi oleh Salam secara mandiri. Sebagai contoh, proses belajar yang dinamakan riset bersama Menanam Bayam, dijelaskan secara sistematis dan runut dalam buku tersebut. Di kelas satu ini anak-anak diajak untuk menanam bayam. Mereka mengalami sebuah pengalaman belajar yang sangat kaya dari topik ini, dan yang terpenting, mereka bahagia mengalami proses belajar yang tentunya asik ini.

Mulai dari tahap persiapan, lalu diskusi, hingga memilih lahan tanam sampai pada tahap eksekusi akhir, menanam. Ada banyak proses pengalaman belajar yang mereka alami secara langsung, dan ini tentu sangat menyenangkan. Mereka dengan kaki-kaki lincahnya tidak hanya dipasung dalam ruangan terbatas bernama kelas yang hanya mengkerangkeng hasrat belajar yang tak terpuaskan, berproses dengan teman-teman dan merasakan pengalaman inderawi sendiri terhadap sebuah pengalaman baru.

Mereka bisa mengalami dengan keseluruhan diri mereka dan memuaskan keingintahuan mereka secara sadar sebagai sebuah pengalaman yang akan bisa berguna untuk kelanjutan hidup mereka di masa yang akan datang.

Hari itu rasanya belum cukup untuk menyelami kehidupan Salam yang membawa perubahan cara pandang secara signifikan untuk saya terhadap arti pendidikan itu sendiri. Terima kasih banyak pada rekan-rekan semua atas kesempatan ini, Mas Susi Haryawan, Mas Yudhistira Aridayan, Kak Andy Hermawan. Juga Pak Toto dan Bu Wahya. Berharap ada jilid dua dan jilid selanjutnya untuk boleh belajar kembali di Salam.

Referensi :

Rahardjo, T. 2021. Sekolah Biasa Saja. Yogyakarta : ReaD-INSISTPress.

Sanggar Anak Alam. 2020. Kami Tidak Seragam - Rekam Jejak SanggarAnak Alam Jilid 2. Yogyakarta : Salam Books

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun