Pendidikan inklusif di Indonesia perlahan namun pasti, tengah mengalami pergerakan yang (semoga) menuju arah yang lebih baik.
Pendidikan harus berlaku tanpa sekat. Setiap individu berhak mendapatkan kesetaraan dalam memperoleh pendidikan. Anak-anak berkebutuhan khusus yang selayaknya mendapatkan 'sentuhan' juga harus terfasilitasi dengan baik terkait hal ini.Â
Upaya nyata dalam mewujudkan hal tersebut bukanlah merupakan aktivitas kerja sehari dan seorang diri saja, tapi lebih kepada menjadi pe er bersama.
Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, menyatakan (dalam pasal 2 A) bahwa penerimaan peserta didik oleh sekolah haruslah secara nondiskriminatif. Jelas sekali, secara de jure tertulis NONDISKRIMINATIF! Bagaimana faktualnya?
Selasa, 11 Januari 2022 lalu, saya sempat bertemu dengan Bapak Budi Utomo, M.Pd beliau adalah staf Bidang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan PNF (Pendidikan Non Formal) di Dinas Pendidikan Kota Salatiga.Â
Pak Budi menjelaskan begitu gamblang mengenai beberapa informasi terkait regulasi dalam ruang lingkup pendidikan non formal tersebut. Saat itu saya hendak mengurus izin kelembagaan yang sedang saya rintis.
Pemerintah kota Salatiga dalam hal ini Dinas Pendidikan telah mengupayakan sedemikian rupa untuk mengembangkan pendidikan (khusus) atau disebut pendidikan inklusi tersebut di wilayahnya. Beberapa personil shadow teacher telah berkiprah di lingkungan sekolah-sekolah yang membutuhkan layanan tersebut di seputar Kota Salatiga.
Tentu saja masih diperlukan banyak sinergi dan upaya berkelanjutan, karena tantangannya cukup besar dan melimpah. Memang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa telah diwujudkan, tetapi memang masih terdapat banyak sekali kelemahan di berbagai titik krusial. Butuh banyak penyempurnaan sehingga lebih baik lagi.
Hal tersebut memang bisa terjadi disebabkan karena banyak faktor, semisal juknis (petunjuk teknis) dan talak (tata laksana) yang belum jelas, kesimpangsiuran informasi mengenai diagnosis anak berkebutuhan khusus itu sendiri (masih banyak sumber rujukan yang belum seia sekata), sekolah dan kompetensi guru yang belum memadai dalam hal kesiapan menerima keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, dan masih banyak area teknis lainnya yang masih perlu pengembangan.
Banyak paradigma dalam praktik pendidikan yang cenderung menyorot siswa yang memang 'kuat' dalam memberikan sejumlah pesona, contoh: siswa-siswi yang pintar, cantik, berprestasi, patuh, mudah menerima teknik pengajaran dan segala 'pesona' yang terlihat dari luar, justru lebih diperhatikan.Â
Tetapi apakah hal ini benar menyentuh esensi pendidikan itu sendiri? Esensi pendidikan yang katanya HARUS menyentuh semua lapisan, tanpa batas dan sekat!
Adalah hal mudah menerima siswa pintar dengan segala keberadaannya, adalah wajar menerima tingkah laku siswa yang seturut dengan perintah guru, adalah biasa lebih memberikan perhatian pada siswa atau siswi yang memiliki sejuta pesona yang 'telah nampak melekat pada mereka' namun manakala hal sebaliknya yang terjadi apakah kita siap menerima dan memberikan layanan yang bebas DISKRIMINASI, tanpa batas, dan sekat itu?
Ada 3 (tiga) upaya yang bisa ditempuh sebenarnya sebagai jalan pembuka meniadakan diskriminasi tersebut atau setidaknya (dengan realistis) mengurangi tindakan diskriminatif:
1. Mengubah pola pikir
Mengubah pola pikir merupakan starting poin yang bisa menjadi jalan pembuka mengurangi diskriminasi dalam praktik-praktik pendidikan di sekolah. Mengubah pola pikir bahwa tiap indivdu itu berbeda sungguh penting. Hal ini akan menyelaraskan pendekatan dan teknik pengajaran pada siswa-siswi kita.
Tentu tidak bijak bila kita melatih ikan untuk terbang dan sebaliknya burung untuk berenang. Perenungan ini menjadi sebuah gambaran mengenai cara kita memberikan treatment sebagai pendidik kepada siswa-siswi kita.
Mendidik sejatinya kembali berpusat kepada kebutuhan yang dididik, dalam hal ini siswa-siswi kita, sehingga proses transformasi dapat terjadi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa-siswi kita. Pola pikir demikian yang seharusnya dikedepankan dan terus menerus digaungkan.
2. Sinergi pemerintah dan masyarakat
Ini merupakan pe er besar bersama. Pemerintah tidak boleh arogan dengan mengagungkan kuasa yang dimiliki, tetapi dengan kuasa tersebut bisa merangkul warga masyarakat untuk aktif berperan dalam mewarnai pendidikan terutama pe er di dalam mewujudkan pendidikan tanpa diskriminasi, terkhusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Masyarakat pun bisa berperan aktif dalam memberikan input, sumbang saran terkait hal ini. Sinergi sehat bisa terbentuk dengan baik sehingga dapat mewujudkan Pendidikan tanpa diskriminasi terkhusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
3. Mau belajar
Pola pikir mau belajar adalah hal penting dalam menegakkan pendidikan yang bebas diskriminasi. Belajar merupakan kunci penting dalam memahami tiap individu. Kebutuhan setiap individu terkait pendidikan tentu akan berbeda.Â
Keinginan dan tekad mau belajar dalam memahami kebutuhan tiap individu akan memberikan paradigma baru dalam menyikapi dan memfasilitasi kebutuhan pendidikan tiap siswa-siswi.
Selamat berproses untuk menyediakan ruang pendidikan yang bebas diskriminasi.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H