(Anka Adrian seorang yang bisa menenangkan dan mengendalikan diri dengan level tinggi, itu yang membuatku separuh kagum padanya. Laki-laki yang berjuang dan memenangkan lukanya sendiri, kemudian menjadi berkat bagi sesamanya.)
Prawirotaman, Hampir Tengah Malam
Pria berkemeja flanel kotak-kotak itu berlalu begitu saja dari hadapanku. Rasa itu memang masih ada, kuakui, tapi hanya kujadikan sekedar 'bumbu' hidup, tidak akan aku beri tempat berlebihan. Romantisme kadang bisa membunuh. Bukan karena sisa luka atau apapun, tetapi aku sangat mengenal hati Paramita Andini, dan juga hati pria yang baru saja mengantarnya pulang itu.
"Ibuuu." Kupeluk tubuh Ibu Sasantiku, wanita yang gurat cantiknya masih terlihat jelas. Wanita hebat pemilik dua harta berharganya, Mas Tama dan aku.
"Mita sayang, siapa yang mengantarmu barusan, Nak?"
"Mas Anka, Bu."
"Lho, koq gak mampir?"
"Mita tidak menyuruhnya mampir, Bu."
"Kenapa?" Ibu menghela nafas panjang sesaat, "Sudah lama lho, peristiwa itu terjadi. Masih kamu ingat terus? Maafkan dirimu, Mita."
Aku menyeruput Alegria hangat yang Ibu siapkan buatku. Ada aroma kasih sayang yang pekat aku rasakan. Separuh hidupku akan selalu kubaktikan untuknya, Ibu Sasanti. Seorang Ibu yang luar biasa, yang menanggung luka keluarga seorang diri, mampu mengampuni masa lalu, dan memutuskan untuk melanjutkan hidup bersama dengan damai bersama pria (yang kusapa Bapak) yang dia kasihi hingga maut akhirnya memisahkan.
"Sayang, koq malah ngelamun sih? Mandi dulu, gih. Ibu sudah siapkan seprai pink favoritmu. Kemarin Tante Tabita memberikannya sebagai hadiah, karena tahu kamu mau pulang nengok Ibu."