Teman-teman meledek kalau aku mau dijadikan mantu oleh Pak Tani baik hati itu. Saat penarikan usai KKN, Pak Tarno dan keluarga ikut mengantar sampai kecamatan dengan si bayi juga. Padahal yang  aku lakukan bukan hal luar biasa. Apresiasi itu merupakan anugerah. Aku bersyukur mendapat kesempatan bertemu dengan mereka yang memiliki hati emas.
Tangan kekar itu hampir terulur lagi dengan sigap, saat aku tersandung tali sepatu kets yang tanpa sadar terinjak, namun kesigapanku menyeimbangkan diri membuat Anka menarik kembali tangannya.
Jengah dengan kehendak alam, Anka berjalan dengan santai, bahkan kedua telapak tangannya masuk ke saku jeansnya yang sangat bersih. Masih sama, ia sosok yang bersih, rapi, dan tidak mau tampil buruk di muka umum. Lihat saja celana dan kaosnya sangat rapi dan serasi warna, dan ia mencangklong tas ranselnya dengan gaya cuek, sangat cuek.
Rambut gondrongnya terurai sebahu. Wajar saja sih dengan pekerjaannya yang mandiri, Anka Adrian bisa memutuskan apapun untuk dirinya sendiri dengan sangat merdeka. Bahkan ketika dirinya memutuskan berkarir di klub Diving menjadi seorang instruktur, melepas atribut keformalan di bidang Hidrooseanografi di korps yang terkenal dengan tagline Jalesveva Jayamahe itu.
Dia lebih kelihatan keren dengan model begitu, rambut terurai, dengan jambang dan kumis yang mulai mengabu, dan antisemir. Katanya keren, dan bijaksana. Sambil lagi-lagi terbahak. Mudah tertawa dia, padahal awalnya aku pikir dia sangat pendiam, Â ternyata tidak.
Pas rambutnya dikucir ekor kuda, ia tetap keren, tapi lebih menyenangkan melihat rambutnya tergerai begitu, dengan pomade waterbase andalannya. Aromanya menyenangkan, kombinasi dengan pewangi pakaian dan parfum badannya.
Gondrong tapi ia sangat perhatian mengenai aroma pakaian dan tubuh. Jangan sampai mengganggu lingkungan katanya. Bayangkan siapa sih yang tidak nyaman di dalam rengkuhan tangannya yang kekar tapi lembut itu? Atau siapa yang tidak merasa aman di dalam genggaman jari-jarinya yang besar namun terkesan feminin itu?
**
Lamunanku tiba-tiba buyar, kala Anka memanggil becak. Dia lagi-lagi terbahak melihat mataku melotot. "Ini eranya taksi daring, murah pula, eh becak, malam lagi", gerutuku tertahan
"Biar romantis, kapan lagi bisa berduaan dengan dokter cantik di becak yang sempit," diakhiri gelak tawa Anka Adrian, tetap dengan gayanya. Baiklah, kali ini aku harus menurutinya.
Anka menyuruhku naik dan tahu tidak, dia  ingin membantuku layaknya nenek-nenek yang sudah jomblo saja. Aku imbangi perlakuannya padaku malam itu, toh aku bisa menampilkan wajah datar, senyum lurus bibirku, walaupun sebenarnya hatiku gak karu-karuan. Tapi, Anka Adrian tak boleh tahu.