Benarkah stonewalling bisa menjadi bola salju yang menghantam bangunan relasi dan menghancurkannya dengan tingkat keparahan yang luar biasa?Â
Banyak sekali pemicu rusaknya sebuah relasi atau hubungan. Entah itu hubungan dalam pertemanan, pekerjaan, atau rumah tangga.Â
Sering kita berpikir untuk menghindari atau bahkan menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan melakukan aksi bungkam atau diam.Â
Aksi bungkam dan diam merupakan hal yang dipandang paling baik, karena asumsinya hal itu akan meminimalisir sebuah keributan atau pertengkaran yang membabi buta sebagai pencetus lahirnya KDRT, atau sejumlah masalah-masalah relasi lainnya. Benarkah pernyataan itu?Â
Sebagian orang memilih aksi diam, bungkam, menghindari komunikasi, dan berjarak dengan pihak yang terkait dengan konflik, sebagai satu cara mendinginkan perselisihan sebuah relasi.Â
Sebagian lagi ada yang berpendapat menyandarkan solusi pada waktu, dan mengabaikan konflik tersebut dengan menghindarinya.Â
Apakah aksi bungkam atau diam ini merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan sebuah masalah (konflik)? Atau malah justru sebaliknya, sesungguhnya perilaku menghindari komunikasi ini merupakan sebuah bumerang yang bahkan akan dapat berpotensi menciderai sebuah hubungan atau relasi?Â
Aksi bungkam, diam, menolak menjawab, menghindari pembicaraan sebuah topik tertentu merupakan beberapa contoh perilaku 'stonewalling'. Apa sih sebenarnya stonewalling itu? Mari kita kenali stonewalling lebih jauh.Â
Stonewalling merupakan sebuah perilaku yang ditandai dengan tindakan menghindari komunikasi dengan cara bungkam (tidak menanggapi), atau diam, bahkan menjaga jarak untuk tidak berhubungan (bekerjasama) dengan pihak yang berkonflik.Â
Stonewalling dicetuskan oleh John Gottman, seorang psikolog dari Universitas Washington, Amerika Serikat.Â
Tindakan menghindari pembicaraan atau komunikasi bisa jadi dapat meredam sebuah pertikaian saat itu, tetapi ketika hal ini telah menjadi sebuah kebiasaan yang berkelanjutan maka dapat dibayangkan, sebuah relasi menjadi lebih runyam karena terlalu banyak permasalahan yang tidak mendapat porsi jalan keluar sehingga menciptakan timbunan masalah yang tidak selesai.Â
Sebuah masalah yang tidak selesai akan berujung pada ledakan-ledakan emosi yang justru membahayakan dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Tentu kita bisa bayangkan bagaimana kerusakan yang akan ditimbulkannya.Â
Stonewalling menjadi salah satu pemicu terjadinya sebuah perceraian dalam sebuah relasi rumah tangga.Â
Dilansir dari situs Healthline.com (11/12/2019), menghindari sebuah konflik tentu tidak akan secara otomatis meniadakan konflik. Aksi menghindari hanya akan menunda sementara konflik tersebut. Nyatanya apakah konflik selesai? Tentu tidak, bukan?Â
Sama halnya ketika stonewalling terjadi di dalam ranah profesi atau pertemanan. Alih-alih menyelesaikan konflik, sebaliknya untuk mencari aman banyak individu menutupi masalah, menghindari masalah dengan aksi diam dan bungkam. Masalah tentu tidak hilang bahkan justru menjadi lebih 'menyala' sehingga berpotensi membakar 'seluruh hutan'.Â
Tindakan stonewalling menjadi penyebab runtuhnya bangunan relasi di berbagai lini. Berbagai bentuk jalinan relasi lambat-laun tetapi pasti runtuh karenanya.Â
Adakah jembatan yang bisa digunakan sebagai penengah agar dapat memulihkan relasi tanpa dihantui stonewalling? Â
3 hal berikut bisa dijadikan alternatif untuk menjembatani konflik tanpa aksi stonewalling:Â
1. Beri jeda tetapi dengan batas
Saat menghadapi konflik tentu sebagian besar logika tidak berfungsi maksimal. Ambil jeda, beri kesempatan kondisi emosi mereda sehingga logika bisa mengambil alih peran lebih banyak dalam memberi solusi. Bukan menghindari tetapi menunda sehingga individu yang terkait telah siap melakukan komunikasi.Â
2. Memahami sudut pandang orang lain
Konflik tetap akan menjadi sebuah konflik yang tidak terselesaikan ketika kita masih menganggap diri paling benar. Tentu bukan hal yang mudah berperang dengan ego, salah satu perjuangan paling sulit di semesta ini.Â
Mengalahkan raksasa ini butuh latihan yang terus menerus memang. Pilihan ada pada kita untuk memenangkan pertandingan ini atau sebaliknya.Â
3. Membuat kesepakatan dan tetap berkomitmenÂ
Relasi rentan disinggahi permasalahan yang akan merusak. Potensi ini harus disadari oleh setiap individu yang menjalani relasi tersebut.Â
Baik dalam skala pertemanan, profesi, rumah tangga atau komunitas sosial lain. Membangun kesepakatan dan tetap menjaga komitmen yang telah dibuat menjadi sebuah hal yang membantu meminimalisir melebarnya konflik-konflik dalam relasi.Â
Pada akhirnya, manusia sebagai makhluk sosial tentu akan tetap saling terhubung. Menjaga relasi sedemikian rupa tetapi tetap harus menjaga kewarasan fisik dan mental kita tanpa dihantui stonewalling menjadi sebuah prioritas, walau tentu tidak akan ada sebuah hubungan yang sempurna. Berharap kita semua dapat terus berlatih menjaga relasi kita dengan sesama.Â
Semoga bermanfaat.Â
Referensi : Healthline
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H