Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Mengelola Luka

23 Juni 2021   11:17 Diperbarui: 24 Juni 2021   01:36 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah ada manusia tanpa luka sepanjang hayatnya?

Apakah ada manusia yang bebas dari penyakit batin seumur hidupnya?

Apakah ada.....?

Ada apakah....?

etc.........

Boleh memberi kesaksian melalui kolom komentar jika ada yang memiliki pengalaman terbebas dari luka sepanjang hidup berjalan. Ijinkan saya berguru...🙏😊.

"Seorang sahabat akan memahami luka sahabatnya dengan cara yang proporsional..." (Anonim)

Buku Mencinta Hingga Terluka yang ditulis oleh seorang praktisi healing, Pdt. Dr. Julianto Simanjuntak dan istrinya, Ibu Roswitha Ndraha, hari itu membuat saya meleleh. 

Rasanya seperti dikuliti pelan-pelan. Sengat luka terdalam hampir tersentuh. Apakah proses penyembuhan itu berhenti saat individu sadar bahwa telah terluka?Lalu, apakah individu tersebut jadi bebas luka selamanya setelah alami proses-proses penyembuhan? Jika boleh berpendapat, luka adalah sebuah potensi yang bisa menimpa siapapun dan kapanpun, derajatnya yang mungkin bisa berbeda pada setiap individu yang mengalami.

Luka batin parah pernah saya alami juga selama proses-proses 'peremukan ego'. Proses penyembuhan terus terjadi, dan sampai bebasnya nanti dalam dekapan Bapa di surga  (barulah paripurna).

 Apakah luka yang diupayakan sembuh itu bisa hilang 100%? Bagi saya, (yang lamban dan kering ini) tentu saja tidak. Residu luka pasti masih ada. Tapi apakah berarti hidup harus berhenti dan terperangkap dalam sesak dan sakitnya luka itu? Jawaban tegas, TENTU TIDAK.

Potensi keparahan yang merusak akan terjadi jika luka-luka itu tidak kita upayakan sembuh. Kesembuhan satu individu dengan individu lain tidak sama. Proses menuju kesembuhan itu pun berbeda. Tidak bisa dipaksa atau disamakan.

Bagaimana jika kita tidak mengelola dan mendiamkan luka itu? Tentu hal ini akan menjadi bom waktu yang merusak diri dan sesama.

Kita akan menjadi pribadi penuh amarah, kasar, penuh prasangka, lekat dengan iri hati dan nuansa selalu ingin menjatuhkan orang lain, dan banyak ragam lainnya.

Keputusan sembuh bukan keputusan dari orang lain. Keputusan sembuh adalah murni keputusan individu yang terluka itu.

Luka bisa juga memberkati, jadikan ini sebagai tagline pengingat yang tebal. Yuk, simak beberapa catatan di bawah ini, agar luka itu dapat diupayakan menjadi berkat bagi sesama.

catatan penting terkait seni mengelola luka :

1. Akui bahwa luka itu menyakiti diri kita

Mengakui adalah hal terpenting. Denial yang akut terhadap luka yang kita alami akan membuat kita semakin sulit untuk 'sembuh'. Persepsi sangat penting untuk dibangun. Validasi emosi menjadi sebuah hal penting dalam membangun kesadaran bahwa kita memang terluka. Tindakan melakukan validasi terhadap emosi-emosi kita sangat memberi dukungan untuk mengakui bila luka itu menyakiti kita.

Sama halnya ketika kita merasakan tertusuk pisau, kata "aduh" atau teriakan yang menggema karena kesakitan adalah penting. Bukan diam dan hanya memasang muka dingin seolah tidak ada apa-apa.

2. Luka sangat mungkin ditorehkan oleh orang-orang terdekat kita. 

Poin kedua ini menjadi sangat penting juga untuk ditekankan. Semakin dekat relasi dengan individu lain maka potensi luka yang terjadi karena gesekan-gesekan dengan orang-orang terdekat ini menjadi lebih besar. Perlu disadari bahwa kita akan selalu melihat orang lain yang jauh lebih baik, padahal senyatanya hal ini tidak apple to apple.

Gesekan yang menimbulkan luka yang disebabkan orang terdekat harus juga dimengerti bahwa hal ini bisa diterima dengan akal sehat sehingga kita bisa lebih mampu dan terampil dalam mengantisipasinya. Mengingatkan bahwa semua orang punya kelemahan dan berpotensi melakukan kesalahan. Hal ini bisa membantu kita mengatasi luka yang ditimbulkan oleh mereka yang dekat dengan kita.

3. Rasakan dan hayati sengat luka yang terdalam

Tahap ini pernah saya alami, ketika sengat luka yang paling menyakitkan bisa saya rasakan, mendapatkan luka-luka baru yang derajat sakitnya kurang dari luka sebelumnya justru menambah kekuatan untuk 'sembuh'.

4. Peran pengampunan penting. 

Kunci yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka adalah mengampuni.

Bukan hanya mengampuni orang lain yang menciptakan luka itu, tetapi juga  diri sendiri, yang buat sebagian kalangan bukan hal mudah, justru tantanganyang paling sulit adalah kemampuan untuk mengampuni diri sendiri. Hal ini banyak membuka tabir alasan keberhasilan penyembuhan terhadap luka batin yang diderita seorang individu.

Jangan menyimpan luka batin terlalu lama karena akan menimbulkan bitterness (kepahitan) yang berpotensi memicu luka baru sehingga hantamannya terhadap fisik, dan mental semakin besar.

Mengampuni memberi kebebasan dan juga kedamaian bagi individu yang melakukannya.

5. Kelola residu luka

Luka tentu akan memberi bekas. Bagaimana mengelolanya agar tidak menjadi bumerang dan berpotensi memberikan luka baru. Jawabannya adalah berbagi!

Membagikan kisah, pengalaman, membagikan sesuatu yang bisa mencegah luka itu terjadi kepada orang lain akan membantu kita untuk cepat sembuh dari luka.

Lakukan dengan cinta kasih. Di titik ini luka itu bisa memberkati individu lain.

Percayalah, luka itu bisa memberkati💖.

Jangan terhanyut terlalu dalam dengan luka, hadapi dengan berani dan taklukkan luka itu,  hingga hidup menjadi lebih indah, berwarna, serta bermakna.

Semoga bermanfaat.

Referensi : satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun