Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Ukuran Bahagia Kita?

7 November 2020   17:11 Diperbarui: 8 November 2020   04:04 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi / sumber: unsplash (mi pham)

Kebahagiaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin.

Setiap indvidu dipastikan memiliki takaran bahagia yang berbeda-beda.

Seorang bayi imut sudah senang jika diajak main orang yang ada di sampingnya. Dia akan tertawa tergelak pertanda senang. Seorang yang lain sudah bahagia jika didatangi anggota keluarganya dengan dibawakan makanan kesukaannya, orang yang lain lagi memiliki kadar bahagianya sendiri.

Martin Elias Pete Seligman, seorang tokoh psikologi positif yang lahir di New York, Amerika Serikat menyebutkan ada 6 nilai terkait kebahagiaan. Ada nilai kebijaksanaan dan pengetahuan, semangat dan gairah, kemanusiaan dan cinta, keadilan, temperamen, transendensi.

Seorang sahabat menyuruh seorang kawan memajang foto-foto aktivitas wisatanya ke dalam media sosial dengan alasan yang cukup unik menurut saya, yaitu agar orang lain bisa menilai kawan tersebut bahagia.

Apakah kebahagiaan kita butuh diakui orang? Kebahagiaan kita butuh penilaian orang?

Kebahagiaan tidak ditentukan oleh piknik tipis-tipis atau tebal-tebal.

Kebahagiaan tidak lantas ditentukan oleh seberapa kemewahan mengelilingi hidup seseorang.

Memiliki kekuasaan, kekayaan tidak secara otomatis membentuk kebahagiaan pada diri seorang individu.

Memajang foto-foto edisi berlibur secara up to date bersama sang pujaan hati di media sosial belum tentu bisa dikatakan bahagia, atau..

Orang yang makan nasi hangat bercampur garam (yang biasa dinamai “nasi kepal”), tidak lantas membuat orang yang menikmatinya dilabeli manusia paling menderita dan tak bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun