Kami berterima kasih pada pengalaman itu. Kami berhasil melewatinya dan dinyatakan lulus menjadi Bantara. Bangga, 9 dari ratusan siswa di sekolah kami.
Teringat pula saat jurit malam di Perjusami kala itu, kami diminta untuk berjalan satu per satu tepat di waktu lolongan anjing kampung menggelegar. Perjalanan uji nyali itu berada di lokasi sekitar pemakaman. Hiiiiii…. Seru!
Teringat kami harus menghitung mundur dari angka 100 hingga 1 dengan posisi telapak tangan berada di atas pusara makam!
Jika dikenang, peristiwa itu menyisakan kenangan konyol sekaligus mendebarkan dan membuat rindu.
Tak pernah menyesal mengalaminya. Kami mengalami kemelekatan relasi alamiah buah karya kakak-kakak kelas dan pembina Praja Muda Karana yang kreatif, garang, dan ceriwis.
Kakak-kakak kelas yang memiliki segudang kreativitas untuk menjahili, mengakali sekaligus membentuk mental tangguh kami. Mereka mengatasnamakan tes mental untuk melatih kami agar tak cengeng menghadapi hidup yang “kejam”, katanya!
Batin kami, “...yang kejam itu kalian, bukan hidup, peace, Kak!”
Saat ini kami bisa bilang, terima kasih banyak. Kekejaman kalian berbuah manis.
Saya bernama Paini, kawan kami yang berasal dari Maluku bernama Loupatty, tujuh kawan kami yang lain bernama Acong, Cen-Cen, Ling-Ling, Acun, Memey, Yin-Yin, dan Han-Han. Kami bisa melekat melebihi lem hingga kini.
Kami gak pernah ribut masalah warna kulit. Kami gak pernah mempersoalkan budaya Jawa, budaya Ambon, dan budaya Tionghoa yang berbeda.
Kami selalu membantu tanpa melihat dia sipit, dia bermata besar atau apapun.