Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seni Menerima Kenyataan Hidup yang Pahit

30 September 2020   12:07 Diperbarui: 2 Oktober 2020   02:11 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bersedih. (sumber: pixabay.com/Karen_Nadine)

Sebuah kenyataan paling pahit yang pernah saya rasakan sepanjang hidup saya adalah kehilangan orang yang saya kasihi untuk selama-lamanya.

Beliau adalah Ayah saya. Butuh waktu yang gak sebentar untuk “MENERIMA” kenyataan ini. Butuh perjuangan yang sangat keras untuk bisa kembali “move on”.

Lima tahapan penerimaan terhadap situasi dukacita yang dicetuskan pertama kali oleh Elizabeth Kubler-Ross, seorang psikiater wanita kelahiran Swiss, terjadi pada diri saya.

Proses penyangkalan, kemarahan, negoisasi, dan yang terburuk adalah depresi, sampai pada tahap penerimaan, saya lalui. 

Tak mudah dan sangat berliku.

Bagaimana tidak? Beliau yang saya kasihi meninggalkan jejak teladan dan banyak jejak kebaikan yang sangat melekat kuat dalam kehidupan saya pribadi. Semua hal yang manis dan yang baik saja yang diberikan beliau. Sebuah kehilangan dashyat, saya alami.

Saat saya mengalami keempat hal tahapan Ross tersebut, saya tidak menyadarinya.

Berikut beberapa contoh yang dapat saya bagikan :

Contoh yang pertama, saat saya pulang ke kampung halaman, seringkali saya melakukan selfie bahkan wefie, di pusara Ayah, tetapi dengan ekspresi emosi yang kontradiktif.

Komplek pemakaman Sasono Mulyo, menjadi tempat persinggahan yang menyenangkan bagi saya saat itu. Padahal saya tidak suka pergi ke pemakaman. Hal yang menakutkan, sebelumnya, apalagi pergi sendiri ke makam. 

Ketika rindu sering sekali saya mengunjunginya dan bercakap-cakap, dan tentu saja menangis. Saya lakukan seorang diri saja.

Contoh yang kedua, saya selalu menangis ketika bercerita tentang Ayah. S E L A L U, terutama di 6 bulan pertama sepeninggal Ayah.

Contoh yang ketiga, saya sering marah ketika ada barang-barang Ayah dipakai atau pun diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.

Contoh yang keempat, saya menjadi depresi dan sedih berkepanjangan.

Contoh yang kelima, saat peringatan wafat Ayah yang ketiga tahun pada tanggal 6 September 2020, saya yang menyiapkan detil persiapan dan suvenir untuk acara peringatan yang dilakukan dengan cara drive thru. Saya menyadari, perlahan tapi pasti, saya telah bisa menerima, bahwa Ayah sebagai “titipan” dan "bukan hak milik" yang HARUS KEMBALI pada Yang Memiliki.

saya bersama keluarga dan pusara Ayah dimana saya sering kunjungi sebelum
saya bersama keluarga dan pusara Ayah dimana saya sering kunjungi sebelum "berdamai"/dok.pri (yunita kristanti)

Kata titipan dan bukan hak milik saya dan keluarga menjadi sebuah kalimat yang membuat saya lebih, legowo dalam menerima kenyataan tersebut.

Proses perjalanan terhadap penerimaan kepada situasi dukacita menjadi sebuah pengalaman berharga bagi saya.

Saya selalu mendapatkan sebuah pengalaman, ketika kita telah mampu melewati dan menerima masa-masa dukacita, akan ada orang-orang lain yang datang kepada kehidupan kita untuk kita tolong dan dampingi.

Ibaratnya setelah kita lulus dalam ujian berat, yaitu menerima kenyataan pahit ditinggalkan orang-orang yang kita kasihi untuk selama-lamanya. Kita akan dihadapkan untuk menolong orang-orang yang bernasib sama dengan kita.

Mengolah kenyataan pahit menjadi makna hidup yang berharga, akan membantu orang-orang dengan pengalaman sama.

Hal ini selalu saya hadapi.

Seorang keponakan berumur 13 tahun menangis histeris dan mengucapkan, “Mengapa orang-orang yang saya cintai, selalu meninggalkan saya?”

Saya mendengar kabar bahwa Eyang Putrinya baru saja meninggalkan dia. Setelah kepergian Eyang Kakung, Ayah, dan Omnya.

Bukan hal mudah tentu baginya. Proses untuk menerima kenyataan pahit ini membutuhkan waktu, sama seperti saya yang telah mengalaminya lebih dulu.

saat-saat mengunjungi pusara Ayah/sumber: dok.pri (yunita kristanti)
saat-saat mengunjungi pusara Ayah/sumber: dok.pri (yunita kristanti)
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendampingi saudara, kerabat, kawan kita yang mengalami proses penerimaan terhadap situasi dukacita :

Jangan pernah meremehkan kesedihannya.

Saya sering mendengar, orang-orang yang menyikapi masa-masa kedukaan yang tengah dihadapi oleh seseorang dengan tidak berempati.

“Jangan kelamaan sedihnya!”

“Gitu aja, sedih. Mereka udah senang dengan Tuhan saat ini!”

“Berhenti meratap, sudah saatnya move on…”

Dan masih banyak kalimat-kalimat penguatan lain yang dikeluarkan oleh mereka.

Saya sangat terkesan dengan seorang sahabat dan rekan kerja, saat mengetahui kondisi keterpurukan saya saat itu.

Begini kira-kira, “Menangislah, Ms Nita. Saya tau itu pasti tidak mudah. Tidak apa bersedih. Saya belum tentu bisa ada di dalam posisimu saat ini dengan sikap selalu tersenyum seperti itu saat bekerja.”, seraya dia memeluk saya dan saya kemudian menangis sejadi-jadinya.

Kalimat berikutnya, “Ayah, Ms Nita adalah titipan. Dia bukan hak milik Ms Nita….”

Kalimat terakhir ini sungguh menguatkan dan membentuk pola-pola coping stress pada saya saat itu.

Terima kasih, Ms Anik.

Ajaklah mereka yang mengalami proses ini untuk aktif mendampingi orang-orang yang mengalami kehilangan juga.

Pengalaman ini dilalui oleh Ibu saya. Tim Kedukaan Gereja mendaulat Ibu untuk bergabung dengan sebuah komunitas kedukaan, dimana komunitas ini memiliki tugas melayani dan mendampingi keluarga-keluarga yang tengah mengalami proses kedukaan.

Saat mendampingi keluarga-keluarga yang mengalami pengalaman kedukaan tersebut, ada sebuah kekuatan untuk menguatkan orang-orang yang mengalami kesedihan karena ditinggalkan. Dan dari sana datang sebuah kekuatan yang sama untuk diri sendiri dalam menghadapi pengalaman dukacita yang kita alami.

Ibu saya sangat cepat melalui masa-masa kedukaannya karena terlibat cukup aktif di dalam komunitas ini, dan mengalihkan rasa dukanya dengan melayani sesama yang bernasib sama.

Mendampingi Orang-orang yang Mengalami Kedukaan dengan Hadir di Sisinya

Saya mengalami kehadiran teman, sahabat, dan keluarga dalam masa-masa perkabungan saya. Mereka sangat memberikan kekuatan bagi saya.

Memberikan simpati dan empati akan sangat menguatkan.

Ajaklah Mereka untuk Bergabung dengan komunitas

Seperti pengalaman Ibu saya tadi. Bergabung dengan komunitas yang bergerak di dunia sosial membuat hidupnya lebih berguna.

Menjadi bermanfaat bagi orang lain merupakan sebuah pengalihan yang sangat baik untuk self-releasing saudara-saudara kita yang mengalami peristiwa kedukaan ini.

Membuat mereka merasa berharga dan memastikan bahwa mereka tidak sendirian, merupakan sebuah upaya untuk mempercepat proses penerimaan itu.

Mereka, orang-orang yang kita kasihi dan mengasihi kita, hanya titipan Tuhan semata. Hak milik penuh ada pada sang Pencipta.

Semoga bermanfaat.

Referensi : 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun