Alam menyuarakan keakuannya,
dia memang berhak menunjukkannya.
Sesekali dia memang berbisik,
bisikannya halus terdengar,
sebagai pengingat padaku yang menumpang padanya.
Namun kali ini,
teriakannya sungguh punya kuasa,
namun seolah tak bisa kudengar,
tertutup rapat oleh rakusnya ego yang tak pernah puas.
Bumi kuhiasi dengan raungan batang hijau yang kucabut,
memoles ceruk batang itu dengan agenda yang carut marut,
yang mencipta raut cemberut dan penuh kalut!
Hingga akhirnya,
luluh lantak semua yang kubangun dengan ego itu,
Alam mengaduh,
meneriakkan kesakitannya.
Tentu,
Aku tak akan kuat menandingimu,
aku tak akan bisa menahan perkasamu,
kebebalanku mendapat ganjaran,
upah kuterima sebagai hadiah.
Egoku membuatmu terluka parah.
Tidak, engkau tak marah,
justru kau tunjukkan kasihmu,
agar aku segera berbenah,
sebuah peringatan untuk mencintaimu,
tempat aku menitipkan hidup.
Egoku, polahku, kesewenanganku, kekuasanku,
gaya hidupku, dan ambisiku menyakitimu.
Demi sebuah sukses semu!
Raunganmu saat ini harus kudengar.
Agar kembang keseimbangan itu mekar,
dan cahaya kebahagiaan kembali berpendar,
bumi dan air sejatinya kembali berkelakar,
mesra....
Biarlah tirta itu menemukan kembali griyanya,
biarlah bumi memeluk erat tanah pijakannya,
kembali rona sekar menunjukkan pesonanya,
sehingga kalam menuliskan cerita bumi dan air dengan segala kelakarnya.