Sependek pengalaman dalam berkecimpung di dunia pendidikan, saya sering mendengar curcolan siswi-siswi yang berusia di bawah 12 tahun yang kerap “nyerempet” masalah-masalah pacaran.
Kok siswi? Ya, memang kebanyakan siswi yang curcol, yang siswa masih asyik main bola, dan bermain segudang aktivitas fisik lain bersama teman-temannya.
“Miss, si itu udah pacaran, loh...”
“Miss, tau gak, kalo si ini udah punya pacar…”
Perlu dketahui, saya ngobrol dengan anak-anak kelas 5 jenjang sekolah dasar beberapa bulan lalu sebelum pandemi memisahkan siswa dan guru secara ruang, tempat, dan waktu.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Newcastle University mengungkap bahwa kematangan otak pada anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
Otak anak perempuan akan mengalami kematangan di usia 10 tahun, sedangkan otak laki-laki harus menunggu hingga mereka berusia 20 tahun untuk mengalami tingkat kematangan yang sama.
Diungkapkan juga bahwa terdapat banyak aktivitas yang terjadi pada otak anak perempuan di usia 10-12 tahun, sedangkan pada otak anak laki-laki baru terjadi pada rentang usia 15-20 tahun.
Secara teoritik yang saya hadapi dalam dunia nyata, memang seirama dengan hal itu, siswi-siswi yang curcol tadi bicara mengenai pacaran di umur yang masih dini, sementara siswa-siswa saya tidak terlalu berpikir ke arah relasi dengan lawan jenis di usia yang sama, dibuktikan pada saat kami bicara dan ngobrol santai untuk mengonfirmasi maksud “pacaran” yang dilaporkan siswi-siswi saya tersebut.
Pendapat sepihak karena aktivitas otak anak perempuan yang lebih dulu matang akan membawa sebuah perbedaan pola pikir yang cukup mendasar. Tak jarang pula hal ini membawa sebuah atau lebih kesalahpahaman.