Mengingat sebuah perjumpaan dengan komunitas orang tua pembelajar kala itu. Ada dua kalimat tanya yang dilontarkan sebagai pembuka bahan diskusi.
“Apakah sekolah untuk hidup?” atau,
“Hidup untuk sekolah?”
Dua kalimat tanya itu kemudian tidak saja mengumpulkan sejumlah fakta lapangan, tetapi juga mengubah sebuah paradigma berpikir yang baru, yaitu bagaimana sebuah proses belajar (pendidikan) itu dimaknai.
Belajar merupakan sebuah kebutuhan. Belajar selama ini identik dengan sekolah, sekolah yang dimaksud adalah sekolah dalam bentuk institusi.
Sependek umur pengalaman saya dalam dunia pendidikan (sekolah) membawa pada beberapa kenyataan, bahwa ada distorsi dalam memaknai belajar.
Nilai sering menjadi momok yang menakutkan bagi sejumlah siswa, sehingga hal ini menjadi penyebab bergesernya makna belajar dalam dunia pendidikan, terkhusus di sekolah.
Kenyataan bahwa sejumlah siswa hanya belajar pada saat ada tes menyeruak. Sekejap setelah tes berakhir, maka mereka mulai berhenti belajar.
Pengalaman dalam menghadapi siswa-siswa ini memberi sebuah tamparan keras pada saya secara pribadi. Apakah saya adalah salah seorang pendidik yang ikut menyumbangkan perilaku tersebut pada mereka? Ya, perilaku belajar yang berorientasi hanya pada nilai.
Orientasi siswa kepada nilai sering menyempitkan arti belajar sesungguhnya, walaupun nilai termasuk indikator penting untuk mengetahui kompetensi yang telah didapatkan oleh siswa, tetapi saya terus diingatkan, bahwa nilai hasil tes hanya salah satu indikator saja.